Kabupaten Sleman sebagai salah satu wilayah di DIY, merupakan wilayah penyangga Kota Yogyakarta yang mengalami fenomena urbanisasi, yaitu proses perubahan kawasan perdesaan menjadi kawasan perkotaan serta proses perubahan dalam pola perilaku penduduk (Pontoh dan Kustiawan, 2009). Adanya fenomena urbanisasi di Kabupaten Sleman juga tidak terlepas dari perkembangan penduduk Kabupaten Sleman yang pesat, yaitu 1,96 persen per tahun, serta perkembangan perekonomian di Kabupaten Sleman yang didukung oleh sektor pendidikan dan sektor pariwisata sebagai sektor unggulan. Kabupaten Sleman sebagai wilayah yang mengalami fenomena urbanisasi menerima dampak positif serta dampak negatif urbanisasi. Contoh dari dampak positif urbanisasi adalah perkembangan perekonomian, sementara dampak negatif yang dirasakan oleh Kabupaten Sleman adalah perubahan pola penggunaan lahan, terutama perubahan pola penggunaan lahan pertanian pangan kawasan strategis ketahanan pangan di Kabupaten Sleman, yang mempengaruhi ketahanan pangan di Kabupaten Sleman.
UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), menegaskan bahwa LP2B merupakan lahan pertanian pangan yang dilindungi dan ditetapkan dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) serta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada di wilayah masing-masing. Dalam RTRW Kabupaten Sleman Tahun 2011 – 2031, terdapat lahan pertanian pangan yang dilindungi dan ditetapkan sebagai kawasan strategis ketahanan pangan tersebar di enam kecamatan di Kabupaten Sleman yang meliputi Kec. Minggir, Kec. Moyudan, Kec. Seyegan, Kec. Godean, Kec. Mlati, dan dan Kec. Tempel. Berdasarkan data dari penelitian Farida Afriani Astuti (2018) yang menganalisis pola penggunaan lahan di kawasan strategis ketahanan pangan Kabupaten Sleman dari tahun 2012 hingga tahun 2018, terdapat perubahan pola penggunaan lahan yang signifikan di kawasan strategis ketahanan pangan, dengan tabel dan peta perubahan pola penggunaan lahan sebagai berikut:
Tabel Perubahan Pola Penggunaan Lahan
(1 = Kec. Minggir, 2 = Kec. Moyudan, 3 = Kec. Seyegan, 4 = Kec. Godean, 5 = Kec. Mlati,
6 = Kec. Tempel, LTT = Lahan Tidak Terpakai)
Perubahan (dalam km persegi) | 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 |
Hutan ke Perkebunan | 0,08 | – | 0,01 | – | – | 0,03 |
Hutan ke Permukiman | 1,07 | 1,74 | 1,05 | 0,95 | 2,08 | 0,88 |
Hutan ke LTT | – | – | 0,01 | 0,01 | 1,18 | – |
Hutan ke Tegalan | 0,07 | – | – | 0,02 | 0,05 | 1,30 |
Hutan ke Pertanian | 1,07 | 1,12 | 0,53 | 1,61 | 0,57 | 0,79 |
Perkebunan ke Hutan | 1,33 | 1,89 | 0,85 | 0,37 | – | 1,13 |
Perkebunan ke Permukiman | 0,09 | 0,44 | 0,29 | 0,13 | 0,52 | 0,26 |
Perkebunan ke LTT | – | – | 0,04 | 0,09 | 0,68 | – |
Perkebunan ke Tegalan | 0,02 | – | – | – | – | 0,71 |
Perkebunan ke Pertanian | 0,11 | 0,24 | 0,18 | 1,17 | 0,11 | 0,36 |
Pertanian ke Hutan | 1,82 | 2,90 | 4,24 | 1,40 | – | 4,69 |
Pertanian ke Perkebunan | 0,12 | – | 0,01 | 0,04 | – | 0,02 |
Pertanian ke Permukiman | 0,35 | 0,94 | 1,35 | 1,16 | 2,45 | 1,28 |
Pertanian ke LTT | – | – | 0,01 | – | 2,01 | – |
Pertanian ke Tegalan | 0,20 | – | 0,04 | 0,04 | 0,04 | 1,95 |
Tegalan ke Hutan | 0,41 | 0,65 | 0,05 | 0,05 | – | 0,23 |
Tegalan ke Perkebunan | – | – | – | – | – | – |
Tegalan ke Permukiman | 0,01 | 0,11 | – | 0,01 | 0,67 | 0,10 |
Tegalan ke LTT | – | – | 0,02 | 0,01 | 0,14 | – |
Tegalan ke Pertanian | 0,03 | 0,15 | 0,04 | 0,19 | 0,02 | 0,16 |
Sumber: Astuti, 2018 (dengan penyesuaian)
Melalui tabel dan peta di atas, dapat dilihat bahwa perubahan pola penggunaan lahan pertanian terbesar merupakan perubahan lahan pertanian menjadi lahan hutan produksi, dengan perubahan terbesar terjadi di Kec. Tempel, diikuti oleh Kec. Seyegan, masing-masing sebesar 4,69 km persegi
dan 4,24 km persegi. Adanya perubahan ini dipicu oleh faktor ekonomi akibat produktivitas lahan pertanian yang mengalami penurunan sehingga lahan pertanian berubah fungsi menjadi lahan hutan produksi yang ditanami oleh tanaman tahunan dengan tidak memerlukan maintenance yang intens.
Sementara itu, juga terdapat perubahan lahan pertanian menjadi lahan permukiman dan lahan tidak terpakai yang signifikan banyak terjadi di Kec. Mlati yang berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta, masing-masing sebesar 2,45 km persegi dan 2,01 km persegi. Adanya perubahan ini dipicu oleh faktor ekonomi dan faktor urbanisasi akibat peningkatan nilai lahan di perkotaan Kabupaten Sleman serta perkembangan penduduk di Kabupaten Sleman, terutama di perkotaan Kabupaten Sleman. Selain itu, perubahan lahan pertanian menjadi lahan tidak terpakai merupakan proses perubahan lahan menjadi lahan permukiman, karena perlu ada pematangan lahan sebelum lahan dapat dibangun menjadi lahan permukiman.
Dalam RTRW Kabupaten Sleman Tahun 2011 – 2031, terdapat lahan pertanian pangan yang dilindungi dan ditetapkan sebagai kawasan strategis ketahanan pangan, yang tersebar di enam kecamatan di Kabupaten Sleman. Adanya fenomena urbanisasi di Kabupaten Sleman ternyata mengakibatkan perubahan pola penggunaan lahan secara signifikan di Kabupaten Sleman. maka dari itu, perlu ada pengawasan serta pengendalian pola penggunaan lahan pertanian di kawasan strategis ketahanan pangan Kabupaten Sleman untuk menjaga ketahanan pangan di Kabupaten Sleman dan DIY. (YASP)
Referensi:
Astuti, F. A., & Lukito, H. (2020). Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Keamanan dan Ketahanan Pangan di Kabupaten Sleman.
Muta’ali, L. (2002). Pola Perkembangan Karakteristik Kawasan Perkotaan Pada Kawasan Perdesaan di Provinsi DIY.
Selang, M. A. (2018). Tingkat Perkembangan Urbanisasi Spasial di Pinggiran KPY (Kawasan Perkotaan Yogyakarta) Tahun 2012-2016.
Widyaningrum, I. N., & Priyono, K. D. (2019). Analisis Spasial Penggunaan Lahan di Kabupaten Sleman Tahun 2019.