Malioboro, sebagai destinasi wisata ikonik di Kota Yogyakarta, menarik bagi sekitar 5.000 hingga 10.000 wisatawan setiap harinya, terutama pada akhir pekan. Para wisatawan datang untuk menikmati perpaduan antara sejarah, pendidikan, belanja, dan kuliner. Jalan Malioboro berdiri bersamaan dengan berdirinya Kraton Yogyakarta. Sekitar tahun 1870-an, sentra ekonomi di Yogyakarta mulai berkembang seiring dengan terbitnya Undang-Undang Agraria kala itu. Momen ini menjadi cikal bakal Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan politik kolonial liberal atau politik pintu terbuka. Sehingga pada masa ini, penanaman modal swasta diperbolehkan masuk dan aturan terkait kepemilikan tanah diperketat.

Sejalan dengan masuknya modal asing, bangunan-bangunan publik mulai terbangun dan industri terus berkembang, salah satunya industri gula. Hingga pada abad ke-20, peningkatan jumlah pendatang di Kota Yogyakarta terus meningkat. Hal ini mengakibatkan Jalan Malioboro menjadi jalan pertokoan paling sibuk, bahkan hingga saat ini. Untuk mempertahankan sejarah dan budaya, Kawasan Malioboro ditata kembali, sehingga tidak sebatas digunakan sebagai pusat perbelanjaan saja, melainkan juga sebagai sarana pengembangan budaya dan bukti peradaban sejarah Kota Yogyakarta.

Pedestrian di kawasan Malioboro memberikan dampak besar baik dari segi sosial maupun ekonomi bagi masyarakat sekitar hingga masyarakat luas dan mendukung citra kawasan untuk menjadi kawasan wisata utama bagi Kota Yogyakarta (Munawar, 2021). Pedestrian Malioboro menjadi ruang bagi pencari nafkah dari sektor informal untuk menghidupi keluarganya. Sebagai respon dari padatnya aktivitas di pedestrian Malioboro, saat ini jalur lambat diubah menjadi ruang bagi pejalan kaki agar kenyamanan pejalan kaki dapat meningkat. Pertemuan antara aktivitas pencari nafkah dengan aktivitas pejalan kaki berbaur menjadi aktivitas bernilai sosial dan ekonomi. Didukung dengan keberadaan street furniture, kegiatan tersebut dapat berjalan dengan aman dan nyaman.

Belakangan ini, konsep Malioboro sebagai Teras Budaya terus berkembang. Pedestrian Malioboro ditujukan menjadi ruang pedestrian non-mesin dan mengutamakan manusia sebagai pelaku utama untuk memanfaatkan ruang publik, contohnya pejalan kaki, andong, dan becak sebagai moda transportasi utama. Selain itu, Jalan Malioboro direncanakan untuk menjadi koridor komersial, bersejarah dan budaya utama di Kota Yogyakarta. Jalan Malioboro dan kawasan sekitar menjadi jalur komersial utama dengan fasad bangunan yang dirancang untuk memperkuat eksistensi koridor Malioboro yang bersejarah. Karakter visual bangunan seperti ini menjadi memori kolektif masyarakat dan menjadi daya tarik utama wisatawan. Tidak jarang, pertunjukan-pertunjukan budaya yang diadakan di depan bangunan-bangunan kuno memperkuat ciri dan karakteristik Malioboro.

Persepsi masyarakat terhadap Kawasan Malioboro, termasuk jalan dan pedestrian sangat beragam dan dinamis seiring dengan perubahan yang terjadi di kawasan ini. Bagi masyarakat lokal, Malioboro dipandang sebagai jantung Kota Yogyakarta, karena Malioboro merupakan simbol dan wajah kota disertai dengan beragam aktivitas warga yang mewarnai lingkungan sekitar. Namun, masyarakat merasa bahwa pengelolaan Kawasan Malioboro belum optimal, terlebih dalam menangani masalah kemacetan, kebersihan dan keberadaan pedagang kaki lima yang kadang tidak dapat diatur. Bagi wisatawan, Kawasan Malioboro memiliki daya tariknya tersendiri, karena memiliki wisata budaya, sejarah, dan pendidikan yang berdekatan dengan wisata belanja. Selain itu, bangunan-bangunan bercirikan arsitektur kolonial belanda berjajar di sepanjang pedestrian Jalan Malioboro menambah kesan syahdu kawasan ini.

Malioboro merupakan destinasi ikonik di Kota Yogyakarta. Bagai jantung kota, Kawasan Malioboro menggabungkan wisata sejarah, pendidikan, belanja, dan kuliner dalam satu kawasan. Kawasan Malioboro mengalami berbagai transformasi, mulai dari pusat perdagangan kolonial, hingga menjadi koridor budaya yang mengandung nilai sosial dan ekonomi. Namun, dibalik keindahannya, Kawasan Malioboro juga menghadapi tantangan dalam pengelolaan, seperti kemacetan dan kebersihan. Hal ini menghadirkan berbagai persepsi dalam masyarakat. Secara umum, masyarakat menganggap bahwa Malioboro merupakan identitas Kota Yogyakarta. Dengan pengelolaan yang baik dan partisipasi aktif dari masyarakat itu sendiri, Malioboro berpotensi menjadi kawasan wisata yang lebih berkelanjutan dan berkualitas. (PNA)

 

 

Sumber:

Salim, T., & Swasto, D. F. (2022). Persepsi dan Pola Pergerakan Wisatawan Di Kota Yogyakarta Kasus: Kawasan Malioboro. Jurnal Syntax Admiration, 3(1), 239-257.

Wardhani, D. K., Rahadiyanti, M., & Purbadi, Y. D. (2022). The Analysis of Sense of Place of Malioboro Shopping Areas.