Aturan di Indonesia menetapkan bahwa benda atau situs yang memiliki umur di atas 50 tahun dan mewakili gaya yang khas pada masanya dapat dikategorikan sebagai benda cagar budaya (Undang – Undang Nomor 5 tahun 1992). Indonesia sebagai negara yang memiliki asal usul sejarah yang panjang memiliki banyak sekali situs yang dapat dikategorikan sebagai cagar budaya, termasuk bangunan atau rumah. Rumah merupakan kebutuhan dasar bagi nenek moyang masyarakat Indonesia dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Saat ini, masih banyak ditemukan rumah – rumah kuno yang dibangun pada masa nenek moyang kita namun masih berdiri dengan kokoh hingga saat ini. Namun keberadaan rumah kuno ini, apakah menjadi beban pemerintah daerah untuk pemeliharaannya? Atau bahkan menjadi sebuah harapan bagi para pecinta budaya dan sejarah?
Rumah kuno memiliki gaya bangunan yang khas, berbeda pada zaman berdirinya dan berbeda pula pada masing – masing lingkungannya. Rumah – rumah kuno tersebut banyak yang dimanfaatkan untuk menunjang pariwisata daerah, seperti untuk penginapan, tempat makan, museum, obyek atraksi wisata, dan lainnya. Selain dimanfaatkan oleh investor wisata, rumah – rumah kuno juga menjadi harapan bagi pemerintah dan budayawan. Mereka mengharapkan rumah kuno tersebut dapat menjadi sumber pembelajaran bagi generasi yang akan datang (Harun, 2011). Gaya bangunan dan material bangunan dapat menjadi daya tarik dan obyek pembelajaran bagi banyak pihak. Rumah kuno yang masih berdiri juga diharapkan dapat menjadi saksi bisu dan bukti konkret dari sejarah Indonesia dimasa lampau. Hal itu yang menjadi harapan mengapa rumah kuno harus tetap eksis keberadaanya.
Namun, rumah kuno juga dapat menjadi beban tersendiri bagi pemilik bangunannya. Biaya pemeliharaan dan masalah warisan bangunan dapat menjadi permasalahan intern dari pemilik rumah. Selain itu, posisi rumah kuno yang berada di lingkungan permukiman masyarakat modern juga menjadi beban bagi pemilik (Dharmasanti, 2019). Rumah – rumah dengan model gaya modern minimalis sedang menjadi tren saat ini. Banyak rumah yang direnovasi untuk mengikuti tren tersebut. Namun, sulit bagi pemilik rumah kuno untuk melakukan hal itu. Sebab, terdapat aturan dari pemerintah yang harus ditaati dalam merenovasi rumah kuno mereka (UNESCO, 2007). Beban – beban seperti itulah yang menyebabkan rendahnya kesadaran pemilik untuk melestarikan rumah kuno (Dharmasanti, 2019).
Pemerintah saat ini memang sudah mengupayakan pelestarian rumah kuno dengan mempromosikannya sebagai obyek wisata Indonesia dan membuat aturan – aturan terkait. Banyak wisatawan dan akademisi dari luar negeri yang datang ke Indonesia untuk belajar tentang sejarah dan budaya dari rumah – rumah kuno tersebut. Hal itu menjadi salah satu daya tarik obyek wisata Indonesia karena keberadaan rumah kuno tidak dapat ditemui di negara lain. Namun, disisi lain belum banyak aturan yang dapat membantu pemilik untuk menjaga keberadaan dan kondisi rumah kuno. Hal itu terbukti dengan banyaknya pemilik rumah kuno yang melanggar aturan, sebab merasa sulit untuk mengikutinya. Selain itu, aturan yang ada juga belum banyak membantu pemilik rumah kuno dalam menyelesaikan permasalahan intern mereka. Oleh karena itu, perlu adanya pendekatan dari yang lain dalam upaya pelestarian rumah – rumah kuno di Indonesia. Jadi, memiliki rumah kuno itu harapan atau beban? (RD)
Daftar Pustaka :
Dharmasanti, Roswita. 2019. The Awareness Level of Building Owners to Conserve Cultural Heritage Area in Kotagede, Yogyakarta. IOP Conference Series : Earth and Environmental Science Volume : 409 Nomor : 012025
Harun, S N. 2011. “Heritage Building Conservation in Malaysia: Experience and Challenges”. Journal Procedia Engineering 20 (2011) 41 – 53
Menteri/Sekretaris Negara Republik Indonesia. 1992. Undang – Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Jakarta : Menteri/Sekretaris Negara Republik Indonesia
UNESCO. 2007. Pedoman Pelestarian bagi pemilik rumah di kawasan pusaka Kotagede. Jakarta : UNESCO