Ketersediaan rumah yang layak huni pada dasarnya telah menjadi hak konstitusional yang diamanatkan oleh UUD 1945 serta dijamin penyelenggaraannya oleh pemerintah. Untuk memastikan ketersediaan rumah yang layak huni tersebut tentu dibutuhkan perencanaan dan perhitungan yang baik, salah satunya melalui perencanaan tata ruang.
Selayaknya perencanaan tata ruang secara umum yang dilakukan di Indonesia, pemerintah pun memiliki sebuah skema perencanaan perumahan yang diwujudkan melalui Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP). Penyusunan dokumen perencanaan ini merupakan kewajiban setiap pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Namun, nyatanya tidak sedikit yang belum memahami urgensi dari penyusunan dokumen perencanaan tersebut. Fenomena tersebut menjadi alasan diselenggarakannya diskusi terbuka “Klinik RP3KP” oleh HRC Caritra yang saat ini telah berlangsung selama tiga pertemuan. Forum diskusi ini menjadi wadah bagi pemerintah daerah, akademisi, institusi penyelenggara perumahan, maupun masyarakat umum untuk berkonsultasi dan menyampaikan beberapa pertanyaan mengenai RP3KP.
Melanjutkan forum diskusi sebelumnya, pada forum yang diselenggarakan hari Rabu, 23 September 2020 ini terdapat sepuluh kelompok pertanyaan yang diajukan kepada narasumber, Siti Budi Hartati, S.T., M.T. (Purna Tugas Kementerian PUPR). Pada bagian awal forum diskusi, narasumber kembali menekankan mengenai pentingnya RP3KP dalam menjamin ketersediaan perumahan dan kawasan permukiman di masa yang akan datang. Dalam hal ini, peraturan perundang-undangan yang diacu adalah PP No. 16 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman. Meskipun di dalamnya disebutkan secara terpisah, yaitu Rencana Kawasan Permukiman (RKP) dan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan (RP3), keduanya merupakan muatan yang menjadi satu kesatuan dan diproduksi secara bersamaan. Sejauh ini, RP3KP ditetapkan oleh Kepala Daerah sehingga bentuk dokumen yang dihasilkan berupa Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota. Sebetulnya, hal ini masih menjadi perdebatan di kalangan pegiat perumahan dan kawasan permukiman. Salah satu pendapat disampaikan langsung oleh narasumber:
“Akan lebih baik jika RP3KP ditetapkan sebagai Peraturan Daerah. Hal ini berkaitan dengan kepastian implementasi aturan serta kemudahan penganggaran.”
Selanjutnya, narasumber berbicara mengenai pentingnya data dalam penyusunan RP3KP. Seperti perencanaan pembangunan lainnya, perencanaan perumahan dan kawasan permukiman juga tidak bisa lepas dari data.
“Data dengan kualitas yang baik diperlukan agar perencanaan yang disusun relevan dengan kondisi sebenarnya—termasuk proyeksi kondisi pada masa mendatang ketika rencana direalisasikan. Dalam hal ini, dibutuhkan proses pengambilan data dan analisis data dengan metode yang tepat.”
Data yang digunakan tak cukup sekadar data sekunder yang dipublikasikan instansi—katakanlah Badan Pusat Statistik (BPS). Data sekunder tersebut biasanya hanya berupa angka statistik secara umum, namun tidak dapat menggambarkan karakteristik secara spesifik di lokasi tertentu sehingga diperlukan analisis lebih lanjut dengan metode tertentu. Selain itu, pengambilan data primer juga menjadi penting untuk dilakukan guna menjelaskan karakteristik perumahan dan kawasan permukiman di suatu wilayah, termasuk kearifan lokal yang dapat mempengaruhi pembangunan perumahannya.
“Penyusunan RP3KP ini bukan hanya soal hitungan matematis, namun juga mempertimbangkan karakteristik masing-masing daerah.”
