Apakah Anda membutuhkan rumah? Jika satu per satu orang yang belum memiliki rumah ditanya seperti ini, jawabannya pasti ”iya”. Namun, saat ditanya, apakah Anda siap membeli, jawabnya ”belum tentu”.

 

Mengapa? Berbagai alasan bisa terlontar. Tidak memiliki kapasitas finansial, tidak punya uang muka, tidak punya penghasilan memadai, dan masih banyak lagi alasannya. Yang diupayakan perbankan adalah meningkatkan dari level need (kebutuhan) menjadi demand (permintaan).

Kegundahan kecil dalam penyediaan rumah layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) rupanya mewarnai Pesta Emas 50 Tahun Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) yang digelar di Kota Yogyakarta pada 19-20 Mei 2022. Pesta emas ini boleh dibilang tertunda akibat pandemi Covid-19, karena hari ulang tahun REI jatuh pada 11 Februari. Sebanyak 35 Dewan Pimpinan Daerah REI se-Indonesia dalam rapat paripurna tertutup tertantang untuk memecahkan persoalan klasik dalam penyediaan rumah layak, khususnya bagi MBR.

Di tengah pandemi Covid-19, sektor properti yang mengalami keterpurukan mendapatkan angin segar berupa kebijakan insentif pajak. Sektor ini menjadi lokomotif bagi 174 unit sektor lainnya dan 350 usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk mendukung arah pemulihan ekonomi nasional.

Dalam refleksi bersama REI, persoalan properti selalu terkesan klasik, mulai dari kebijakan perbankan, pajak, regulasi, dan perizinan. Semua persoalan ini membutuhkan pemecahan komprehensif agar target satu rumah layak huni benar-benar tercapai. Bukan sebatas renovasi rumah, melainkan betul-betul rumah baru.

Sebesar 65 persen kebutuhan rumah sederhana masih berada di kalangan non-fixed income (berpenghasilan tidak tetap). Sementara, non-fixed income yang disediakan hanya Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) yang mencapai sekitar 20.000 unit. Jauh lebih sedikit dibandingkan mereka yang berpenghasilan tetap.

”Bagaimana bank mau memberikan pembiayaan bagi mereka yang berada di level non-fixed income, sedangkan justru mereka inilah yang membutuhkan rumah? Kemudian, bagaimana pula mereka yang tak berpenghasilan tetap ini diberikan kredit perumahan, tetapi tidak lari dan tetap sehat di perbankan?” ujar Ketua Umum DPP REI Paulus Totok Lusida.

Dalam refleksi REI, juga terungkap kegundahan kepemilikan rumah bagi mereka yang berada di lingkungan industri. Tentu, harga rumah terus melejit. Kos-kosan harus berbagi dengan pekerja lainnya. Satu tempat indekos harus diisi sejumlah pekerja. Tak mungkin mereka disuruh untuk membeli rumah susun di kawasan industri. Akibatnya, banyak pekerja yang harus berjuang untuk berangkat kerja dari rumahnya menuju kawasan industri untuk bekerja sehari-hari.

REI memandang, kolaborasi pekerja dan pemilik industri perlu dilakukan untuk bisa memberikan hunian yang layak. Formula ini sesungguhnya sangat memungkinkan apabila pemerintah juga mendukung gagasan para pengembang yang tergabung dalam REI.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono dalam sambutan tertulis yang dibacakan Direktur Jenderal Perumahan Iwan Suprijanto mengatakan, pembangunan perumahan layak huni yang terjangkau dan berkualitas menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan bidang perumahan.

”Pekerjaan rumah kita bersama masih besar. Selain mengurangi deadlock perumahan, kita juga harus meningkatkan kualitas rumah bagi MBR yang layak dan sehat, dengan membangun ekosistem perumahan yang lebih kondusif dan kompetitif, termasuk perbaikan regulasi, tata kelola, dan inovasi,” ujar Iwan mengutip sambutan Menteri PUPR.

 

Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara Haru Koesmahargyo (kedua dari kiri) dan Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (kedua dari kanan) menyatakan komitmennya untuk membangun sinergi dalam pembangunan properti maupun penyediaan rumah rakyat saat konferensi pers “Ulang Tahun Emas ke-50 REI” di Yogyakarta, Kamis (19/5/2022) malam.

