Peran Peremaja Kawasan (Redeveloper)

Peran peremaja kawasan perumahan dan kawasan permukiman dapat dipahami sebagai peran untuk memperbaiki, membangun kembali, dan merehabilitasi perumahan. Dalam menjalankan peran tersebut, pemerintah pusat merumuskan dan mengimplementasikan berbagai program perbaikan rumah tidak layak huni dan peremajaan kawasan kumuh. Peran peremaja kawasan dilaksanakan oleh pemerintah provinsi melalui akuisisi lahan, pembangunan rumah tapak dan rumah susun berskala provinsi, serta pengelolaan rusun berskala provinsi. Di tingkat kabupaten/kota, peran ini dijalankan melalui proses akuisisi lahan, pembangunan rumah tapak dan rumah susun berskala kabupaten/kota, serta pengelolaan rusun berskala kabupaten/kota.

Contoh program peremajaan kawasan adalah kebijakan dalam peningkatan kualitas rumah, perbaikan PSU, dan sertifikasi tanah melalui Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya yang diinisiasi oleh pemerintah pusat. Pada program ini sasaran utama adalah MBR yang memiliki masalah atau rawan masalah sosial dan lingkungan melalui proses pemberdayaan masyarakat. Untuk itu, diperlukan peran lembaga masyarakat di daerah seperti Unit Pengelola Kegiatan (UPK) atau Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) di tingkat kelurahan/desa sebagai pendamping masyarakat. Secara swakelola, program ini banyak melibatkan masyarakat dalam perencanaan, melalui penyusunan Rencana Tindak Komunitas dan koordinasi pelaksanaannya. Peran pemerintah daerah ialah mengajukan usulan, verifikasi data RTLH dan lingkungan kumuh, pendampingan, serta pengawasan terhadap penyaluran dana bantuan dan pelaksanaan program BSPS.

Namun dalam pelaksanaannya di lapangan, program peremajaan kawasan oleh pemerintah pusat seringkali belum dapat berjalan efektif dan tidak jarang menemui berbagai kendala. Untuk itu, inovasi peran peremaja kawasan perlu dilakukan dengan memperkuat peran pemerintah daerah. Pemerintah pusat tetap perlu menjalankan perannya dalam memberikan arahan program peremaja kawasan, sedangkan pemerintah provinsi bertanggung jawab mendesain program tersebut secara lebih spesifik untuk diterapkan di daerahnya. Selain itu, pemerintah provinsi juga bertanggung jawab menentukan lokasi di daerahnya yang cocok untuk dijadikan sebagai pilot project penerapan program pemerintah pusat. Peran peremaja kawasan yang terbesar seharusnya dipegang oleh pemerintah kabupaten/kota sebagai sektor yang bertanggung jawab mengimplementasikan program, termasuk memverifikasi data di lapangan, mengidentifikasi kelompok masyarakat, hingga mengelola dan menjamin pelaksanaan program yang tepat sasaran.

 

Peran Koordinasi

Peran koordinasi memiliki peran penting untuk memastikan adanya sinergi internal dalam lembaga pemerintah pusat maupun provinsi dan kabupaten/kota, serta sinergi antar lembaga untuk mendukung tercapainya tujuan kebijakan pembangunan perumahan. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011, dalam pembinaan penyelenggaraan perumahan dan permukiman, diperlukan koordinasi lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan, baik vertikal ataupun horizontal. Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota juga bertugas untuk menyelenggarakan fungsi operasional dan koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional penyediaan rumah dan pengembangan lingkungan hunian dan kawasan permukiman.

Tantangan koordinasi antar level pemerintahan. Pada pelaksanaannya, sering ditemukan adanya masalah komunikasi dan koordinasi antar level pemerintah pusat dan daerah, salah satunya dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan yang didanai oleh anggaran dekonsentrasi bidang pembangunan perumahan dan kawasan permukiman. Sebagai contoh, Pemerintah Kabupaten Sleman mengalami hambatan dalam komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah pusat, namun tidak mengalami masalah saat berkoordinasi dengan Pemerintah DIY. Adanya kedekatan secara geografis-administratif berimplikasi pada lebih mudahnya komunikasi dan koordinasi. Namun, temuan lainnya di Kota Kupang menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Kupang lebih mudah melaksanakan komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah pusat dibandingkan dengan Pemerintah Provinsi NTT.

