Sasaran dan strategi Bappenas dalam RPJMN 2015 – 2019 untuk menjawab permasalahan perumahan, memiliki arah kebijakan berupa upaya peningkatan akses masyarakat berpenghasilan rendah terhadap hunian yang layak dan terjangkau serta didukung oleh penyediaan sarana, prasarana, dan utilitas yang memadai serta diprioritaskan dalam rangka meningkatkan standar hidup penduduk 40% terbawah. Beberapa sasaran untuk isu perumahan antara lain:

  • Terfasilitasinya penyediaan hunian layak dan terjangkau untuk 2,2 juta rumah tangga khususnya masyarakat berpenghasilan rendah menjadi lima juta rumah tangga di tahun 2019
  • Mendorong keswadayaan masyarakat dan dunia usaha dalam penyediaan tempat tinggal yang layak untuk 2,2 juta rumah tangga
  • Peningkatan kualitas rumah tidak layak huni untuk 1,5 juta rumah tangga, termasuk dalam rangka penanganan kawasan permukiman kumuh.

Sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, perumahan merupakan salah satu bidang yang menjadi tanggung jawab pemerintahan provinsi dan pemerintahan kota/kabupaten. Dalam rangka menyelenggarakan tanggung jawab tersebut Pemda tentunya harus berperan aktif membantu pemenuhan perumahan bagi masyarakatnya baik dari sisi supply maupun demand.

Peran aktif Pemda dari sisi supply antara lain dapat berupa:

  1. Pemberian kemudahan dalam perizinan;
  2. Penyediaan PSU;
  3. Perintisan (penyediaan) Land Banking; dan
  4. Penetapan zonasi untuk rumah sejahtera.

Sedangkan dari sisi demand, Pemda dapat menyediakan anggaran (APBD) untuk bantuan sebagian pembiayaan perumahan bagi MBR sebagai pendamping bantuan pembiayaan yang diberikan oleh Pemerintah. Dalam upaya membantu agar pemberian bantuan tersebut dapat dilaksanakan secara lebih akuntabel dan lebih tepat sasaran maka Pemerintah akan mengembangkan berbagai instrumen yang dapat dijadikan landasan oleh Pemda dalam menentukan masyarakat mana yang menjadi prioritas untuk mendapatkan bantuan. Instrumen tersebut salah satunya adalah “housing queue”.

Housing queue adalah suatu alat ukur untuk menentukan kebijakan pemberian bantuan pembiayaan perumahan bagi masyarakat dengan memperhatikan berbagai hal, yaitu antara lain tempat lahir, pendidikan, pekerjaan, besar keluarga dan pendapatan. Selain instrumen di atas, Pemerintah juga menyiapkan instrumen lain untuk membantu Pemda seperti Indeks Keterjangkauan (IK) dan analisis kelayakan finansial untuk investasi pembangunan berbasis kawasan.

IK adalah suatu indeks yang dapat memberikan gambaran kepada Pemda tentang kemampuan secara umum masyarakat di wilayahnya untuk memenuhi kebutuhan rumah. Nilai IK akan berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Dari pengembangan yang sudah dilakukan, jenis IK yang paling mudah digunakan oleh Pemda adalah IK yang menggunakan konsep defisit anggaran. Di beberapa negara, IK digunakan untuk mengukur kemampuan masyarakat di suatu wilayah untuk mendapatkan pinjaman pembelian rumah sesuai harga yang ada di pasaran. Pemeringkatan IK menunjukkan seberapa terjangkaunya harga rumah. Semakin rendah nilai IK, semakin terjangkau harga rumah bagi masyarakat di wilayah tersebut.

