Hampir dua tahun pandemi, wisata sejarah masih belum begitu dilirik oleh masyarakat. Publik menilai dibutuhkan ragam upaya inovatif untuk membangkitkan eksistensi wisata sejarah di tengah pandemi.

Sejak dibuka lagi pada 20 Oktober lalu, Kota Tua mulai kembali ramai dikunjungi wisatawan untuk mengisi liburan akhir pekan.

Sebelum pandemi, berkunjung ke museum untuk menikmati benda peninggalan bersejarah atau datang langsung ke obyek cagar budaya menjadi salah satu pilihan masyarakat untuk menikmati waktu luang. Namun, saat pandemi, wisata sejarah sulit dilakukan secara langsung akibat adanya pembatasan aktivitas di luar ruangan dan kebijakan penutupan sejumlah obyek wisata.

Penutupan salah satunya pernah dilakukan oleh Museum Nasional di DKI Jakarta di awal pandemi, Maret 2020. Di luar Jawa, penutupan juga pernah dilakukan oleh museum di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, pada Mei 2021.

Pembatasan ruang gerak dan penutupan sejumlah obyek wisata sejarah berdampak pada penurunan jumlah kunjungan. Jika pada 2019 jumlah pengunjung di Museum Nasional mencapai 12,1 juta orang, pada 2020 turun hingga 96 persen menjadi 443.034 orang. Penurunan serupa juga terjadi pada sejumlah museum lainnya di DKI Jakarta, seperti Museum Sejarah Jakarta (79 persen) dan Museum Satria Mandala (81 persen).

Selain di DKI Jakarta, penurunan jumlah pengunjung yang cukup drastis juga tercatat pada Museum Kereta Api di Sawahlunto. Dibandingkan dengan tahun 2019, jumlah pengunjung museum ini pada 2020 turun hingga mencapai 68 persen.

Penurunan jumlah pengunjung ke obyek wisata bersejarah tidak terlepas dari kekhawatiran masyarakat untuk berlibur di tengah pandemi. Masyarakat khawatir terhadap penularan Covid-19 di obyek wisata meskipun sebagian besar obyek wisata bersejarah telah dibuka dengan penerapan protokol kesehatan.

Hal ini tergambar dalam jajak pendapat Kompas pada 7-9 Desember 2021. Dalam tiga bulan terakhir, sebanyak 42 persen responden mengaku tidak pernah berkunjung ke obyek wisata bersejarah karena khawatir berada di tengah keramaian saat pandemi. Kekhawatiran ini diungkapkan oleh responden dari berbagai daerah.

Layanan daring

Pandemi Covid-19 yang masih menjadi ancaman dan munculnya rasa khawatir di tengah-tengah masyarakat menjadi tantangan tersendiri untuk terus menjaga eksistensi wisata sejarah. Sejumlah langkah inovasi dibutuhkan guna meningkatkan geliat wisata sejarah ini.

Salah satu inovasi yang telah coba dilakukan oleh beberapa pengelola museum adalah dengan membuka opsi wisata virtual. Hal ini telah dilakukan oleh sejumlah museum, seperti Museum Seni Rupa dan Keramik di DKI Jakarta, Museum Kepresidenan di Bogor, Jawa Barat, dan Museum Manusia Purba Sangiran di Sragen, Jawa Tengah.

Selain wisata, jelajah budaya virtual juga pernah diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2020. Pada acara ini, peserta dapat mengunjungi candi secara daring yang disertai penjelasan tentang sejarah hingga upaya pelestarian yang dilakukan.

Hingga kini, sebagian masyarakat di Indonesia mulai memanfaatkan fasilitas digital untuk melakukan wisata sejarah secara virtual. Sebanyak 25,8 persen responden menyatakan pernah melakukan wisata sejarah secara virtual dalam setahun terakhir. Meskipun tidak begitu banyak, hal ini menggambarkan bahwa wisata sejarah secara virtual mulai dikenal, bahkan telah dilakukan oleh sebagian masyarakat.

Ditilik berdasarkan generasi, responden dari generasi termuda (generasi Z) hingga tertua (baby boomers) mengaku pernah menikmati wisata sejarah secara virtual selama setahun terakhir. Proporsi terbesar dilakukan oleh generasi Z (17-23 tahun). Hal ini cukup wajar mengingat generasi pada kelompok usia inilah yang sangat dekat dengan perkembangan inovasi digital.

Responden dari generasi termuda (generasi Z) hingga tertua (baby boomers) mengaku pernah menikmati wisata sejarah secara virtual selama setahun terakhir.

Respons positif sebagian masyarakat ini tentu menjadi momentum yang perlu terus dijaga. Wisata sejarah berbasis digital menjadi opsi alternatif yang dapat dikembangkan untuk memangkas ruang berjarak antara masyarakat dan cagar budaya atau peninggalan bersejarah.

Momentum liburan akhir tahun ini juga dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berwisata sejarah. Hal ini diakui oleh hampir sepertiga responden. Minat ini tentu perlu dimanfaatkan dengan memperkenalkan wisata sejarah berbasis digital untuk mencegah kerumunan saat liburan akhir tahun.

Harapan

Selain pengembangan wisata sejarah secara virtual, sejumlah harapan juga diungkap publik agar wisata sejarah tetap berkembang. Sekitar sepertiga responden berharap promosi melalui media sosial dapat dilakukan oleh pengelola cagar budaya atau wisata sejarah di berbagai daerah. Hal ini dinilai perlu dilakukan secara masif mengingat belum semua masyarakat memahami adanya wisata sejarah secara virtual di Indonesia.

Informasi tentang obyek wisata sejarah yang mudah dipahami dan menarik perhatian juga diharapkan oleh responden dapat ditampilkan pada berbagai obyek wisata sejarah. Obyek wisata tidak hanya menampilkan peninggalan bersejarah melainkan juga melakukan inovasi dengan memberikan informasi visual yang menarik.

Perbaikan fasilitas seperti kebersihan lokasi wisata juga mendapat perhatian publik. Meskipun jarang dikunjungi selama pandemi, kebersihan tetap perlu menjadi perhatian agar tidak berdampak pada kerusakan obyek peninggalan bersejarah. Apalagi, peninggalan bersejarah yang belum dikategorikan sebagai cagar budaya masih minim perawatan.

Jika ragam inovasi digital, promosi, dan kebersihan menjadi perhatian utama dalam pengembangan pemanfaatan obyek bersejarah, wisata sejarah di Indonesia dapat kembali bangkit. Liburan akhir tahun ini dapat menjadi momentum untuk kembali merawat eksistensi wisata sejarah, baik secara daring maupun wisata fisik dengan protokol kesehatan yang ketat.