Kehidupan dan kebudayaan masyarakat sungai selayaknya tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan kota. Namun sayang, pembangunan berkelanjutan saat ini seringkali hanya berpihak pada pembangunan di daratan dan mengabaikan pelestarian kehidupan tepian sungai. Pembangunan infrastruktur dan transportasi darat meningkat pesat, sementara pengelolaan infrastruktur sungai masih kurang mendapat perhatian serius.
Sebagai contoh, di Kota Seribu Sungai Banjarmasin, pemerintah kota memfasilitasi prasana dan sarana transportasi umum yang menghubungkan antara Kota Banjarmasin dan Kota Banjarbaru dengan total 37 halte bus. Namun hal sebaliknya, pengelolaan dermaga untuk memfasilitasi perahu-perahu kelotok yang beroperasi di sungai-sungai di Banjarmasin kurang diperhatikan. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa penyediaan fasilitas di darat lebih diprioritaskan ketimbang di kawasan tepian sungai. Padahal, Kota Banjarmasin memiliki sungai yang lebih banyak dibandingkan dengan daratan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa budaya sungai belum memiliki hak yang sama dengan budaya darat.
Kurangnya perhatian pemerintah pada pengelolaan kawasan tepian sungai mengakibatkan permukiman di tepian sungai menjadi terbengkalai dan berubah menjadi area marjinal perkotaan dengan beragam permasalahannya. Permukiman di tepian sungai sering dihadapkan pada permasalahan seperti tingginya kepadatan bangunan di kawasan tepi sungai yang dapat memancing tumbuhnya permukiman kumuh. Ditambah lagi aktivitas penduduk di tepian sungai yang menjadi salah satu sumber limbah dan polusi sehingga mengakibatkan penurunan kualitas sungai dan degradasi lingkungan sungai. Menurut kajian yang dilakukan Kementerian Agraria dan Tata Ruang pada tahun 2016, permasalahan yang terkait permukiman di kawasan tepi sungai adalah legalitas bangunan, kondisi sosial ekonomi, penyediaan infrastruktur, dan kebijakan pemerintah.
Lantas, bagaimana konsep pengelolaan kawasan tepian sungai yang seharusnya?
Konsep penataan dan pengelolaan kawasan tepian sungai setidaknya terdiri dari lima komponen utama, yaitu:
- Sejarah (collective memory), meliputi simbolik, representatif sejarah, dan filosofis ruang;
- Fisik (eco design suitability city), meliputi eco-city, keberlanjutan, komprehensif;
- Infrastruktur (creative infrastructure), meliputi kreatif infrastruktur, multi fungsi dan seni utilitas;
- Sosial-ekonomi-budaya (urban activity), meliputi identitas tempat, social behavior, dan heterogenitas; dan
- Waterfront (urban renewal) yang meliputi restorasi, revitalisasi, dan ekosistem.
Berbicara sejarah, tentunya kawasan tepian sungai tidak bisa dipandang hanya sekedar aset pengembangan pariwisata, melainkan kebudayaan masyarakat yang mendiami, sejarah perkembangan kota, dan lainnya. Namun fenomena yang seringkali terjadi di Indonesia, perencanaan tepian sungai hanya melihat kepada masalah tanpa melihat prosesnya. Seringkali ditemui perencanaan tepian sungai tanpa memahami sejarah dan karakter kota itu sendiri. Padahal, dasar penataan kawasan tepian sungai yang berkelanjutan harus dilakukan berbasis riset dan mempertimbangkan identitas budaya sungai setempat.
Pada hakekatnya, arsitektur tepi sungai adalah arsitektur yang tercipta dari dan oleh masyarakat tepian sungai. Arsitektur yang terbentuk seiring perkembangan budaya dan kehidupan sungai. Adapun beberapa komponen arsitektur tepian sungai yang perlu diperhatikan pengadaannya diantaranya adalah landmark kawasan, jembatan “ringkap”, bantaran (rumah dua muka), jalan lingkungan, bantaran, program sanitasi berbasis masyarakat (SANIMAS), instalasi pengelolaan sungai limbah (IPAL), Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA), dermaga, toilet komunal, rumah deret, tempat pembuangan sampah terpadu (TPST), hingga kawasan konservasi.
Prinsip pembangunan permukiman berkelanjutan di tepian sungai perlu diawali dengan penanganan permukiman kumuh. Pada penanganan permukiman kumuh, bantaran sungai harus mengedepankan prinsip penataan sosio-ekonomi. Hal ini dapat menjadi jawaban untuk menciptakan keseimbangan antara ruang alami dan ruang buatan manusia. Selain itu, penanganan permukiman kumuh juga harus mengedepankan tata lingkungan agar dapat menciptakan citra kawasan yang lebih baik. Penanganan permukiman kumuh merupakan awal rencana yang lebih luas dari cita-cita membangun permukiman yang berkelanjutan.
Pengelolaan tepian sungai yang berkelanjutan, tanggung jawab siapa?
Pengelolaan lingkungan sungai tentunya menjadi tanggung jawab banyak pihak. Pengelolaan kawasan tepian sungai membutuhkan peran aktif dari akademisi, media, swasta, pemerintah dan juga masyarakat. Akademisi berperan dalam pengembangan pengetahuan dan teknologi, rekomendasi kebijakan dan perencanaan berbasis fakta dan ilmu pengetahuan. Kemudian media berperan membangun dan mempengaruhi opini publik, sebagai sarana untuk mengomunikasikan kebijakan. Selain itu, ada juga pihak swasta yang berperan meminimalkan dampak lingkungan, pengendalian imbal jasa lingkungan, dan tanggung jawab sosial perusahaan. Pemerintah memiliki peran sentral untuk memfasilitasi, mengkondisikan, dan mengakomodir kebutuhan masyarakat dalam upaya penyelamatan ekologi sungai. Kemudian yang terakhir, masyarakat memiliki peran sebagai ujung tombak dalam upaya penyelamatan sungai, masyarakat juga berperan untuk mengawal perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat.
Mewujudkan pengelolaan permukiman tepian sungai yang berkelanjutan membutuhkan perubahan paradigma pembangunan suatu wilayah dimana budaya sungai merupakan sebuah hakikat dan jati diri yang tidak boleh dihilangkan. Keberlanjutan permukiman tepian sungai harus mencakup usaha untuk mengatasi kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakatnya. Hal ini merupakan tantangan yang tidak mudah, sehingga peran dan kontribusi dari berbagai pihak diperlukan sebagai bagian untuk mewujudkan sebuah kota yang inklusif, aman, resilien, berkelanjutan, serta memperkuat upaya untuk melindungi dan menjaga warisan budaya serta alam dunia. (EG&MVM)