Kawasan kumuh adalah sebuah kawasan dengan tingkat kepadatan populasi tinggi di sebuah kota yang umumnya dihuni oleh masyarakat miskin. Kawasan kumuh dapat ditemui di berbagai kota besar di Indonesia. Kawasan kumuh umumnya dihubungkan dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran tinggi. Dalam persepsi masyarakat bisa saja kawasan kumuh tersebut diartikan menjadi hal yang berbeda.

“Kawasan Kumuh dalam Persepsi Masyarakat” menjadi tema utama dalam Webinar Perkim seri 21 yang diselenggarakan HRC Caritra pada Kamis, 3 Juni 2021. Prof. Dr. Sri Rum Giyarsih, M.Si. (Guru Besar Fakultas Geografi UGM) dan Dana Adisukma, ST., M.Sc. (Direktur HRC Caritra Kaltim dan Praktisi bidang Tata Ruang dan Geospasial) menjadi narasumber yang memberikan informasi terkait dengan Kawasan Kumuh dalam Persepsi Masyarakat.

Prof. Dr. Sri Rum Giyarsih, M.Si mengatakan bahwa selama ini jika kita berbicara tentang permukiman kumuh, itu selalu core nya adalah bidang ilmu teknik. Jika kita cermati teman-teman di teknik ini karena bidang ilmunya saintek, sehingga kemudian ketika membahas permukiman kumuh itu lebih banyak acuannya pada aspek fisikal. Jika kami di Geografi ada aspek lain diluar fisikal, yang itu juga berperan dalam penanganan kawasan kumuh, yaitu aspek sosial ekonomi.

Prof. Dr. Sri Rum Giyarsih, M.Si. dalam pemaparan materinya bercerita tentang Padukuhan Blotan, Desa Wedomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman yang menjadi lokasi penelitian. Penanganan kawasan kumuh perlu dilakukan untuk mencapai target SDG’s khususnya tujuan yang ke 11, yakni membangun kota dan permukiman yang inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan pada 2030 mendatang.

Kondisi salah satu lokasi di Kabupaten Sleman yang ditetapkan sebagai permukiman kumuh adalah Padukuhan Blotan RT 01 RW 40, Desa Wedomartani, Kecamatan Ngemplak yang berkarakteristik perdesaan. Kondisi permukiman kumuh di Padukuhan Blotan RT 01 RW tidak sekompleks kondisi fisik permukiman kumuh di perkotaan. Adanya indikasi ketidaktepatan diagnosa kekumuhan hingga implementasi kebijakan dan program penanganan permukiman di Padukuhan  Blotan RT 01 RW 40, dianalisis berdasarkan aspek-aspek fisik maupun non fisik.

Persepsi masyarakat terhadap Status Permukiman Kumuh

  • Pada awal penetapan Padukuhan Blotan RT 01 RW 40 sebagai permukiman kumuh, masyarakat merasa malu;
  • Status kumuh terhadap Padukuhan Blotan RT 01 RW 40 menjadi bahan pembicaraan yang kurang baik oleh desa-desa tetangga;
  • Masyarakat menerima penetapan status permukiman kumuh dengan pertimbangan adanya dana untuk perbaikan dan pembangunan infrastruktur;
  • Penerima dana dari Program Kotaku mencapai +- 2,8 milyar;
  • Besarnya penerimaan dana pembangunan menimbulkan keirian bagi pedukuhan lain;
  • Masyarakat menganggap aspek kekumuhan di Padukuhan Blotan RT 01 RW 40 masih dibawah rata-rata;
  • Masyarakat dan pemerintah daerah menganggap Padukuhan Blotan RT 01 RW 40 merupakan daerah rawan kumuh;
  • Kondisi lingkungan Padukuhan Blotan RT 01 RW 40 hampir sama dengan kondisi RT lainnya di Padukuhan Blotan;
  • Setelah penetapan status kumuh, pemahaman masyarakat terhadap kriteria kekumuhan dan kesadaran pentingnya pemenuhan infrastruktur dasar bagi lingkungan permukiman meningkat;

Keterkaitan antar tema-tema dalam penelitian ini menghasilkan 4 konsep dalam konseptualisasi evaluasi penetapan status permukiman kumuh terhadap Padukuhan Blotan RT 01 RW 40 yang meliputi kebutuhan pemberdayaan masyarakat, kebutuhan sarana dan prasarana dasar, pemenuhan anggaran  pencegahan permukiman kumuh, regulasi penetapan permukiman rawan kumuh.

Dana Adisukma, ST., M.Sc. mengatakan bahwa permasalahan perkotaan menjadikan disparitas indeks yang sangat tinggi antara Jawa dan luar jawa. Hal ini terlihat wajar karena sudah dibentuk pembangunan seperti ini selama 32 tahun lamanya. Jadi lebih banyak penduduk, sumber daya alam dan mineral diluar Jawa, sehingga orang bekerja di luar Jawa, dikembalikan ke Jawa dan diputar uangnya di Jawa. Sehingga pembangunan terkesan tidak adil dan tidak merata.

Isu strategis pembangunan infrastruktur permukiman 2020-2024

Kurang komprehensifnya pembangunan dalam meningkatkan kebutuhan layanan infrastruktur permukiman:

  • Belum tercapainya layanan infrastruktur dasar permukiman
  • Kurangnya sinergitas sektor dalam pembangunan berbasis entitas kawasan
  • Terbatasnya kapasitas kelembagaan pembangunan di daerah
  • Kurang optimalnya tata kelola pemanfaatan dan pengendalian infrastruktur
  • Penugasan dalam peningkatan kualitas sarana pendukung permukiman

Kesimpulannya adalah, dalam upaya penanganan kawasan kumuh tidak hanya bisa dilihat dari aspek fisik saja, namun perlu juga dilihat dari aspek non fisik. Aspek non fisik yang dimaksud dapat dilihat dari pemberdayaan masyarakat tentang kepemilikan lahan masyarakat dan kondisi sosial ekonomi dari masyarakat tersebut. Sisi lain dari cara memandang kumuh, dengan memberikan keleluasaan daerah untuk menentukan wilayahnya yang masuk dalam kawasan kumuh. Memahami budaya kumuh dan penanganannya, dapat dimulai dari level masyarakat terkecil yakni di lingkungan Rumah Tangga (RT) (MRD)