Kampung berperan sebagai unit pemukiman terkecil yang menyumbang pada dinamika kehidupan perkotaan. Suatu kota terbentuk/terdiri dari kampung-kampung, sehingga masalah, potensi, dan isu kota tidak bisa dipisahkan dari eksistensi kampung. Namun biasanya para perencana atau pengembang terlalu berkiblat pada teori-teori barat dan sering kali melewatkan eksistensi kampung dalam prognosis, analisis, maupun sintesis pembangunan kota. Saat ini 50-60% penduduk dunia tinggal di perkotaan, termasuk Indonesia, sehingga penyelesaian permasalahan kota melalui kampung menjadi sangat penting, mengingat jumlah penduduk akan terus bertambah yang didukung dengan adanya urbanisasi. Lalu, apa saja inovasi yang dapat dilakukan untuk mengatasi tantangan tersebut?

 

Menanggapi fenomena tersebut, Caritra Indonesia kembali menyelenggarakan Webinar Webinar Perkim 2024 Seri ke-4 dengan mengusung tema “Kembali ke Kampung: Implementasi Kampung Oriented Development di Indonesia”. Webinar ini dilaksanakan pada pukul 14:00-15:30 WIB hari Kamis, 18 Juli 2024 secara daring melalui Zoom Meeting. Materi webinar disampaikan oleh Dr.Eng. Sani Roychansyah, S.T., M.Eng dosen Perencanaan Wilayah dan Kota UGM, dan dimoderatori oleh Ibu Dr. Ir. Mahditia Paramita, M.Sc.

 

Sani membuka webinar dengan menyampaikan delapan indikator program yang dapat dikembangkan sebagai salah satu upaya dalam mewujudkan pembangunan kota melalui kampung yang berkelanjutan:

  1. Hijau
  2. Inklusif
  3. Tangguh
  4. Kreatif
  5. Regeneratif
  6. Kompak
  7. Sehat
  8. Cerdas

Namun tidak menutup kemungkinan akan terjadi tumpang tindih antar indikator. Sebagai contoh, suatu kampung di Kabupaten Banyuwangi yang mengangkat konsep smart village berubah menjadi resilient village akibat adanya pandemi COVID-19.

 

Sani dalam penjelasannya menekankan bahwa kampung merupakan bagian integral struktur ruang kota yang berperan sebagai penyedia ruang bermukim bagi penduduk kota. Keberadaan kampung sangat penting untuk mendorong kebersamaan dan menjadi wadah terjadinya kohabitasi antara golongan kaya-miskin, modern-tradisional, legal-ilegal, serta urban-village. Selain itu, terdapat setting yang dinamis pada lingkungan kampung, misalnya pada siang hari digunakan sebagai tempat berjualan atau menjemur pakaian, sedangkan pada malam hari berubah fungsi sebagai tempat kegiatan ronda malam.

 

Pengukuran tingkat sustainability (keberlanjutan) suatu wilayah dapat diukur menggunakan Casbee-Urban Development. Berdasarkan pengukuran tersebut, Indonesia dinilai unggul dari segi sosial-infrastruktur. Penilaian dari segi lingkungan memang kurang bagus, namun kontribusi terhadap social community cukup besar, yang menandakan bahwa Indonesia memiliki modal sosial yang cukup baik.

 

Lebih lanjut, Sani menjelaskan beberapa strategi pengembangan kampung berdasarkan tingkat kompleksitasnya:

  1. One Kampung One Facility (OKOP)

Strategi ini berfokus pada penyediaan satu fasilitas umum di setiap kampung, dengan tingkat kompleksitas rendah.

  1. Kampung Infill Redevelopment (KIR)

Strategi ini melibatkan pembenahan area kampung yang sudah ada, dengan cara memperbaiki infrastruktur dan/atau bangunan yang sudah ada atau menambahkan bangunan baru di lahan kosong di dalam kampung. Strategi ini memiliki tingkat kompleksitas sedang/menengah.

  1. New Kampung Redevelopment (NKR)

Strategi ini mencakup pembangunan ulang kampung secara menyeluruh, yang melibatkan perencanaan ulang dan pembangunan kembali seluruh area kampung, sehingga termasuk tingkat kompleksitas tinggi.

