Kegiatan webinar Adaptasi Perubahan Iklim di Perkotaan yang diselenggarakan oleh Caritra Indonesia dilaksanakan pada hari Kamis, 7 Maret 2024 secara daring melalui Zoom Meeting dan disiarkan secara langsung di Kanal Youtube Caritra Indonesia. Materi webinar disampaikan oleh Bapak Dimas Panji Agung Rahmatulloh, Program Manager di Pujiono Centre, dan dimoderatori oleh Ibu Dr. Ir. Mahditia Paramita, M.Sc.

Topik webinar kali ini mengusung tema “Adaptasi Perubahan Iklim di Perkotaan” yang berangkat dari permasalahan perubahan iklim (Climate Change). Data menunjukkan kenaikan suhu lebih dari 1°C selama lima tahun terakhir serta peningkatan akibat pra industri sebesar 1,09%. Kenaikan suhu di daratan dua kali lipat atau setara dengan 1,59% lebih besar dari kenaikan suhu di lautan, yaitu sebesar 0,44°C. Meskipun hanya 1%, tetapi hal ini sudah cukup menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan pada permasalahan perubahan iklim.

Perubahan iklim yang ditandai dengan kenaikan suhu disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, aktivitas manusia (gas rumah kaca), peristiwa alam (aktivitas matahari), dan aktivitas gunung berapi. Akibat dari fenomena ini adalah meningkatkan suhu bumi atau yang biasa kita sebut sebagai pemanasan global. Pemanasan global ditandai dengan jumlah karbondioksida (CO2) yang lebih banyak di atmosfer, meningkatnya jumlah air yang tidak merata, serta kenaikan permukaan air laut. Dampak nyata dari perubahan iklim yang dapat dirasakan adalah bencana alam banjir, gagal panen, kenaikan suhu, longsor, dan risiko kebakaran. Dampak yang terjadi akibat dari perubahan iklim sejatinya juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, yaitu faktor ekologi dan sosial.

Problematika dan dampak perubahan iklim dapat ditanggulangi dengan proses adaptasi. Adaptasi merupakan suatu kondisi dan respons dari sistem sosial-ekologi yang saling terhubung untuk mengatasi kejadian bencana (disturbance) dengan cara mempertahankan fungsi, identitas, dan strukturnya. Proses adaptasi pada fenomena perubahan iklim bertujuan untuk mengurangi kerentanan sistem terhadap dampak berbahaya dari perubahan iklim itu sendiri, seperti kenaikan muka air laut, cuaca ekstrem, atau kerawanan pangan.

Pemateri menambahkan, salah satu bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim adalah dengan menjalankan program-program yang bertujuan untuk menciptakan keberlanjutan atau sustainability. Salah satu pendekatan yang sudah mulai gencar dilakukan adalah ketahanan atau resilience. Implementasi pendekatan ini dapat dilakukan dengan identifikasi karakteristik dan faktor penentu risiko. Metode identifikasi dilakukan dengan memprediksi ancaman, mengurangi kerentanan, serta merancang respons terhadap bencana. Keberhasilan metode ini ditandai dengan kompleksitas risiko semakin tinggi dan adaptasi yang memiliki batasan tertentu. Kondisi ini disebut transformasi menuju kota resilience. Realisasi dari metode ini adalah dengan penyediaan transportasi publik, penataan ruang yang berkelanjutan, peningkatan kualitas SDM, serta kolaborasi dan kemitraan. Penentuan skala prioritas untuk melaksanakan metode ini ditentukan dari kondisi ekonomi dan keselamatan suatu daerah.

Pak Dimas selaku pemateri menyampaikan bahwa Kota Jakarta merupakan salah satu percontohan kota yang telah menerapkan infrastruktur hijau sebagai upaya menanggulangi perubahan iklim. Konsep infrastruktur hijau ini nantinya harus dapat diterapkan di Ibukota Nusantara (IKN). Selain itu, penyediaan early warning system juga harus dilaksanakan melihat tingginya kemungkinan terjadi bencana alam yang datang secara tiba-tiba, seperti bencana alam tornado yang baru-baru ini terjadi di salah satu kota di Jawa Barat.

Salah satu metode resilience yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan urban farming. Mengubah area kebun menjadi area penangkapan air dan penanaman tumbuhan yang dapat dikonsumsi dapat meningkatkan ketahanan kawasan dan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, penerapan metode adaptasi dan resilience harus dilakukan sejak dini untuk memperlambat dampak dari perubahan iklim.