Tahun 2045 diprediksi menjadi tahun emas bagi Indonesia dengan adanya kemajuan pembangunan di berbagai bidang, mulai dari infrastruktur, teknologi, hingga perekonomian. Pada Indonesia Emas 2045 tersebut, proyeksi demografi Indonesia diperkirakan mengalami lonjakan dengan jumlah penduduk sebesar 318,9 juta jiwa dan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,42 – 0,54% (BPS, 2018). Salah satu dampak pertumbuhan penduduk pada Indonesia Emas 2045 tentunya adalah peningkatan kebutuhan rumah bagi rakyat Indonesia.
BPS mencatat kebutuhan rumah sebesar 5,4 juta unit pada tahun 2004 dan meningkat dua kali lipat menjadi 13,6 juta unit pada tahun 2010. Sementara, Kementerian PUPR mencatat backlog perumahan sebanyak 7,64 juta unit per awal 2020, terdiri dari 6,48 juta rumah untuk MBR non fixed income, 1,72 juta unit rumah untuk MBR fixed income, dan 0,56 juta unit rumah non-MBR. Jika ditambahkan dengan pertumbuhan 800.00 KK setiap tahun dari kurun tahun 2015 – 2021 terdapat 4,14 juta jiwa, maka backlog kebutuhan rumah hingga awal 2021 mencapai 11,78 juta rumah (Caritra, 2021). Perhitungan kebutuhan rumah harus tepat agar kebijakan penyediaan hunian tidak salah sasaran.
Model perhitungan kebutuhan rumah yang sudah distandarkan dan berlaku secara nasional di Indonesia menjadi kebutuhan cukup mendesak saat ini. Namun di sisi lain, ketersediaan data perumahan masih sangat terbatas. Selain itu, ada ketidaksinkronan data dan informasi antar instansi. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pendekatan dalam perhitungan kebutuhan rumah.
Pertanyaannya adalah, apakah model perhitungan kebutuhan rumah yang berlaku di Indonesia sudah efektif mengatasi permasalahan dalam penyediaan rumah? Faktor-faktor apa sajakah yang seharusnya dipertimbangkan dalam menghitung kebutuhan rumah?
Setidaknya ada dua pendekatan yang digunakan untuk menghitung kebutuhan rumah, yaitu data demografi dan data backlog. Data demografi berkaitan dengan pertumbuhan dan kepadatan penduduk, jumlah rumah tangga, hingga pola migrasi penduduk. Data backlog perumahan didasarkan pada kondisi kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan rakyat.
Komposisi demografi meliputi kelompok umur, pekerjaan, dan pendapatan penduduk. Meningkatkan kualitas hidup masyarakat berimbas pada bertambahnya angka harapan hidup sehingga jumlah penduduk lanjut usia (lansia) semakin tinggi. Selain itu, terdapat potensi rumah tangga generasi X (40-55 tahun) dan millennial (25-40 tahun) yang meningkat. Data pekerjaan dan pendapatan dapat digunakan untuk memprediksi daya beli dan mengidentifikasi indeks keterjangkauan rumah tangga, apakah harga rumah di suatu wilayah mampu dijangkau oleh rumah tangga disekitarnya.
Di sisi lain, data backlog melihat dari tingkat kelayakan hunian. Backlog kondisi hunian dihitung berdasarkan jumlah kurangnya hunian layak yang mempertimbangkan status kepemilikan rumah, status kelayakan rumah, status ketahanan bangunan, dan status kepadatan hunian. Data ini bermanfaat untuk menghitung kebutuhan rumah layak huni.
Bisa dikatakan bahwa faktor utama pertambahan backlog adalah pertambahan jumlah rumah tangga yang membutuhkan rumah. Data demografi seperti proyeksi rumah tangga tidak dapat dilakukan secara top down (nasional). Data demografi harus dilakukan dari kabupaten/kota karena karakter rumah tangga di tiap kabupaten/kota berbeda-beda, tergantung kondisi sosial budaya.
Permasalahan perhitungan kebutuhan rumah memerlukan upaya penanganan yang serius dan berkelanjutan. Data yang tumpang tindih antara satu lembaga dengan yang lainnya masih menjadi tantangan yang perlu diatasi. Dengan demikian, sudah selayaknya model perhitungan kebutuhan rumah distandarkan agar kebutuhan rumah masyarakat Indonesia di masa depan dapat diproyeksikan dengan tepat! (MVM / KB)