Perkim.id – Indonesia menyimpan segudang kekayaan sumber daya energi dan potensi alam, didukung dengan adanya pertemuan tiga lempeng aktif yakni Indo-Australia di selatan, Eurasia di utara dan Pasifik di timur. Namun, hal ini tidak menjadikan potensi ini bisa dioptimalkan sepenuhnya, sebab Indonesia pun memiliki ancaman bencana dari pertemuan tiga lempeng tersebut, yakni cincin api pasifik dan jalur gempa. Keindahan dan kesuburan alam dari cincin api pasifik, mengundang masyarakat untuk tinggal disekitarnya dan mengoptimalkan lahan yang ada dengan bercocok tanam dan beternak. Di sisi lain larangan untuk tinggal di radius tertentu yang dilakukan pemerintah, sebagai bentuk upaya untuk meminimalkan korban apabila terjadi bencana erupsi. Sebut saja beberapa gunung berapi yang aktif di Indonesia seperti Gunung Krakatau atau Anak Krakatau, Gunung Semeru, Gunung Merapi, Gunung Agung, Gunung Sinabung, Gunung Kerinci, juga menerapkan larangan tersebut, sebut saja Gunung Merapi, dalam radius 3 km masyarakat dilarang untuk beraktivitas bahkan tinggal didalamnya. Respon masyarakat kita mulai tanggap terhadap mitigasi bencana, benarkah?
Gunung Krakatau yang terletak di Sulat Sunda atau diantara Pulau Jawa dan Sumatera sebagai salah satu gunung berapi yang mengalami bencana erupsi paling dahsyat pada tahun 1883 dan telah menghancurkan seluruh pulau di dekatnya dan membentuk gunung berapi baru, yakni Anak Krakatau. Selain itu dahsyatnya bencana erupsi gunung berapi terlihat kembali pada penghujung tahun 2010 yang mengundang banyak perhatian secara nasional hingga mancanegara. September tahun 2010, gunung Merapi kembali mencuri perhatian masyarakat dengan adanya tanda-tanda peningkatan secara fluktuatif dari aktivitas seismograf dan vulkanik. Merapi cukup terkenal dengan slogan “Merapi tidak pernah ingkar janji” memiliki siklus erupsi pendek (2 – 5 tahun). Sehingga dalam kurun waktu tertentu gunung tersebut akan mengalami bencana erupsi secara berkala. Masyarakat Yogyakarta dan Gunung Merapi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Meskipun sering murka, wilayah sekitarnya masih saja tetap dihuni. Maka akan banyak ditemukan permukiman warga yang menghuni di sekitar lereng gunung dengan ancaman bencana yang bisa terjadi kapan saja. Melihat hal ini, apakah respon masyarakat sudah tanggap akan bencana?
Erupsi Gunung Merapi memuncak pada 29 November 2010 dan menewaskan banyak korban dan hewan ternak. Erupsi Merapi tidak lah datang tiba-tiba, sebab kondisi ini dapat diprediksi berdasarkan pengamatan aktivitas vulkanologi. Namun penanganan bencana tidak sepenuhnya terintegrasi. Bencana erupsi Merapi adalah edukasi sebagai kalimat yang tepat dimana banyak pihak belajar akan tanggap dan kesadaran ancaman bahaya. Kematian, kerugian dan pemulihan dari pasca Merapi erupsi menjadi pembelajaran seluruh pihak untuk memahami dan mempelajari aksi dan refleksi dalam mengelola tanggap bencana, mitigasi bencana hingga penangannannya. Banyaknya masyarakat yang tinggal dan menghidupi kehidupan sehari-hari dari Gunung Merapi, lebih banyak disebabkan karena sumber daya alam dan kesuburan tanah yang menjanjikan. Kesadaran dan ketanggapan akan bencana masih cukup minim membuat seluruh penghuni lereng Merapi, tidak sadar akan bahaya yang senantiasa akan datang kapanpun.. Saatnya masyarakat mulai bangkit dan responsif terhadap bencana di sekitarnya.
Tanggap terhadap pemulihan pasca bencana dalam pemenuhan kebutuhan hunian bukan lah sebuah pekerjaan mudah. Hancurnya permukiman , matinya hewan ternak dan rusaknya ladang pertanian, meruntuhkan ekonomi masyarakat karena tidak bisa diandalkan kembali sebagai penghidupan membuat masyarakat untuk berdaya. Masyarakat lekas bangkit dari keterpurukan, kehilangan tempat tinggal menjadi pertimbangan penting dalam mengiringi penanggulangan dampak bencana. Pendekatan REKOMPAK (Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas) sebagai program dalam pembangunan kembali permukiman pascabencana, menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Metode REKOMPAK sebagai bentuk hijrah dari reposisi kata “relokasi” yang memiliki makna negatif dan penuh resistensi oleh masyarakat. Meskipun pada akhir program berupa permukiman kembali dimana masyarakat dapat menggunakan lahan lama untuk kegiatan produktif, namun tidak hanya sebagai tempat tinggal tetapi juga ruang sosial untuk masyarakat beraktivitas. Refleksi terhadap bencana, menjadi kegiatan utama rehabilitasi dan rekosntruksi permukiman dan lingkungan pascabencana erupsi Merapi.
Program ini membawa polemik yang besar dalam mengupayakan pemulihan kondisi pasca bencana. Tidak sedikit warga yang merasa kontradiktif dalam program tersebut dan menginginkan kembali tinggal dan menghuni di permukiman lama. Pendekatan kemanusiaan membuat program ini dapat disepakati oleh warga. Penyusunan Rencana Pembangunan Permukiman (RPP) tersebar di 18 titik dan menetapkan 9 pedukuhan di 3 desa di wilayah Kecamatan Cangkringan menjadi kawasan bebas dari hunian. Pemerintah Kabupaten Sleman menjamin seluruh status sosial budaya kemasyarakatan suatu pedukuhan. Kesadaran ini penting untuk warga paham akan lokasi Huntap (Hunian tetap) memiliki luasan yang tidak sama dengan hunian lama yang memiliki perkarangan yang luas. Upaya masyarakat respon terhadap bencana mulai bangkit! (KAD-CARITRA)