Keberadaan permukiman kumuh dengan ketidakteraturan bangunan dan kualitas hunian rendah masih menjadi permasalahan klasik, khususnya bagi kawasan perkotaan di negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia. Daya tarik kawasan perkotaan yang tidak diimbangi dengan keterjangkauan finansial dari kaum urban untuk mengakses perumahan formal menjadi salah satu penyebab kemunculan permukiman kumuh. Tidak hanya berpengaruh terhadap tata ruang dan mendorong degradasi lingkungan, kawasan kumuh juga menjadi sebuah gambaran yang menunjukkan kondisi ketimpangan, kemiskinan, maupun tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah. Oleh karena itu, forum global menargetkan pencapaian tujuan bersama untuk penyediaan rumah layak huni dan terjangkau bagi setiap penduduk melalui Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 yang mana termuat dalam tujuan ke sebelas, yaitu “sustainable cities and communities”.

Berbagai upaya penanganan kumuh telah dilaksanakan oleh pemerintah, sebagai pihak yang secara konstitusional bertanggungjawab terhadap penyediaan perumahan dan permukiman. Program penanganan permukiman kumuh juga turut mengalami perkembangan, baik dimulai dari konsep Kampung Improvement Program (KIP) pada tahun 1969 hingga penyusunan baseline 100-0-100 (100% akses layak air minum, pengurangan kawasan kumuh menjadi 0%, dan pemenuhan 100% akses sanitasi layak) pada tahun 2015 serta program KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh) berskala nasional pada tahun 2016 yang berlangsung hingga saat ini. Selain meningkatkan kualitas permukiman kumuh dan mencegah timbulnya kawasan kumuh baru, pada program KOTAKU juga dilakukan upaya peningkatan akses infrastruktur dan pelayanan dasar, pembentukan Pokja PKP Kabupaten/Kota, serta melakukan integrasi terhadap pengembangan masyarakat melalui partisipasi.

Gambar 1. Program Penanganan Kumuh di Indonesia
Sumber: Muta’ali dan Nugroho, 2016 dalam Ervianto dan Susharadjanti, 2019

Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, tetapi permasalahan terkait keberadaan kumuh masih menjadi pekerjaan rumah yang belum dapat terselesaikan. Tidak jarang program penanganan yang telah dilakukan dinilai bersifat parsial karena hanya berfokus pada pembangunan fisik semata dan seakan hanya “mempercantik” kawasan saja, sehingga belum mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi pada masa mendatang, termasuk keberlanjutan penataan. Hal tersebut diperkuat dengan minimnya program pengendalian maupun tindak lanjut pasca peningkatan kualitas permukiman dijalankan, sehingga menjadi peluang kembalinya kondisi kumuh (return of slums) akibat ketidakmampuan penghuni dalam menjaga maupun mengembangkan lingkungan.

Apabila ditinjau lebih mendalam, menurut Sunarti, dkk. (2014), peningkatan kualitas lingkungan permukiman yang mana dilakukan melalui perbaikan fisik dan legalisasi kepemilikan tanah, seharusnya dapat memberikan kenyamanan dan keamanan sekaligus memberikan peluang pengembangan ekonomi masyarakat. Oleh karenanya, penanganan permukiman kumuh dapat diawali dengan penciptaan kawasan produktif dan lingkungan yang memiliki nilai tambah ekonomi bagi masyarakat dengan perekonomian rendah (Ervianto dan Susharadjanti, 2019). Terlebih lagi, dalam mewujudkan permukiman yang berkelanjutan, aspek ekonomi dan sosial juga perlu diupayakan, di samping meningkatkan kualitas lingkungan. Mempertimbangkan hal tersebut, maka sebuah upaya tindak lanjut dari program peningkatan kualitas permukiman kumuh perlu dijalankan guna memastikan masyarakat memiliki kemampuan untuk meningkatkan taraf hidup yang mana akan berdampak langsung terhadap kualitas huniannya.

Membangun kemandirian masyarakat pasca penataan permukiman dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti membangun pusat kegiatan pengembangan ekonomi dan mendorong kelembagaan masyarakat. Peran sektor swasta melalui program CSR (Coorporate Social Responsibility), perguruan tinggi, maupun NGO (Non-Governmental Organization) juga perlu ditingkatkan bersama dengan pemerintah untuk mendampingi dan memastikan kondisi perekonomian masyarakat telah membaik. Pemberdayaan yang partisipatif perlu dimaksimalkan untuk membangun kemandirian ekonomi. Dengan demikian, permasalahan kumuh yang dipandang sebagai multidimensi dapat berkelanjutan, yaitu menyelesaikan permasalahan pada masa kini dengan tetap mengantisipasi dampak negatif pada masa mendatang. (ADS)

 

 

Referensi :

Ervianto, Wulfram I. Sushardjanti Felasari. 2019. Pengelolaan Permukiman Kumuh Berkelanjutan di Perkotaan. Jurnal Spektran, Vol.7, No.2, hlm. 178-186.

Farizkha, Ivan Agusta. 2016. Pengendalian Perkembangan Permukiman Berbasis Sustainable Settlement – Studi Kasus: Permukiman Perkotaan Kabupaten Lumajang. Surabaya: Thesis Program Magister Bidang Keahlian Perumahan dan Permukiman – Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Sunarti. Joesron Alie S. Asnawi Manaf. 2014. Slum Upgrading Withouth Displacement at Danukusuman Sub-District Surakarta City. International Transaction Journal of Engineering, Management, & Apploed Sciences & Technologies, Vol.5, No.3, hlm. 213-225.