Kawasan permukiman kumuh masih menjadi persoalan pelik yang dihadapi Indonesia. Tercatat kawasan kumuh di Indonesia bertambah seluas 87.000 hektar yang semula hanya seluas 38.000 hektar. Hal ini terjadi akibat semakin meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia yang tidak diiringi dengan ketersediaan lahan yang mencukupi, sehingga semakin lama lahan yang difungsikan sebagai permukiman semakin berkurang. Hal ini berdampak pada tumbuhnya kawasan kumuh dengan segala permasalahannya.
Banyak masyarakat dengan rentang ekonomi menengah kebawah memilih untuk menggunakan lahan-lahan ilegal yang menurut mereka mampu menekan biaya dalam mewujudkan hunian mereka. Tidak lagi memikirkan layak huninya atau tidak, masyarakat ini cenderung memanfaatkan segala kesempatan yang ada untuk memenuhi kebutuhannya akan permukiman. Akibatnya lahan-lahan yang semestinya menjadi lahan terbuka untuk publik justru digunakan untuk membangun hunian-hunian tidak layak huni yang umumnya juga tidak memiliki legalitas hak milik atau hak guna lahan tersebut. Selain itu, permukiman-permukiman kumuh tidak layak huni ini juga mengurangi nilai estetika dari sebuah kota.
Untuk mengendalikan pertumbuhan permukiman kumuh sekaligus upaya menata kembali sebuah kawasan maka Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia meluncurkan sebuah program bernama hunian sub-komunal. Hunian ini adalah sebuah sistem untuk menyediakan kelompok hunian secara vertikal dua lantai dengan tipe hunian 36+ dengan total 56 unit hunian. Hunian ini dikelompokkan secara komunal kecil menjadi sub komunal A, B, dan C. Sasaran dari program ini adalah masyarakat yang terkena dampak program pembangunan untuk kepentingan umum, bencana alam, penertiban ruang kota, dan kondisi sejenis lainnya.
Hunian ini dibangun dengan metode konstruksi yang telah diteliti oleh Balitbang Kementerian PUPR bernama RISHA (Rumah Instan Sederhana Sehat). Metode konstruksi ini memudahkan dalam proses pembangunan dan pemasangannya karena menggunakan sistem pracetak yang juga lebih fleksibel dan efisien baik secara waktu pembangunan maupun penggunaan bahan konstruksinya. Hunian ini juga dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai, seperti sarana bersama yakni taman, tempat parkir, ruang bersama hingga tempat untuk berdagang atau kios. Sehingga mampu memberikan solusi bagi penataan kawasan kumuh di sekitarnya.
Hunian sub-komunal ini telah diuji coba, dilaksanakan di kawasan rumah susun Semanggi di Kota Surakarta sebagai program Kementerian PUPR dalam rangka penataan kawasan bantaran sungai Bengawan Solo bekerja sama dengan Pemerintah Kota Surakarta. Hasilnya, penataan kawasan kumuh menjadi terpadu dan berkelanjutan melalui hunian sub-komunal. (SCA/MG)
Referensi:
http://elearning.litbang.pu.go.id/teknologi/hunian-sub-komunal-risha
http://litbang.pu.go.id/puskim/berita/detail/1555/mengenal-hunian-subkomunal-risha