HRC Caritra kembali menyelenggarakan Seri Webinar Perkim #22 pada Kamis, 8 Juli 2021. Dihadiri oleh 58 peserta di Zoom Meeting dan 50 live views di Youtube, Seri Webinar Perkim #22 mengusung tema “Tata Kelola Permukiman Tangguh Bencana” yang dibawakan oleh Junita Bahari Nonci. Junita Bahari Nonci adalah penggiat senior bidang perumahan dan permukiman di Provinsi Banten.

Tata Kelola Permukiman Tangguh Bencana” dinilai sebagai topik yang terkini dan mendesak untuk dibahas. Hal ini didasari pada fakta bahwa dalam kurun waktu enam bulan terakhir, terdapat setidaknya 1.517 bencana alam yang melanda Indonesia dan menyebabkan kerugian terhadap 981.278 rumah rusak, 3.708 fasilitas rusak, serta menyebabkan kerugian bagi 5.410.508 jiwa (Data Geoportal Data Bencana Indonesia, 2021). Belum lagi bencana pandemi COVID-19 yang telah menyebabkan 2.417.788 orang terjangkit dan 63.760 orang meninggal dunia (per 8 Juli 2021). Maka Seri Webinar Perkim #22 kali ini mencoba membahas bagaimana tata kelola permukiman tangguh bencana yang dapat merespon kejadian bencana dan menekan kerugian yang ditimbulkan.

Ibu Junita membahas topik “Tata Kelola Permukiman Tangguh Bencana” mulai dari faktor bencana, peran pemerintah dan aksi, penanganan bencana, serta skema keterlibatan peran pemangku kepentingan dan langkah aksi. Pada bagian awal webinar, Ibu Junita menjelaskan secara singkat terminologi dasar yang perlu dipahami (kategori bencana, jenis bencana, dan terminologi lainnya), gambaran umum terkait bencana di Indonesia, serta dampak yang terjadi dalam sektor perumahan dan permukiman. Ibu Junita juga menjelaskan beberapa tinjauan kebijakan terkait perumahan dan bencana.

Nyatanya, jauh sebelum bencana memberikan efek represif bagi perumahan dan permukiman, pemerintah sudah lebih dahulu memiliki wewenang preventif dalam dampak bencana. UU No. 1 Tahun 2011 menyebutkan bahwa Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) diselenggarakan dengan asas kelestarian dan keberlanjutan, mencakup mitigasi bencana, serta mempertimbangkan keselamatan masyarakat. Kemudian Pasal 32 UU No. 24 Tahun 2007 menyatakan bahwa pemerintah dapat menetapkan wilayah rawan bencana menjadi wilayah terlarang untuk permukiman dan mengurangi dampak negatif dari bencana nantinya. Walaupun pemerintah juga memiliki kebijakan represif akan bencana terhadap perumahan dan permukiman, namun tidak bisa dipungkiri bahwa kebijakan preventif akan menjadi hal yang harus diutamakan.

Salah satu pembahasan paling menarik yang dipaparkan oleh Bu Junita adalah bagaimana keterlibatan pemangku kepentingan dalam peran dan aksi yang dapat dilakukan. Hal yang ingin ditekankan di sini adalah tupoksi antar pemangku kepentingan seringkali tumpang tindih dan tidak jelas dalam menangani kejadian bencana. Ibu Junita menekankan pada keputusan Menteri Dalam Negeri No. 50 Tahun 2020, dimana penyediaan dan rehabilitasi rumah yang layak huni bagi korban bencana menjadi bagian dari urusan  pemerintah daerah dalam bidang PKP. Selain itu, peran pemangku kepentingan lain seperti BNPB juga memiliki peranan yang penting. Perlunya pemahaman peran dan sinergitas antar pemangku kepentingan dalam tata kelola permukiman tangguh bencana menjadi salah satu wawasan utama dalam pembahasan ini.

Pada sesi diskusi dibahas bagaimana data menjadi kunci dalam pembangunan bahkan termasuk pembangunan pasca bencana masih simpang siur di Indonesia. Dalam konteks pasca bencana, pengumpulan data yang dilakukan oleh Indonesia masih belum dikatakan baik. Studi kasus bencana Gempa Yogyakarta 2006 memiliki mekanisme pendataan pasca bencana yang cukup baik dengan adanya penggunaan stiker untuk mendata kerusakan rumah. Sayangnya contoh baik tersebut tidak pernah diterapkan lagi pada bencana lain setelahnya di Indonesia. Seharusnya Indonesia mencontoh Negara Jepang yang sudah menerapkan konsep stiker untuk melabeli tingkat kerawanan bangunan atau kawasan.

Sebagai penutup diskusi, Ibu Junita menyampaikan pernyataan berikut. “Penanganan bencana membutuhkan sinergitas dari berbagai pihak. Perlu adanya kolaborasi dan dukungan dari regulasi yang sesuai dengan kearifan lokal daerah sehingga siapa pun bisa berkolaborasi dalam kerangka regulasi yang mendukung”. Maka, sudah saatnya kita memahami lebih mendalam mengenai regulasi dan keterlibatan antar pemangku kepentingan demi mewujudkan tata kelola permukiman yang tangguh bencana. (IPF/MVM)