Secara lintas sektor, program pemerintah pusat dalam bidang perumahan dan permukiman selama ini dilakukan melalui pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) di tingkat daerah provinsi maupun kabupaten/kota. Seperti halnya pada kebijakan tahun 1994, pemerintah pusat membentuk TIP4D di provinsi dan BP4D di tingkat kabupaten/kota dalam rangka penyusunan RP4D. Dalam program PNPM Mandiri Perkim tahun 2009 dan program BSPS Kementerian PUPR tahun 2011, koordinasi lintas sektoral juga diwujudkan melalui Pokja di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pembentukan Pokja perumahan dan kawasan permukiman kemudian dilanjutkan melalui kebijakan dekonsentrasi pada tahun 2011.

Peran pendukung koordinasi. Kehadiran koordinasi yang baik dan sinergis dalam suatu lembaga dapat memaksimalkan kinerja administrasi dan monitoring. Dalam perkembangannya, kebutuhan koordinasi antar lembaga menempatkan administrasi dan monitoring sebagai aktivitas yang melibatkan sistem yang lebih luas lagi. Oleh karena itu, peran koordinasi, administrasi, dan monitoring sangat berkaitan satu sama lain. Peran administrasi dapat dikategorikan dalam tiga fungsi dasar, yaitu perumusan kebijakan (didasarkan pada kebijakan politik yang lebih tinggi), pelaksanaan tugas administrasi (struktur organisasi, keuangan, kepegawaian, sarana dan peralatan), penggunaan dinamika administrasi (pimpinan, koordinasi, pengawasan).

Dalam peran perumusan kebijakan, pemerintah secara eksplisit belum melibatkan kesejahteraan papan atau perumahan dalam prioritas utama agenda pembangunan nasional. Bappenas melalui Direktorat Permukiman dan Perumahan berperan dalam persiapan hingga evaluasi kebijakan pembangunan perumahan. Pemerintah daerah pun memiliki kewajiban dan kewenangan untuk menerbitkan peraturan daerah terkait perumahan, seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011. Akan tetapi, lambatnya proses penyusunan regulasi turunan seringkali menjadi hambatan dalam perumusan kebijakan perumahan di daerah.

Di tingkat daerah, perumusan kebijakan perumahan diperankan oleh Bappeda. Berbekal persetujuan dari legislatif daerah (DPRD), pemerintah daerah dapat menetapkan rumusan kebijakan perumahan menjadi peraturan daerah dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011. Walaupun demikian, pembangunan perumahan swadaya di level daerah belum terintegrasi dengan baik dalam RPJMD, RTRW, APBD, hingga Renstra SKPD terkait. Ditambah lagi belum adanya lembaga yang khusus menangani dan mengakomodasi perumahan swadaya, serta mensinergikan pelaku pembangunan perumahan swadaya.

Peran administrasi dan pengawasan dalam delegasi kewenangan pengelolaan keuangan daerah diwujudkan dengan pengalokasian APBD untuk bidang perumahan, yang diusulkan oleh SKPD yang membidanginya. Untuk menjalankan peran administrasi dalam pengelolaan keuangan daerah secara akuntabel dan transparan, pemerintah daerah wajib menyampaikan pertanggungjawaban berupa Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan Atas Laporan Keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Laporan ini setelahnya akan diperiksa dan diaudit oleh BPK sebelum kemudian dilaporkan kepada masyarakat melalui DPRD.

Sementara itu, pemerintah pusat bertanggung jawab dalam urusan administratif dan pengawasan dalam pembangunan perumahan melalui pengembangan pajak bangunan, pengembangan kebijakan, strategi dan NSPK perumahan skala nasional, serta evaluasi dan monitoring pembangunan perumahan berskala nasional. Pengembangan pajak bangunan merupakan peran yang hanya dimiliki oleh pemerintah pusat, sementara urusan lainnya dapat dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.

Inovasi peran koordinasi. Sebagai bagian dari proses kordinasi, peran administrasi dan pengawasan secara umum memang melekat pada sebuah organisasi maupun program. Melihat perkembangan kelembagaan perumahan pada satu dekade terakhir, perluasan peran administrasi dan monitoring cenderung disebabkan oleh semakin variatifnya program-program di bidang perumahan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan keterlibatan banyak lembaga pemerintahan untuk ikut andil dalam menyelesaikan dan mencapai target masing-masing program.

Dalam menjalankan perannya agar lebih optimal, pemerintah pusat selayaknya berfokus pada urusan administratif dan pengawasan dari proses koordinasi. Sementara fungsi koordinasi dan operasionalnya menjadi wewenang dari pemerintah daerah.