Setiap warga negara Indonesia berhak tercukupi kebutuhan dasarnya sebagai manusia, yaitu untuk hidup sejahtera lahir dan batin, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Memastikan bahwa setiap warga negara mampu menjangkau dan menghuni rumah yang layak merupakan tanggung jawab negara, sehingga pemerintah berkewajiban untuk membantu dan mempermudah masyarakat dalam bertempat tinggal. Kenyataannya, perumahan yang layak dan terjangkau, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), belum dapat diwujudkan dengan optimal.

 Tantangan PKP

  1. PENYEDIAAN PERUMAHAN
  2. RUMAH TIDAK LAYAH HUNI (RTLH)
  3. PRASARANA, SARANA, DAN UTILITAS (PSU)
  4. KAWASAN KUMUH
  5. PEMBIAYAAN PERUMAHAN
  6. DOKUMEN PERENCANAAN

 

  1. PENYEDIAAN PERUMAHAN

Penyediaan perumahan bagi MBR menjadi permasalahan serius yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia disebabkan oleh permintaan (demand) dan penawaran (supply) yang tidak sebanding. Kesenjangan ini menimbulkan backlog[1] penghunian. Data Kementerian PUPR (2015) menyebutkan bahwa backlog penghunian di Indonesia mencapai angka 7,6 juta unit. Dengan kata lain, masih dibutuhkan penyediaan 7,6 juta hunian agar seluruh keluarga di Indonesia dapat menghuni rumah yang layak.

Target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 untuk sektor perumahan adalah menurunkan angka backlog penghunian menjadi 5,4 juta unit dengan menyediakan 550.000 rumah susun sewa (rusunawa), 50.000 rumah khusus, 1.750.000 rumah swadaya, dan 676.950 utilitas bagi MBR, nelayan, korban daerah konflik, masyarakat daerah tertinggal, dan sebagainya. Sayangnya, berbagai usaha pemerintah untuk mencukupi kebutuhan tempat tinggal bagi masyarakat melalui program pembangunan maupun pembiayaan rumah belum mampu menyelesaikan permasalahan tersebut. Sampai tahun 2018, pencapaian target tersebut masih jauh dari harapan. Dari 550.000 rusun sewa yang rencananya akan didirikan, baru 50.380 yang terbangun. Artinya, pembangunan rusun sewa oleh pemerintah belum mencapai 10% dari target. Sementara untuk rumah swadaya, baru terbangun 668.372 unit atau sekitar 30% dari 1.750.000 unit rumah.

Beberapa tantangan dalam penyediaan perumahan antara lain:

    1. Belum lengkapnya data dan dokumentasi perencanaan sektor perumahan.
    2. Harga lahan di kawasan perkotaan tidak terjangkau oleh MBR.
    3. Perizinan pembangunan perumahan tidak efisien.
    4. Belum terintegrasinya pembangunan perumahan dan infrastruktur.
    5. Belum seimbangnyasupply dan demand perumahan, terutama untuk MBR.
    6. Keterbatasan kapasitas SDM.

 

  1. RUMAH TIDAK LAYAH HUNI (RTLH)

Keberadaan rumah tidak layak huni (RTLH) tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat ekonomi masyarakat yang mendiami rumah tersebut, namun juga lemahnya pemberdayaan masyarakat. Terbatasnya jumlah tenaga konstruksi terampil, rendahnya kualitas bahan bangunan, serta pemilik yang kurang memahami kriteria tempat tinggal yang layak merupakan faktor lain yang menyebabkan tingginya angka RTLH.

Di Indonesia, RTLH mencapai angka 3,4 juta unit. Melalui upaya penanganan yang dilakukan oleh pemerintah, angka ini diharapkan dapat turun sebesar 1,5 juta unit, hingga menyisakan 1,9 juta saja. Selain itu, peran serta masyarakat penting untuk memastikan kelayakan hunian, baik yang dibangun sendiri (rumah swadaya) ataupun rumah yang dibeli dari pengembang.