 

Dalam pengembangan konsep Kampung Oriented Development (KOD), kampung dijadikan sebagai titik awal atau tujuan akhir dari pembangunan kota, sehingga hal pertama yang seharusnya dilakukan adalah pembenahan kampung-kampung perkotaan. Selain itu, perlu adanya keseimbangan lingkungan, kondisi sosial masyarakat, serta pelestarian budaya lokal. Lebih lanjut, konsep Transit Oriented Development (TOD) juga bisa diterapkan pada suatu kampung, selama kampung tersebut dapat dijadikan lokasi transit, seperti Kampung Dukuh Atas.

Konsep pengembangan kampung dapat digali dari keunikan masing-masing kampung, seperti fasad bangunan dan mural. Dalam hal ini, arsitek diharapkan dapat mengeksplorasi potensi yang ada di kampung-kampung dengan memperbanyak ruang publik, menggunakan warna cat yang dapat memperindah lingkungan, atau membangun jalan tikus sebagai salah satu jalur koneksi antar tempat. Selain itu, vertikalisasi juga dapat dilakukan untuk memanfaatkan lahan yang ada dan menghindari terjadinya gentrifikasi lahan oleh investor.

Pada bagian akhir sesi pemaparannya, Sani menyampaikan perihal kampung yang sebenarnya menjadi semesta pembicaraan dalam pembangunan kota sering kali terlewatkan/terlupakan, baik secara konteks struktur, fungsi, maupun makna. Menjadikan kampung sebagai inti dari solusi adalah jawaban yang tepat, salah satunya dengan menerapkan Kampung Oriented Development (KOD).

 

Webinar kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi dan tanya jawab. Dalam sesi ini, Sani menjawab beberapa pertanyaan yang diberikan peserta sebagai berikut.

Bagaimana langkah agar kampung tetap bisa berkembang tanpa menghilangkan ciri khas yang sudah ada sebelumnya?

Sebagai tanggapan atas pertanyaan tersebut, Sani menjawab, setiap kampung memiliki keunikannya masing-masing. Keunikan itu biasanya hanya terjadi ketika ada agresor, pendatang, atau investor. Namun masyarakat belum tentu memahami rencana detail (RDTR) yang telah ditetapkan untuk wilayah mereka sendiri, sehingga tidak ada bargaining position di mana ada aturan yang mengatur wilayah tersebut.

 

Apakah mungkin KOD dapat menjadi program nasional seperti Rusun dan KIP?

Sebagai tanggapan atas pertanyaan tersebut, Sani menjawab, Program KOD bisa diarusutamakan dengan melihat kampung sebagai entitas penting dan tradisional yang memiliki identitasnya sendiri. Jika ingin mengembangkan sarana dan prasarana pendukung seperti pusat perbelanjaan, maka tidak boleh sampai menghilangkan identitas asli dari kampung yang berada di sekitarnya.

 

Bagaimana peran generasi muda dalam implementasi KOD di Indonesia?

Sebagai tanggapan atas pertanyaan tersebut, Sani menjawab, generasi muda, khususnya gen z, dapat memanfaatkan media sosial untuk membuat konten yang membahas pentingnya kehadiran kampung. Mereka juga dapat melakukan kunjungan ke lokasi-lokasi yang jarang atau belum pernah dikunjungi, sambil mempromosikan kampung-kampung yang jarang terjangkau oleh media.

 

Di Palembang, sebagian besar kampung kota berupa kampung heritage. Selain itu, beberapa kampung juga dilalui oleh kereta LRT yang menjadikan kampung-kampung ini berpotensi menjadi kawasan TOD. Apakah konsep pengembangan kampung heritage memungkinkan dikembangkan menjadi KOD?

Sudah ada metode cara menghitung yang memperlihatkan fungsi kampungnya sendiri, yang mungkin dapat digunakan oleh pemerintah untuk menilai kampung-kampung yang ada di Palembang. Selain itu, perlu adanya studi mendalam terkait tipologi kampung, karena pemerintah agak kesulitan dalam mendefinisikan batasan kampung, apakah kelurahan atau desa.

 

Sebagai penutup, webinar ini menekankan bahwa faktor-faktor pembangunan tidak harus sama dan tidak boleh hanya berorientasi proyek. Program harus jelas, berbekas, dan tidak menghilangkan kekhasan yang ada. Pemerintah daerah harus memperhatikan kampung-kampung yang menjadi sasaran kunjungan para investor, dengan fokus pada bagaimana menjaga keunikan kampung sambil tetap mendorong perkembangan kampung itu sendiri.