REI dalam perjalanan 50 tahun ini dinilai telah membuktikan diri sebagai asosiasi perumahan yang solid dengan pencapaian pembangunan perumahan terbesar di Indonesia, khususnya rumah bagi MBR. Dalam tugasnya, Kementerian PUPR menyatakan komitmennya untuk terus mendorong pertumbuhan sektor perumahan pascapandemi Covid-19.

”Salah satunya adalah memperpanjang pemberlakuan insentif Pajak Pertambahan Nilai ditanggung pemerintah atau PPnDTP sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6 Tahun 2022,” kata Iwan.

Hingga saat ini, REI sesungguhnya masih menunggu pemecahan masalah harga baru rumah sederhana yang belum ada kepastian dari pemerintah. Padahal, harga material bangunan sudah merangkak naik, seperti besi baja yang naik lebih dari 110 persen.

Dalam kesempatan ini, para pengembang hunian vertikal, DPP REI menggagas adanya rent to own yang perlu direspons positif oleh Kementerian PUPR. Mengingat, perbankan, seperti PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN, telah menyatakan dukungannya atas gagasan ini agar masyarakat dapat memiliki rumah layak, baik rumah vertikal maupun rumah tapak.

Kemampuan membeli

Fenomena yang terjadi selama ini, orang datang ke pengembang properti dengan niat membeli rumah ternyata belum tentu akhirnya mampu membeli rumah. Kehadiran perbankan seolah menaikkan level dari kebutuhan ke permintaan di antaranya melalui potongan suku bunga. Belum lagi, pengembang perumahan menyediakan lagi potongan suku bunga.

Direktur Utama BTN Haru Koesmahargyo menegaskan, ”Kami bersama REI ingin betul-betul all out untuk ’merumahkan’ masyarakat. Artinya, memberikan peluang begitu besar bagi masyarakat untuk memiliki rumah.”

Pengunjung mendapatkan penjelasan tengan hunian yang ditawarkan salah pengembang saat mengunjungi pameran perumahan, Indonesia Properti Expo ke 38 di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Senin (16/5/2022). Pameran yang akan berlangsung hingga 22 Mei tersebut diikuti 60 pengembang dan menampilkan 600 proyek properti.

Sejak 1976, BTN telah membiayai total sekitar 5 juta rumah. Mayoritas rumah sederhana bagi segmen MBR lebih kurang 3,7 juta unit, sedangkan rumah menengah ke atas sekitar 1,3 juta unit. Sekitar 70 persen pengembang yang tergabung dengan REI telah terafiliasi pembiayaannya dengan BTN.

Misalnya, BTN menyajikan potongan suku bunga 3,72 persen. Kemudian, pengembang properti memberikan potongan suku bunga 2,22 persen. Tentu, model kemudahan insentif diskon secara tidak langsung memberi angin segar dalam kepemilikan rumah.

Terlebih lagi, perbankan berpacu mendorong kredit kepemilikan rumah melalui fleksibilitas pembayaran kepada konsumen. Bahasa anak muda adalah ”Cicilan enggak pakai mahal, cicilan suka-suka”. Istilah teknisnya sebenarnya graduated payment mortgage (GPM). Di awal orang muda masuk dunia kerja, mungkin gajinya pas-pasan dan hanya memiliki kesanggupan pembayaran yang terbatas.

Tepat di Pesta Emas ke-50 tahun REI terselip sebuah komitmen solutif untuk ”merumahkan” masyarakat tersebut. Skema rent to own menjadi topik yang membutuhkan penggodokan antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja.

Tidak usaha jauh-jauh. Misalnya, sentra-sentra industri di Bekasi, Jawa Barat. Pekerja belum tentu mampu disuruh membeli apartemen yang notabene dekat dengan lokasi kerjanya. Paling banter, mereka lebih memilih sewa hunian.

Sebelum 17 Agustus 2022, saat bertepatan Hari Kemerdekaan RI, BTN rupanya telah siap menawarkan skema rent to own. Artinya, para pekerja, terutama di kawasan industri, dapat mengawali kepemilikan rumah dengan cara sewa selama 3-5 tahun pertama.

Sesudah masa tenor sewa berakhir, opsi berikutnya adalah membeli properti tersebut. Hal ini tentu memberikan kesempatan kepada konsumen untuk mendapatkan hunian. Bisa ditempati sambil mengatur keuangan sampai ketika mampu memiliki rumah tersebut.

Rumah bagi pekerja, rumah yang layak huni. Mampukah REI mewujudkannya?

 

Sumber: Kompas.id