79,6% rumah di Indonesia dibangun sendiri oleh masyarakat secara swadaya (BPS, 2017). Sebagian Rumah Swadaya dibangun secara mandiri oleh penghuninya, sebagian lagi dengan dukungan pemerintah setempat. Berdasarkan data dari Kementerian PUPR, penyediaan rumah secara swadaya menempati posisi tertinggi, yaitu lebih dari 70%. Oleh karena itu, Rumah Swadaya merupakan potensi yang bisa dikembangkan.
Salah satu contoh sukses program Rumah Swadaya yang didukung oleh pemerintah adalah di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Bagaimana pengelolaan program Rumah Swadaya di wilayah NTB dan pembelajaran apa yang bisa diambil untuk dapat diterapkan di tempat lain tentunya menjadi hal yang sangat menarik untuk didiskusikan.
Webinar Perkim Seri 8 yang diselenggarakan oleh HRC Caritra pada tanggal 2 Juli 2020, Sapto Tjahjojoewono selaku narasumber dari pemerhati perumahan dan kawasan permukiman Provinsi NTB mengungkapkan bagaimana penyediaan perumahan swadaya di wilayah NTB yang dilatarbelakangi oleh kondisi kemiskinan.
Berdasarkan data dari Kementerian PUPR, jumlah Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) di Provinsi NTB pada tahun 2019 mencapai 101.765 unit, sedangkan backlog perumahan di Provinsi NTB mencapai 271.089 unit. Salah satu langkah strategis untuk penanganan RTLH melalui program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) yang mencapai 18.411 unit pada tahun 2015-2019. Selain itu, ada pula program BSPS yang bersumber dari dana Bank Dunia (NAHP) yang menangani 163 unit di 3 kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Dompu, Kabupaten Bima, dan Kota Bima. Program BSPS juga dialokasikan di Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Mandalika sebanyak 200 unit di tahun 2019.
Sumber dana penanganan RTLH di Provinsi NTB bersumber dari APBN, APBD I, APBD II, dan DAK. Program Rumah Swadaya yang bersumber dari APBN diwujudkan dalam program BSPS sejumlah 18.411 unit, pembangunan rusun sejumlah 50 tower, dan pembangunan RUSUS sebanyak 1.065.
Apa yang dapat kita pelajari dari implementasi program penyediaan perumahan di Provinsi NTB? Kebijakan strategis perumahan dan permukiman perlu diakomodasi melalui beberapa peningkatan, yaitu:
- Partisipasi masyarakat dalam mewujudkan lingkungan permukiman dan komunitas yang sehat.
- Pemenuhan kebutuhan Rumah Layak Huni (RLH) yang didukung prasarana, sarana, dan utilitas (PSU) serta kepastian bermukim bagi masyarakat.
- Partisipasi pengembang dan pihak swasta dalam pemenuhan rumah layak huni bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan pemenuhan backlog perumahan.
Ibu Musrifah dari Direktorat Rumah Swadaya, Direktorat Jenderal Perumahan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memberikan pandangannya dari sisi pemerintah. Musrifah menyatakan bahwa dana APBD dan APBN tidak mungkin diandalkan sepenuhnya untuk memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat. Salah satu kendala pendistribusian dana bantuan dari pemerintah dikarenakan kurangnya akurasi data. Maka dalam penerapan program Rumah Swadaya ke depannya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
- Pemerintah kabupaten/kota perlu memutakhirkan data secara berkala. Data tersebut perlu dimiliki juga sampai ke tingkat pemerintah desa.
- Perlunya segmentasi terhadap penghasilan, tingkat keswadayaan, permasalahan yang dihadapi masyarakat.
- Permendagri No. 33 tahun 2020 merupakan nomenklatur penganggaran agar dinas dapat menjalankan fungsinya. Hal ini perlu dicermati oleh pemerintah daerah dalam menggunakan bantuan sosial (bansos) agar dapat mendukung penyediaan perumahan dan penyelengaraannya terdistribusi dengan baik.
Pada prinsipnya, Rumah Swadaya diprakarsai oleh masyarakat dan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama. Namun pada pelaksanaannya, harus ada peran pemerintah dalam memfasilitasi masyarakat terutama dalam hal informasi dan bantuan pembiayaan supaya masyarakat mampu membangun rumahnya secara layak dan terjangkau!