Pada tanggal 18 September 2023, UNESCO menetapkan kawasan Sumbu Filosofis Yogyakarta yang merupakan wilayah-wilayah di sekitar garis imajiner antara Tugu Pal Putih-Malioboro-Keraton Yogyakarta-Panggung Krapyak sebagai Warisan Dunia (Wicaksono, 2024). Mengikuti penetapan itu, sejumlah titik primer di kawasan tersebut mulai dipugar. Beberapa di antaranya bahkan sempat menimbulkan pertentangan, seperti misalnya pemagaran alun-alun utara yang menghabiskan dana hingga 2,3 miliar saat pandemi COVID-19 melanda, hanya demi mengembalikan nuansa fisiknya seperti bentuk aslinya zaman dahulu (Pertana, 2020; Subarkah, 2020). Proyek pemugaran lain untuk mengembalikan bentuk aslinya terus berlanjut seperti revitalisasi benteng (beteng) Keraton yang masih berjalan tahun ini.

Selama proses revitalisasi beteng tersebut, sejumlah hunian warga yang menempel pada tembok beteng akan digusur. Gubernur sekaligus Raja Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) X, menuturkan bahwa penggusuran itu perlu dilakukan menimbang rekomendasi dari UNESCO, dengan tetap memberikan sejumlah bebungah atau kompensasi (Leon, 2023; Rinepta, 2024) sejumlah Rp 80-250 juta (Pangaribowo & Putri, 2024).

Sejauh tinjauan di lapangan, wilayah-wilayah yang dipugar itu merupakan pusat pariwisata di tengah Kota Yogyakarta, selain termasuk kawasan Sumbu Filosofis. Konsekuensinya, penataan dan pemugaran wilayah di kawasan Sumbu Filosofis selain bisa diakui sebagai warisan dunia, juga dapat memperkuat status wisata di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dengan begitu, wajah DIY sebagai kota wisata menjadi semakin menarik perhatian banyak wisatawan untuk datang. Persoalannya, dalam kasus revitalisasi beteng, status fisik beteng sebagai warisan budaya dunia menjadi jauh lebih penting dibandingkan dengan ruang hidup rakyat yang tergusur karena revitalisasinya. Lantas siapa yang diuntungkan dari status warisan budaya dunia ini?

Siapa yang Diuntungkan? Siapa yang Dirugikan?

Secara kesejarahan, hunian di sekitar beteng keraton memang sudah ada sejak lama. Brilian (2024) menuturkan bahwa di bawah kepemimpinan HB IX, beteng yang hancur akibat serangan tentara Inggris itu menjadi tempat perkembangan hunian warga melalui hak ngindhung dan hak magersari. Hak ngindhung merupakan hak penggunaan lahan dalam jangka waktu yang disetujui kedua belah pihak, sedangkan hak magersari tidak memiliki ikatan waktu tertentu dan hanya diperuntukkan kepada pribumi. Banyak dari para warga yang rumahnya menempel di dinding beteng memiliki hak magersari tanpa sertifikat. Sampai ketika banyak dari warga tersebut berbondong-bondong mendaftarkan hak atas tanahnya agar mendapat sertifikat legal melalui program Pemerintah Kota Yogyakarta tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PPTSL) pada tahun 2018. Namun, Brilian mengungkap bahwa program itu tidak pernah terealisasikan, sehingga warga yang terlanjur mendaftarkan aset lahannya hanya menjadi basis data tentang siapa saja penghuni yang kelak akan digusur.

Proses penggusuran itu cukup problematik. Menurut sejumlah ahli, penggusuran hunian warga atas nama pembangunan atau revitalisasi cagar budaya merepresentasikan kekuasaan para kelas penguasa dalam menentukan mana yang termasuk cagar budaya dan mana yang tidak, sehingga hanya merayakan masa lalu yang cocok dengan identitas para penguasa (Bloch, 2016; De Cesari & Herzfeld, 2015). Tidak perlu heran, dalam konteks Kota Yogyakarta, argumen itu bisa diterima lantaran apa yang dianggap warisan budaya oleh UNESCO memang berdiri di atas lahan milik Sultan atau Sultan Ground. Status kepemilikan lahan itu sangat terlembaga apalagi semenjak UU Keistimewaan DIY Tahun 2012 diberlakukan, sehingga basis kekuasaan politik dan ekonomi para penguasa menjadi semakin kokoh (Kurniadi, 2019). Sedikit meminjam pandangan dari Tania Li (2009), terpinggirkannya para warga dari tempat tinggal dan sumber penghidupannya dapat dipahami bahwa lahan jauh lebih penting daripada eksistensi manusia. Lebih spesifik lagi, cagar budaya bak sebuah objek sakral yang lebih penting untuk dipertahankan daripada hunian-hunian warga, khususnya mereka yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.