Sampai saat ini IK dalam kepemilikan rumah di Indonesia belum diterapkan, baik dalam lingkup kabupaten/ kota maupun provinsi. Jika pun sudah, nilai IK yang tersedia belum mencerminkan kebutuhan yang sesuai dengan kondisi yang terjadi. IK dapat digunakan sebagai instrumen dalam merumuskan kebijakan jenis dan skim bantuan pembiayaan bagi MBR. Sedangkan “analisis kelayakan finansial untuk investasi pembangunan berbasis kawasan” adalah bagian dari penilaian untuk mengetahui kelayakan proyek yang diusulkan oleh investor dalam jangka waktu tertentu ditinjau dari aspek ekonomi, terutama yang berkaitan dengan finansial atau keuangan. Analisis kelayakan finansial suatu proyek investasi dilakukan untuk mengetahui kemampuan dalam menghasilkan keuntungan, pengembalian pinjaman, likuiditas dan stabilitas.

Dalam bidang pembiayaan perumahan, setidaknya terdapat 2 (dua) pemerintah daerah yang berhasil menerapkan pembiayaan mikro perumahan, yaitu Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Palembang.

 

  1. Pemerintah Kota Surakarta

Pemerintah Kota Surakarta berhasil memfasilitasi 36 kepala keluarga (KK) yang menempati secara liar tanah milik Pura Mangkunegaran untuk dapat memiliki rumah layak huni. Pemerintah daerah berhasil membujuk pihak Mangkunegaran untuk menghibahkan sebagian tanahnya kepada masyarakat penghuni liar dan berhasil membujuk para penghuni liar untuk bersedia pindah ke lokasi tanah hibah tersebut. Biaya membangun rumah atas tanah hibah tersebut direstrukturisasi menjadi sebuah KPR Mikro dengan nilai pinjaman kurang dari Rp 50.000.000,-. Selain itu, adanya berbagai fasilitas kemudahan seperti perizinan, pendampingan, dan infrastruktur permukiman yang dibantu oleh pemerintah daerah melalui Badan Layanan Umum Daerah Griya Layak Huni (BLUD GLH) turut menurunkan nilai pinjaman sehingga lebih terjangkau.

Selain itu, pemerintah daerah melalui BLUD GLH memberikan program penjaminan (guarantee program) sehingga masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dapat mengakses produk perbankan. Namun, pihak perbankan masih enggan untuk menyalurkan KPR kepada MBR. Dalam rangka memecahkan masalah tersebut, Bank BTN Syariah menerapkan pinjaman KPR dengan mekanisme tanggung renteng. Artinya, jika ada salah seorang dari 36 KK yang mendapatkan KPR menunggak atau terjadi gagal bayar (default), maka sertifikat ke-35 anggota lainnya tidak diberikan selama debitur tersebut masih menunggak.

Sumber: Kementerian PUPR, 2016

 

 

  1. Pemerintah Kota Palembang

Inovasi Pemerintah Kota Palembang dalam pembiayaan perumahan adalah dengan memberikan “penugasan” tambahan kepada salah satu BUMD, yaitu PT. Sarana Pembangunan Palembang Jaya (SP2J). Penugasan yang diberikan melalui payung hukum peraturan daerah adalah agar SP2J berperan sebagai penjamin (avalist) dalam penyaluran KPR Mikro yang sebagian besar targetnya merupakan tukang ojek, tukang becak, supir, dan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dana APBD dalam penyertaan modal perusahaan didepositokan kepada bank penyalur KPR sebagai jaminan. Saat itu bank penyalur KPR adalah Bank Sumsel (BPD). Adanya pihak penjamin debitur dari SP2J membuat Bank Sumsel (BPD) merasa nyaman menyalurkan KPR Mikro kepada MBR.

Selain itu, juga terdapat inovasi berupa penerapan sistem pembayaran cicilan secara harian atau mingguan yang dikumpulkan oleh petugas dari SP2J yang menjamin debitur. Yang menarik adalah SP2J merekrut tenaga pengumpul dari keluarga nasabah sendiri yang memang sudah saling mengenal sejak lama sehingga masyarakat menjadi lebih nyaman. Setiap hari tenaga pengumpul berkeliling dari rumah ke rumah untuk menagih cicilan KPR. Hingga saat ini, kinerja cicilan kepada BPD Sumsel berjalan cukup lancar tanpa adanya kredit macet.

Sumber: Kementerian PUPR, 2016

 

(referensi: Roadmap sistem pembiayaan perumahan Indonesia 2018 – 2025 oleh PUPR , perkim.id)