Backlog perumahan masih menjadi permasalahan rumit yang harus segera diatasi saat ini. Berkaitan dengan persoalan tersebut, nampaknya pengembangan perumahan di Indonesia khususnya dalam penyediaan perumahan perlu dikembangkan dengan didasarkan pada konsep housing career atau karir merumah, suatu rangkaian tempat tinggal yang ditempati oleh seseorang sepanjang hidup dengan dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor ekonomi dan pendidikan (Kementerian PUPR, 2015). Tahapan ini dimulai ketika seseorang meninggalkan rumah orang tuanya dalam kondisi mandiri untuk kemudian mencari tempat tinggal bagi dirinya sendiri.

Menurut Yulinda Rosa, Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Badan Litbang Kementerian PUPR, karir merumah sangat bermanfaat tak hanya bagi kebutuhan masa kini melainkan juga bagi masa mendatang. Dengan melihat pergerakan sosial ekonomi dari tahap ke tahap, pemenuhan kebutuhan rumah dapat dilihat secara menyeluruh. Preferensi tempat tinggal seseorang ketika masih lajang, berkeluarga, hingga pensiun kelak tentu akan berbeda. Siklus inilah yang dibahas dalam karir merumah, yakni keputusan seseorang untuk berpindah dalam setiap siklus hidupnya. Yulinda Rosa mengakui bahwa informasi karir merumah di Indonesia masih terbatas.

Namun demikian, Muria Istamtiah, Ditjen Perumahan Kementerian PUPR, menjelaskan bahwa secara yuridis, landasan hukum mengenai karir merumah sebetulnya sudah ada misalnya di dalam RPJMN dan UU No.1 Tahun 2011. Akan tetapi, memang pada tatanan Peraturan Pemerintah belum mengatur secara jelas. Muria juga menambahkan bahwa kendala permukiman di Indonesia saat ini salah satunya disebabkan oleh kewenangan pengembangan permukiman yang saat ini kewajibannya menurut UU No. 1 Tahun 2011 masih dipegang oleh pemerintah pusat.

Ke depan, informasi dan penelitian mengenai karir merumah lebih digencarkan mengingat bahwa karir merumah penting untuk ditinjau dalam pengembangan perumahan. Kondisi sosial ekonomi sangat berpengaruh pada keputusan pergerakan penyediaan perumahan sehingga kondisi tersebut harus dapat diproyeksikan dalam penyediaan kebutuhan rumah. Di berbagai negara maju, adanya perubahan preferensi pekerjaan menuju sektor tidak formal rupanya telah mendorong masyarakat cenderung memilih untuk menyewa rumah dibandingkan membeli rumah. Siklus dan preferensi ini bisa jadi akan berbeda kondisi perumahan di Indonesia. Apalagi masyarakat Indonesia juga memiliki karakteristik tersendiri terkait preferensi pemilihan rumah, misalnya masyarakat Indonesia cenderung memilih untuk tidak berpindah melainkan memilih untuk menambah ruang.

Tinjauan terhadap karir merumah juga patut menjadi dasar pertimbangan bagi berbagai kebijakan pemerintah. Misalnya, dengan didasarkan pada tinjauan bahwa kemampuan membeli rumah (sebagai first time buyer) biasanya ada pada usia 27 tahun, maka pemerintah perlu menyediakan suatu kebijakan yang membuka akses bagi keluarga muda terhadap kepemilikan rumah. Guna mendorong mekanisme penyediaan rumah yang lebih baik, nampaknya pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah juga perlu ditinjau lagi mengingat bahwa perencanaan perumahan di berbagai daerah akan berbeda sehingga dibutuhkan kontribusi pemerintah daerah dalam perencanaannya maupun pengawasannya. Di samping itu, perlu diperhatikan juga terkait pergerakan pemilihan rumah yang sebaiknya dikelola suatu institusi di bawah naungan pemerintah. (NRT/CARITRA)

 

 

(Artikel ini disusun berdasarkan diskusi dalam Seri Webinar Perkim #5 “Karir Merumah” yang diselenggarakan oleh HRC Caritra pada Kamis, 18 Juni 2020 pukul 14.00-15.30 WIB)