Urbanisasi adalah fenomena global yang menjadi ciri khas perkembangan sosial dan ekonomi pada abad ke-21. Secara umum, urbanisasi dapat diartikan sebagai perubahan suatu wilayah dari yang semula non-urban menjadi urban, serta perpindahan masyarakat dari desa ke kota. Fenomena ini didorong oleh berbagai faktor, termasuk pencarian lapangan kerja, akses terhadap fasilitas dan layanan yang lebih baik, serta harapan peningkatan kualitas hidup. Berdasarkan data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada tahun 2023, lebih dari 56% populasi dunia tinggal di wilayah perkotaan, dan angka ini diproyeksikan akan mencapai sekitar 68% pada tahun 2050.
Tren ini diperkirakan akan terus meningkat, terutama di negara-negara berkembang, di mana urbanisasi berlangsung dengan cepat. Proses urbanisasi memberikan dampak positif seperti peningkatan produktivitas dan kesempatan ekonomi, namun juga membawa tantangan, seperti kemacetan, polusi, dan kesenjangan sosial yang perlu dikelola dengan baik agar manfaat urbanisasi dapat dirasakan secara merata.
Urbanisasi di Indonesia sering kali dipicu oleh ketimpangan fasilitas dan lapangan pekerjaan antara desa dan kota, yang membuat kota menjadi magnet bagi penduduk desa untuk mencari peluang hidup yang lebih baik. Namun, urbanisasi yang tidak merata ini membawa dampak kompleks bagi kota-kota besar, termasuk perubahan demografi, struktur ekonomi, pola konsumsi, dan distribusi sumber daya. Di sisi lain, kedatangan penduduk dengan tingkat pendidikan rendah dan keterampilan terbatas menyebabkan pertumbuhan kawasan permukiman kumuh, degradasi lingkungan, masalah sosial, pengangguran, dan kemiskinan. Berdasarkan publikasi profil migran dari Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2019, hanya sekitar 14% dari migran risen ke perkotaan yang memiliki gelar perguruan tinggi, sedangkan sebagian besar hanya memiliki pendidikan SMA ke bawah dan 19,1% tidak memiliki ijazah. Kondisi ini memperparah fenomena kawasan kumuh di kota-kota besar Indonesia, di mana akses terbatas terhadap pekerjaan formal dan layanan perkotaan seringkali memicu masalah sosial dan lingkungan yang lebih serius.
Kawasan kumuh di Indonesia adalah area permukiman yang tidak tertata dan kurang memenuhi standar hunian layak. Di dalam kawasan ini, aspek kepadatan, kebersihan, drainase, serta sarana dan prasarana sering kali jauh dari kata memadai, membuat kawasan tersebut sulit mendukung kehidupan yang sehat dan aman. Penghuni kawasan kumuh umumnya berasal dari latar belakang sosial dan ekonomi yang beragam, tetapi mayoritas bekerja di sektor informal dan menghadapi keterbatasan ekonomi yang signifikan. Menurut Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan 2023 dari Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 7,94 persen rumah tangga di Indonesia masih menempati rumah kumuh, atau sekitar delapan dari setiap 100 rumah tangga.
Kawasan kumuh memberikan dampak serius terhadap berbagai aspek, terutama terhadap ekologi. Salah satu tantangan ekologis yang muncul adalah sistem pembuangan air yang tidak memadai, sehingga banyak warga yang hanya membangun saluran air sementara untuk mencegah genangan, dan sering kali air hujan serta limbah rumah tangga dibuang langsung ke sungai, yang menyebabkan pencemaran. Fasilitas mandi, cuci, dan kakus (MCK) juga terbatas, dan limbah dari MCK sering kali tidak diolah dengan baik, sehingga memperburuk kondisi sanitasi dan kesehatan lingkungan. Akses air bersih di kawasan kumuh pun sulit, sementara tingginya kepadatan hunian yang dibangun secara vertikal membuat pencahayaan alami sulit didapat di bagian bawah. Kondisi ini tidak hanya memburuk bagi penghuni secara langsung, tetapi juga berpotensi mempercepat kerusakan lingkungan sekitar dan meningkatkan risiko bencana kesehatan dan ekologi.
Untuk itu, urbanisasi yang pesat tanpa disertai perencanaan yang matang menjadi salah satu faktor utama tumbuhnya kawasan kumuh di Indonesia. Dampak buruknya tidak hanya dirasakan oleh warga penghuni kawasan tersebut, tetapi juga memengaruhi kesehatan dan kenyamanan kota secara keseluruhan. Untuk menanggulangi masalah ini, diperlukan solusi yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Pendekatan kolaboratif di mana masyarakat dilibatkan langsung dalam perbaikan kawasan kumuh dapat memberikan hasil yang lebih berkelanjutan. Masyarakat tidak hanya menjadi objek program, tetapi juga kolaborator yang mendorong perubahan perilaku ke arah hidup yang lebih bersih, sehat, dan layak. Pemerintah dan instansi terkait perlu fokus tidak hanya pada pembangunan fisik, tetapi juga mengarahkan masyarakat untuk berperilaku yang lebih baik, demi menciptakan kehidupan yang lebih berkualitas di lingkungan perkotaan. Dengan komitmen bersama, kawasan kumuh dapat berangsur berkurang luasannya, sehingga dampak negatif dari adanya kawasan ini terhadap lingkungan dan kesehatan dapat berkurang secara signifikan. (PNA)
Sumber:
Amaya, S. N., Mubarak, A., & Raharja, R. M. (2024). Dampak Urbanisasi Dalam Kehidupan Masyarakat Kota. RISOMA: Jurnal Riset Sosial Humaniora dan Pendidikan, 2(4), 116-126.
Chairani, L. (2024). Pengaruh Urbanisasi terhadap Perubahan Struktur Ekonomi. Circle Archive, 1(5).
Fauzi, M. R., & Abdullah, M. N. A. (2024). DAMPAK URBANISASI TERHADAP PENINGKATAN KAWASAN KUMUH DI KOTA BANDUNG. SABANA: Jurnal Sosiologi, Antropologi, dan Budaya Nusantara, 3(1), 33-38.
Wahyudi, D. (2023). FENOMENA URBANISASI DAN PERUBAHAN SOSIAL: STUDI KASUS KOTA METROPOLITAN. literacy notes, 1(2).
https://lestari.kompas.com. 8 Dari 100 Rumah Tangga Indonesia Hidup di Tempat Tinggal Kumuh. Diakses melalui (https://lestari.kompas.com/read/2024/02/20/140000986/8-dari-100-rumah-tangga-indonesia-hidup-di-tempat-tinggal-kumuh) pada Jumat, 7 November 2024.