Meskipun begitu, benar adanya bahwa mereka yang digusur tidak memiliki izin legal berupa sertifikat tanah untuk menggunakan lahan tersebut dan oleh karenanya pemerintah daerah sudah “berbaik hati” memberikan bebungah. Namun, proses penggusuran dan pemberian bebungah tidak lantas menutupi konsekuensi lanjutan yang timbul setelahnya. Berkaca dari fenomena di Bangkok, Bristol (2010) mengungkap konsekuensi dari revitalisasi cagar budaya benteng Pom Mahakan justru berpihak pada wisatawan dan ekonomi pasar berbasis pariwisata daripada penduduk yang tergusur. Selain itu, merevitalisasi cagar budaya yang lantas membuat kota tersebut menjadi kota historis seiring dengan meningkatnya harga properti di kawasan cagar budaya tersebut (De Cesari & Herzfeld, 2015). Mengutip beberapa penduduk di sekitar beteng Keraton, Brilian (2024) menangkap kekesalan penduduk terdampak penggusuran yang mempertanyakan kebermanfaatan revitalisasi beteng bagi mereka,

Lha nek meh dibalekke dadi benteng pertahanan, lha emang iki lagi perang karo sopo to?…Terus untunge dinggo warga juga untuk apa?”

(Kalau dikembalikan menjadi benteng pertahanan, memang sekarang sedang perang dengan siapa? Lalu untungnya bagi warga juga apa?)

Tampaknya industri pariwisata yang masif, sehingga memengaruhi harga properti di Kota Yogyakarta memang menguntungkan bagi para penguasa, tetapi tidak bagi penduduk dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Meskipun telah diberi bebungah, ke mana mereka akan tinggal ketika harga tanah dan rumah di Yogyakarta semakin meningkat dari waktu ke waktu.

 

Merefleksikan “Tahta untuk Rakyat” dalam Penataan dan Perancangan Kota Yogyakarta

Yogyakarta memang sudah lama didaulat sebagai salah satu kota budaya dan wisata di Indonesia. Namun, kita juga perlu kritis dalam memahami perkembangannya seiring waktu. Dalam hal penataan dan perancangan kota, sudah semestinya pemerintah berpihak pada rakyat rentan secara sosial, ekonomi, dan politik daripada mengejar label semu yang hanya mengokohkan representasi riwayat masa lalu para kelas dominan. Dalam konteks Yogyakarta, keberpihakan pada rakyat rentan merupakan cerminan dari semangat kepemimpinan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang menganggap bahwa “tahta” kepemimpinannya semata-mata hanya “untuk rakyat”. Semangat itu kiranya perlu selalu digaungkan dan dipraktikkan bahkan dalam hal penataan dan perancangan Daerah Istimewa Yogyakarta pada umumnya dan Kota Yogyakarta pada khususnya. (MHH)

 

 

Referensi

Bloch, N. (2016). Evicting heritage: spatial cleansing and cultural legacy at the Hampi UNESCO site in India. Critical Asian Studies, 48(4), 556-578. https://doi.org/10.1080/14672715.2016.1224129

Brilian, A. (2024). Hidup Bersama Warisan Budaya Dunia: Kompleksitas, Rumor, Tegangan, dan Ironi yang Bergentayangan di Kampung Triman. MATAJENDELA: Seni Budaya Yogyakarta, 19(3), 5-11.

Bristol, G. (2010). Rendered invisible: Urban planning, cultural heritage and human rights. In M. Langfield, W. Logan, & M. N. Craith (Eds.), Cultural Diversity, Heritage and Human Rights: Intersections in theory and practice (pp. 117-134). Routledge.

De Cesari, C., & Herzfeld, M. (2015). Urban Heritage and Social Movements. In L. Meskell (Ed.), Global Heritage: A Reader (pp. 171-195). John Wiley & Sons, Inc.

Kurniadi, B. D. (2019). Defending the Sultan’s Land: Yogyakarta, Control over Land and Aristocratic Power in Post-Autocratic Indonesia [Disertasi]. Australian National University. 10.25911/5e3a934e0d160

Leon, Y. (2023, September 20). Sumbu Filosofi Jadi Warisan Dunia, Rumah Nempel Benteng Keraton Bakal Digusur. Regional. https://regional.espos.id/sumbu-filosofi-jadi-warisan-dunia-rumah-nempel-benteng-keraton-bakal-digusur-1746662

Li, T. M. (2009). To Make Live or Let Die? Rural Dispossession and the Protection of Surplus Populations. Antipode, 41(S1), 66-93. https://doi.org/10.1111/j.1467-8330.2009.00717.x

Pangaribowo, W. S., & Putri, G. S. (2024, May 27). Revitalisasi Benteng Keraton, Disbud DIY Targetkan Tahun Ini Selesai Beri “Bebungah”. KOMPAS.com. https://yogyakarta.kompas.com/read/2024/05/27/155658078/revitalisasi-benteng-keraton-disbud-diy-targetkan-tahun-ini-selesai-beri

Pertana, P. R. (2020). Alun-alun Utara Yogya Bakal Dipasangi Pagar Besi. detikNews. https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-5045776/alun-alun-utara-yogya-bakal-dipasangi-pagar-besi

Subarkah, L. (2020). Pembangunan Pagar Alun-Alun Utara Senilai Rp 2,3 Miliar di Tengah Pandemi Dinilai Tidak Tepat. Harian Jogja. https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2020/06/28/510/1043024/pembangunan-pagar-alun-alun-utara-senilai-rp23-miliar-di-tengah-pandemi-dinilai-tidak-tepat#google_vignette

Wicaksono, P. (2024, August 21). Warisan Dunia Unesco, Kawasan Sumbu Filosofi Yogyakarta Dilengkapi Sistem Penanganan Kebakaran Cepat | tempo.co. Tempo.co. https://www.tempo.co/hiburan/warisan-dunia-unesco-kawasan-sumbu-filosofi-yogyakarta-dilengkapi-sistem-penanganan-kebakaran-cepat-17338