“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” – UUD 1945 Pasal 28H.

Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar sekaligus menjadi faktor penentu tingkat kesejahteraan masyarakat. Pada dasarnya, ketersediaan rumah layak huni dan sehat sudah menjadi hak konstitusional yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini, pemerintah sebagai penyelenggara konstitusi memiliki tanggungjawab yang besar untuk memastikan ketersediaan dan keterjangkauan akses rumah bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Tidak hanya sebagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, rumah juga memiliki peran penting dalam sarana pendidikan keluarga, penanaman nilai budaya, dan pembentukan generasi penerus bangsa. Melihat urgensi tersebut, iklim bermasyarakat serta kualitas perumahan dan kawasan permukiman akan berpengaruh terhadap keberlanjutan masa depan Indonesia.

Perencanaan dan perhitungan yang baik menjadi poin utama untuk memastikan ketersediaan rumah dapat sesuai dengan kebutuhan nyata. Oleh karenanya, Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) menjadi salah satu target dalam Millenium Development Goals (MDGS) Tahun 2020 dan Sustainable Development Goals (SDGS) Tahun 2030.

Dalam mengakomodasi kebutuhan terkait perumahan dan kawasan permukiman serta mewujudkan target besar pembangunan, pemerintah memiliki sebuah skema perencanaan yang diwujudkan melalui Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP). Rencana tersebut berisikan grand design untuk PKP, seperti rencana perumahan maupun Prasarana dan Utilitas Umum (PSU) di setiap daerah, baik pada tingkat provinsi, kabupaten maupun kota, sehingga satu sama lain saling berkesinambungan. Penyusunan RP3KP menjadi kewajiban pemerintah daerah dimana merupakan alat atau tools untuk mendetailkan rencana tata ruang yang sudah ada serta memberikan gambaran yang spesifik terkait jumlah dan jenis perumahan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Selain itu, RP3KP juga menjadi pedoman bagi seluruh pihak yang bergerak dalam PKP, baik pemerintah maupun swasta.

Meskipun penyusunan RP3KP sangat diperlukan dan sudah diwajibkan bagi setiap daerah melalui Permendagri Nomor 22 Tahun 2018, tetapi tidak sedikit daerah yang belum memiliki dokumen perencanaan tersebut. Fenomena tersebut mendorong terselenggaranya diskusi terbuka “Klinik RP3KP” oleh HRC Caritra yang pertama kali dilaksanakan pada hari Rabu, 22 Juli 2020. Acara tersebut merupakan wadah bagi pemerintah daerah, akademisi, institusi penyelenggara perumahan, maupun masyarakat umum untuk berkonsultasi dan menyampaikan berbagai pertanyaan seputar RP3KP.

   

Kegiatan Klinik RP3KP Perdana oleh HRC Caritra

Dalam diskusi tersebut, Siti Budi Hartati, ST., MT., (Purna Tugas Kementerian PUPR) memberikan tanggapan terkait pengetahuan umum dan teknis penyusunan RP3KP. Pembahasan terkait payung hukum dan sinkronisasi kebijakan tidak luput dari perbincangan.

Pada dasarnya, RP3KP yang berlaku selama 20 tahun harus saling terintegrasi dengan rencana tata ruang, seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), maupun rencana pembangunan lainnya yang bersifat makro. Sebagai contoh, jika pada RTRW terdapat rencana pembangunan suatu kawasan industri, maka diperlukan perhitungan yang komprehensif terkait penyediaan perumahan bagi para pekerja dan perlu dituangkan dalam dokumen RP3KP, sehingga tidak menimbulkan permasalahan lain di masa mendatang, seperti munculnya permukiman tanpa izin ataupun kesemrawutan akibat migrasi ulang-alik yang mungkin terjadi. Jika RTRW belum disahkan, maka penyusunan RP3KP tetap bisa dilaksanakan dalam bentuk pengumpulan data yang dapat diajukan sebagai masukan (input) bagi RTRW. Penyesuaian kembali atau revisi perencanaan juga dapat dilakukan dalam lima tahun sekali guna memastikan relevansi rencana terhadap kondisi terkini yang ada di lapangan. Dinas Perumahan dan Permukiman di daerah menjadi penanggungjawab utama dalam penyusunan, tetapi tidak menutup kemungkinan Pemda mengalihkan tugas tersebut kepada pihak lainnya melalui SK Bupati/Walikota.

Selain mempertimbangkan kondisi eksisting kawasan, RP3KP juga perlu memuat proyeksi kebutuhan pada masa mendatang serta potensi kejadian, seperti bencana alam. Berbagai tokoh masyarakat dan pemangku kebijakan perlu dilibatkan dalam kesuksesan penyusunan rencana maupun tahapan implementasi yang akan dijalankan. Melalui legalitas RP3KP yang dimuat dalam Perda, maka sudah sepatutnya rencana tersebut ditaati guna memastikan keterjangkauan dan pemenuhan kebutuhan perumahan layak huni yang sesuai kebutuhan dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat. – (ADS)