 

3. PRASARANA, SARANA, DAN UTILITAS (PSU)

Penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas (PSU) merupakan subsidi pemerintah untuk mengembangkan infrastruktur perumahan dan kawasan permukiman, meliputi:

  1. PSU kawasan perumahan

Terdiri dari PSU untuk kawasan siap bangun (Kasiba) dan lingkungan siap bangun (Lisiba), guna membantu percepatan pembangunan kawasan perumahan skala besar dalam penyediaan infrastruktur. Penyelenggaraan PSU perumahan dilaksanakan dengan pembagian peran pemerintah pusat sebagai penyelenggara dan penyedia dana, pemerintah daerah sebagai pelaksana monitoring dan koordinasi, serta pihak ketiga atau kontraktor sebagai pelaksana pembangunan.

  1. PSU perumahan swadaya

Yaitu penyelenggaraan PSU untuk mendukung penanganan kumuh, pencegahan kawasan kumuh, dan perumahan MBR. Penyelenggaraan PSU perumahan swadaya dilaksanakan oleh pemerintah pusat sebagai penyelenggara dan penyedia dana, masyarakat sebagai pelaksana pembangunan, serta pemerintah daerah sebagai pelaksana koordinasi dan monitoring.

Subsidi PSU akan tepat dan efektif bila pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi telah memiliki basis data infrastruktur yang sesuai dengan kebutuhan dan memiliki rencana infrastruktur kawasan berpola spasial. Namun dalam pelaksanaannya di lapangan masih banyak ditemui berbagai tantangan antara lain:

    1. Belum memadainya ketersediaan data dan dokumentasi menyebabkan sulitnya menentukan kebutuhan PSU di Indonesia.
    2. Pembangunan perumahan dan infrastruktur masih berdiri sendiri-sendiri dan belum terintegrasi.
    3. Masihbanyak pengembang yang tidak menyediakan PSU secara memadai di perumahan yang
    4. PembangunanPSU yang tidak merata, terutama di kawasan Indonesia

 

  1. KAWASAN KUMUH

Kekumuhan suatu kawasan di Indonesia umumnya berbanding lurus dengan jumlah penduduk miskin. Akan tetapi, meski jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke tahun, jumlah permukiman dan rumah tangga kumuh bertambah setiap tahun. Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya perumahan yang tidak dapat dijangkau oleh MBR serta rendahnya kualitas hunian bagi kaum MBR.

Data eksisting menunjukkan bahwa terdapat 38.431 hektar kawasan kumuh di perkotaan, 78.384 hektar di pedesaan, dan 3.099 hektar di area khusus. Menanggapi hal itu, dalam RPJMN 2015-2019, pemerintah Indonesia menargetkan upaya penanganan kawasan kumuh melalui perwujudan hunian layak dengan pembangunan baru dan peningkatan kualitas, pengentasan permukiman kumuh perkotaan, peningkatan keamanan dan keselamatan bangunan gedung, pelayanan air minum 100%, dan pelayanan sanitasi 100%. Sedangkan terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung bagi seluruh masyarakat yang didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang yang berkelanjutan, efisien, akuntabel, sehingga terwujud kota tanpa kumuh ditargetkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Namun pada kenyataannya, penanganan permukiman kumuh masih menghadapi berbagai kendala, antara lain:

    1. Persoalan permukiman kumuh belum menjadi isu bersama. Masih diperlukan penguatan kelembagaan dan komitmen pemerintah dalam penanganan permukiman kumuh.
    2. Pelaksanaan program penanganan kawasan kumuh masih parsial dan belum terintegrasi. Skema program pemerintah pusat yang dilaksanakan di daerah belum sepenuhnya melibatkan seluruhstakeholder sebagai pelaku aktif.
    3. Pemanfaatan sumber daya belum optimal. Pengetahuan dan akses terhadap sumber pendanaan lain belum terbuka.
    4. Isu pertanahan, terutama penanganan kawasan permukiman kumuh ilegal (squatter) berada dalam status quo.
    5. Belum ada upaya sistemik untuk pengawasan, pengendalian, dan pemberdayaan agar tidak terbentuk kawaasan kumuh.

