Eksistensi kampung kota adalah bagian dari identitas perkotaan yang terbentuk dari faktor fisik dan non fisik (sosial, budaya, ekonomi, interaksi masyarakat) penghuninya. Kampung Ketandan merupakan Kampung Pecinan atau Chinese Kamp tertua di Kota Yogyakarta yang menghadapi tantangan besar akibat ekspansi kawasan komersial di sekitarnya. Dalam dua dekade terakhir, lebih dari 74,49% bangunan asli telah berubah fungsi menjadi ruko atau pusat perdagangan modern, mengancam identitas historisnya. Sebagai salah satu lima Bangunan Cagar Budaya (BCB) Tingkat Provinsi yang diakui oleh Gubernur DIY melalui SK Nomor 195/KEP/2021, upaya pelestarian semakin mendesak. Jika tidak ada intervensi kebijakan dan partisipasi aktif masyarakat, Kampung Ketandan berisiko mengalami gentrifikasi yang dapat menghilangkan ciri khas pecinannya dalam 10-20 tahun ke depan.

Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta
Menurut lokasinya, Kampung Ketandan dihadapkan oleh masalah dualisme perkotaan, yaitu perbedaan antara kedua kondisi dan karakteristik yang saling berdampingan. Dalam kehidupan perkotaan, dualisme terjadi tanpa perencanaan dan sering menjadi masalah. Seiring waktu, dualisme menciptakan kesenjangan multidimensi sehingga menyebabkan masalah sosial dan ekonomi, contohnya area komersial yang meluas dan menggerus kawasan bersejarah. Secara fisik, Kampung Ketandan semakin tergerus akibat ekspansi bangunan komersial oleh pendatang, yang menyebabkan perubahan tanpa mempertimbangkan konservasi. Penelitian lain menunjukkan bahwa pesatnya perkembangan sosial ekonomi mengakibatkan pergeseran arsitektur dan fungsi bangunan, sehingga nilai kontekstual pecinan semakin terabaikan. Dengan demikian, eksistensi fisik dari kampung ini mulai pudar akibat letaknya yang terimpit dengan kawasan komersial atau dualisme yang terjadi.
Berbeda dengan kondisi fisiknya, Kampung Ketandan memiliki kondisi non fisik yang masih terjaga hingga sekarang. Kampung ini memiliki aktivitas ekonomi khas, seperti perdagangan emas, obat tradisional, dan makanan. Bangunan di Ketandan Utara dan Ketandan Selatan didominasi rumah toko, terutama yang berjualan emas sehingga memperkuat dinamika ekonominya. Kampung Ketandan berhasil mempertahankan identitas budayanya melalui Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY), yang diadakan setiap Imlek dan Cap Go Meh dengan dukungan stakeholder seperti Jogjakarta Chinese Art and Culture Center (JCACC) dan Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta. Pada Februari 2025, PBTY ke-20 mencatatkan lebih dari 500 tenant yang mendaftar untuk memeriahkan, namun karena keterbatasan tempat, panitia terpaksa mengeliminasi jumlah pendaftar menjadi 138 tenant. Selain itu juga, tercatat lebih dari 200.000 pengunjung termasuk dari Singapura dan Hongkong yang ikut memeriahkan perayaan tersebut. Pameran sejarah yang digelar di Rumah Ketandan Kidul No.9, yang merupakan peninggalan Kapiten Cina Tan Djin Sing, menjadi daya tarik utama wisata edukasi. Dari sisi ekonomi, festival ini mendongkrak omzet UMKM lokal hingga Rp 2 miliar dalam sepekan, terutama dari sektor kuliner dan kerajinan.
Dapat disimpulkan, eksistensi Kampung Ketandan masih jelas akan keberadaannya, walaupun sebagian kawasan sudah menandakan perubahan. Dapat dilihat bahwa Kampung Ketandan mampu mempertahankan eksistensinya karena mengandalkan perekonomian penghuninya sebagaimana kawasan kampung tersebut terletak di Kawasan Komersial Malioboro. Selain itu, faktor dari stakeholder juga mampu mempertahankan eksistensinya lewat beberapa aktor seperti Jogja Chinese Art and Culture Centre dan pemerintah. Dengan demikian dari kekayaan budaya, serta kebijakan stakeholder tersebut tentunya semakin membuat Kampung Ketandan dikenal dan terjaga eksistensinya walau di tengah dualisme perkotaan. (DAW)
Referensi :
Halim, G., & Widyastuti, D. T. (2019). Kajian Townscape Koridor Kawasan Pecinan. Prosiding Seminar Nasional Desain Dan Arsitektur (SENADA).
Idajati, H., & Muwifanindhita, M. B. (2019). Community Participation Level in Kampong Ketandan As Tourism Kampong in an Effort of Kampong Preservation. KnE Social Sciences, 508–520. https://doi.org/10.18502/kss.v3i21.4991
https://jogjaprov.go.id/berita/detail-berita/ratusan-umkm-siap-meriahkan-pbty-2025
Kurniati, R., Khadiyatna, P., & Fenatama Angel, J. (2020). Potential of Urban Kampong Area as a Tourism Destination (Case Study: Kampong Jayengan Surakarta). E3S Web of Conferences.
Nugraha, D. H., & Febrianty, D. (2015). Kawasan Permukiman Tionghoa dan Akulturasi di
Kampung Ketandan Yogyakarta. Seminar Nasional SCAN#6, 281–289.
Ristianti, N. S., Kurniati, R., & Widjajanti, R. (2021). The sustainability concept of Malay Kampong as tourism destination and urban heritage in Semarang: Dualism of modern transformation versus heritage. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 778(1).
Sujarto, D. (1981). Pengantar Planologi. Bandung: ITB Press.
Surat Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 195/KEP/2021 tentang Penetapan Bangunan Cagar Budaya Tingkat Provinsi.
Wicaksono, Dimas Aldi. (2024). Faktor yang Mempengaruhi Eksistensi Kampung Heritage Ketandan di Kawasan Komersial Malioboro Kota Yogyakarta. Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro. https://eprints2.undip.ac.id/id/eprint/22257.