Mengingat pentingnya data dalam perencanaan, maka diperlukan manajemen data yang efektif. Sistem informasi data yang baik akan sangat membantu dalam hal ini. Dua hal yang cukup ditekankan oleh narasumber untuk diperhatikan dalam sistem informasi data perumahan dan kawasan permukiman: kemudahan untuk dapat di-update secara real time oleh masyarakat langsung di tingkat Rukun Tetangga (RT) maupun Rukun Warga (RW); dan kemudahan akses bagi seluruh pihak yang terlibat, sehingga sangat disarankan berbasis online.
“Selain itu, sinkronisasi data dengan instansi sektoral lainnya pun perlu diperhatikan. RP3KP tidak hanya berbicara mengenai perumahan, melainkan terdapat aspek lainnya, misalkan akses jalan, air bersih, dan listrik—yang tidak dapat dilakukan hanya oleh Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (atau sejenisnya).”
Akses sistem informasi ini dapat diatur sedemikian rupa sehingga terbagi menjadi dua: data yang bisa diakses oleh publik dan data yang hanya dapat diakses dalam lingkup instansi yang terlibat. Hal ini perlu dipertimbangkan mengingat risiko ancaman eksternal jika keseluruhannya dipublikasikan secara terbuka kepada publik. Contohnya, jika data mengenai satu pembangunan jalan dapat diakses secara bebas oleh publik, dikhawatirkan akan terdapat permasalahan penguasaan lahan oleh oknumtak bertanggung jawab. Implikasinya, penyediaan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) akan lebih sulit dilakukan karena harga lahan terlanjur meningkat.
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, pentingnya data dalam penyusunan RP3KP berkaitan dengan relevansi rencana dengan kondisi sebenarnya, sehingga implementasi rencana yang disusun dapat mencapai tujuan—yaitu menjamin ketersediaan rumah bagi seluruh masyarakat. Serupa dengan kebutuhan dalam analisis data, implementasi rencana perumahan dan kawasan permukiman ini pun membutuhkan keterlibatan pihak lain—tak hanya dalam lingkup pemerintah, melainkan juga pihak swasta. Hal ini dapat dilakukan dengan skema-skema kerjasama seperti Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Pemerintah pun dapat mengaturnya dalam peraturan lainnya, misalkan pembangunan rumah susun yang dibebankan kepada perusahaan industri yang terlibat dalam pembangunan kawasan industri di wilayah tertentu. Bentuk-bentuk kerja sama ini dapat dicantumkan di dalam program RP3KP. Untuk lima tahun pertama, penyusunan program dapat dilakukan secara mendetail guna mempermudah eksekusi oleh pihak yang terlibat.
Karena melibatkan banyak pihak, terkadang dibutuhkan suatu dokumen yang dapat mengakomodasi aturan perumahan dan kawasan permukiman yang tidak dapat dicantumkan di RP3KP, terutama mengenai operasionalisasi rencana. Contoh terkait hal tersebut adalah aturan mengenai minimum lebar jalan perumahan yang dibangun pengembang ataupun swadaya, minimum lahan satu unit rumah untuk rumah sederhana, atau spesifikasi bangunan rumah yang sesuai kearifan lokal di daerah tersebut. Hal-hal tersebut dapat diakomodasi di dalam Peraturan Daerah mengenai penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman sesuai kebutuhan masing-masing daerah.
“Skema-skema kerjasama dalam implementasi rencana perumahan dan kawasan permukiman dapat dicantumkan dalam program RP3KP. Adapun operasionalisasi rencana dapat diakomodasi dalam dokumen pendukung.”
Meskipun kepemilikan RP3KP di suatu daerah pernah dijadikan syarat dalam pemberian bantuan terhadap daerah tersebut, hingga saat ini belum ada aturan yang mengharuskan suatu daerah memiliki dokumen RP3KP dalam jangka waktu tertentu. Aturan mengenai hal tersebut memang sebaiknya diadakan guna menjamin akses perumahan bagi seluruh masyarakat, namun bukan berarti menjadikannya sebagai alasan untuk suatu daerah memutuskan apakah ia akan menyusun RP3KP atau tidak. RP3KP tetaplah menjadi suatu tools yang perlu dilakukan setiap daerah untuk menangani persoalan perumahan yang kompleks ini. Harapannya, RP3KP dapat menjadi garda terdepan dalam menjamin keterjangkauan dan pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak bagi seluruh lapisan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. (DA)