 

  1. PEMBIAYAAN PERUMAHAN

Tantangan lain dalam mewujudkan pemenuhan hunian bagi seluruh masyarakat, khususnya MBR, adalah dalam hal pembiayaan perumahan yang meliputi:

    1. Rendahnya tingkat keterjangkauan MBR

Sebagian dari kendala yang dihadapi adalah rendahnya daya beli MBR, disebabkan oleh harga rumah yang tidak terjangkau. Tidak terjangkaunya harga rumah dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti harga lahan yang mahal, laju inflasi yang terus meningkat, pembangunan yang pesat di kawasan sekitar, dan fakta bahwa ketersediaan lahan semakin sedikit.

    1. Terbatasnya ketersediaan dana dan skema bantuan

Jumlah maupun pola atau skema bantuan untuk pembiayaan perumahan MBR masih sangat terbatas dan belum terlaksana dengan optimal. Target pembiayaan perumahan adalah menyalurkan bantuan sebesar 1.350.000 unit hingga tahun 2019. Akan tetapi, hingga tahun 2017, baru terlaksana 485.377 unit atau sekitar 54% dari total bantuan.

    1. Terbatasnya sumber dana jangka panjang

Sumber dana pembiayaan perumahan sampai saat ini masih bersifat jangka pendek. Padahal sumber dana jangka pendek tidak bisa digunakan secara berkelanjutan untuk KPR yang sifatnya jangka panjang.

    1. Masih sulitnya akses terhadap sumber pembiayaan

Akses masyarakat ke bank atau lembaga keuangan sebagai sumber pembiayaan perumahan untuk mendapatkan KPR pun masih terbatas. Padahal KPR dapat membantu masyarakat untuk memperoleh rumah dengan lebih mudah.

Salah satu upaya pemerintah untuk menangani belum optimalnya pemanfaatan pendanaan dan terbatasnya akses untuk pembiayaan pembangunan PKP, khususnya bagi MBR, adalah dengan menjalin kerjasama dengan bank umum dan bank pembangunan daerah.

 

  1. DOKUMEN PERENCANAAN

Dari sisi kelembagaan, dukungan untuk bidang PKP dalam bentuk kebijakan dan dokumen perencanaan dinilai belum memadai. Kebijakan dan strategi nasional penyelenggaraan PKP masih terpisah-pisah dan belum terintegrasi dengan perencanaan pembangunan nasional dan kebijakan lintas sektor. Akibatnya, kebijakan dan perencanaan yang ada tidak dapat memaksimalkan potensi daerah seperti misalnya pariwisata, budaya lokal, dan kebijakan strategis di daerah setempat. Undang-Undang yang telah berlaku pun, seperti UU No. 1 Tahun 2011 tentang PKP dan UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, belum dapat diimplementasikan dengan baik karena peraturan turunannya belum selesai.

Selain itu, kurangnya data dasar seperti data backlog, RTLH, dan rencana pengembangan kawasan suatu perumahan menjadi kendala dalam penyusunan dokumen perencanaan PKP. Padahal, produk perencanaan seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP), maupun Rencana Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan (RP2KPKP) sangat penting dalam upaya pengembangan PKP. Oleh karena itu, untuk dapat menunjang pembangunan dan pengembangan perumahan dan kawasan permukiman, dokumen perencanaan yang tepat sasaran dan lengkap, dengan ditunjang oleh data yang valid sangatlah diperlukan.

 

 

[1] Backlog merupakan salah satu indikator untuk mengukur jumlah kebutuhan rumah di Indonesia. Backlog mengacu pada konsep perhitungan ideal, yaitu satu keluarga menghuni satu rumah.