(Q&A Webinar Perkim Seri 22)
Setahun terakhir BNPB mencatat 2.823 kejadian bencana terjadi di Indonesia. Dampaknya adalah 9.781 rumah rusak berat, 6.030 rusak sedang, 26.100 rusak ringan, dan 781.750 rumah terendam. Upaya pemulihan dan pembangunan kembali permukiman terdampak bencana perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan dari berbagai sektor dalam rangka menyusun kebijakan dan program. Bagaimana sinergitas multisektor dalam tata kelola penanganan bencana yang efektif?
Webinar Masterplan Desa Seri-22 “Tata Kelola Permukiman Tangguh Bencana” pada Kamis, 8 Juli 2021 menghadirkan narasumber Junita Bahari Nonci selaku Penggiat Senior Perkim Banten. Berikut ulasan sesi diskusi webinar.
Seperti apa ragam bencana yang ada di Banten?
Di Banten kebetulan cukup beragam, dimana hampir semua indikator bencana itu ada. Bencana tsunami yang cukup besar pernah terjadi di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang. Selanjutnya ada banjir badang, puting beliung, dan juga banjir, baik itu yang diakibatkan oleh kerusakan alam maupun disebabkan oleh buruknya sistem drainase. Bencana kebakaran juga sering terjadi di beberapa daerah, diakibatkan oleh faktor nonalam.
Apa pembelajaran dari penanganan bencana di Banten?
Kelemahan kami adalah identifikasi dan pendataan kebencanaan, dimana seringkali masih saling simpang siur. Untuk memperoleh data secara valid dan update, perlu ada formula yang baik dan tepat. Hal ini bisa dilakukan dengan pemberian stiker untuk menandai rumah berdasarkan tingkat kerawanan bencananya, seperti yang sudah diterapkan di Jepang.
Seperti apakah huntara di Banten?
Huntara yang disediakan oleh pemerintah dibangun menggunakan baja ringan dan GRC, cukup untuk tinggal beberapa bulan sambil menunggu bantuan bangunan baru. Namun ke depannya perlu dipikirkan keterlibatan antar komunitas, asosiasi, dan ikatan arsitek dalam menentukan desain-desain huntara.
Pada kasus tata kelola bencana tsunami di Kabupaten Pandeglang, kami mempertemukan pemerintah Kabupaten Pandeglang dengan profesor dari Jepang terkait teknologi menggunakan container sehingga pembangunannya menjadi lebih cepat. Namun untuk mengadopsi langkah ini tentunya sangat tergantung bagaimana kondisi keuangan dan kebijakan pemerintah daerah.
Banjir di perkotaan akibat alih fungsi lahan terjadi di beberapa lokasi dan semakin berat, seperti apa solusinya?
Banjir di Banten itu diakibatkan salah satunya karena alih fungsi lahan dan drainase yang buruk. Terkait alih fungsi lahan ini perlu adanya tinjauan kembali terhadap kebijakan daerah, yaitu dokumen Rencana Pengembangan dan Pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP). Dokumen RP3KP perlu mengatur lokasi dan penanganan kawasan rawan bencana, daerah aliran sungai, dan seterusnya. Hal ini untuk mengantisipasi terjadinya alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan dokumen RP3KP tersebut. Selain itu, dari proses pengumpulan hasil data dan analisis dalam penyusunan RP3KP, bisa diketahui program apa yang bisa dilakukan untuk penanganan terhadap daerah yang rawan bencana tersebut.
Apakah pemda bisa membuat diskresi peraturan dari Standar Pelayanan Minimum (SPM) berupa Peraturan Walikota (Perwako) terkait penanganan bencana kecil?
SPM bukan membatasi wewenang pemerintah kota, kabupaten, ataupun provinsi. Jadi, jika ingin membuat semacam peraturan walikota ataupun peraturan gubernur tidak masalah. Selanjutnya dapat disusun pula Perda PKP atau peraturan RP3KP, dimana didalamnya mencakup SPM yang bisa dilakukan oleh pemda.
Pembelajaran apa yang bisa diambil dari tata kelola permukiman tangguh bencana di Banten?
Dalam menghadapi tantangan kebencanaan, pemerintah harus disiplin dan inovatif sehingga dapat terwujud kawasan permukiman yang tangguh bencana. Penanganan kebencanaan multisektor perlu dilakukan dengan melibatkan masyarakat, swasta, lembaga non-pemerintah, perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan media sehingga permukiman tangguh bencana di Indonesia dapat terwujud! (Ravi&MVM)