Hunian yang layak tidak hanya sekadar terjangkau, tetapi juga harus aman. Dalam perencanaan perkim, mitigasi bencana menjadi salah satu aspek kunci terwujudnya hunian yang layak dan aman. Hal ini sesuai dengan arahan Permenpera No. 12/2014 tentang Penyusunan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) Daerah Provinsi dan Kab/Kota dan Permenpera No. 10/2014 tentang Pedoman Mitigasi Bencana Alam Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman, dimana RP3KP diharapkan terintegrasi dengan upaya mitigasi bencana khususnya di kawasan perumahan dan permukiman.
Kota Bontang merupakan kota termuda di Provinsi Kalimantan Timur. Keberadaan industri PT Badak NGL dan PT Pupuk Kaltim mendorong perkembangan yang pesat di Kota Bontang. Laju pertumbuhan penduduk Kota Bontang mencapai 2,058% (BPS Kota Bontang, 2024), dengan laju migrasi mencapai 6,96% (BPS Kota Bontang, 2021). Keberadaan kawasan industri besar di sekitar Kota Bontang memicu tingginya pertumbuhan dan migrasi penduduk. Jumlah penduduk Kota Bontang pada 2024 mencapai 189.968 jiwa dan diperkirakan pada 20 tahun mendatang mencapai 206.448 jiwa, dengan dominasi penduduk usia produktif. Potensi kawasan industri dan dominasi penduduk usia produktif menjadi faktor penggerak roda perekonomian Kota Bontang. Pada 2021, Kota Bontang menempati urutan kedua sebagai kota terkaya di Indonesia, dengan PDRB per kapita sebesar 320,44 juta rupiah.
Namun dibalik tingginya laju perekonomian dan pertumbuhan, Kota Bontang dihadapkan pada tantangan kebencanaan gagal teknologi yang disebabkan oleh keberadaan kawasan industri di Kota Bontang. Wilayah daratan Kota Bontang seluas 147,8 km2, dimana 24% merupakan kawasan industri PT Badak NGL dan PT Pupuk Kaltim, 40% kawasan hutan lindung/TNK, dan 36% areal efektif untuk pembangunan wilayah (RTRW Kota Bontang 2019-2039). Kondisi tersebut menunjukkan, sebagian besar wilayah Kota Bontang didominasi oleh kawasan industri. Adanya aktivitas industri yang berdekatan dengan kawasan perumahan dan permukiman memantik perhatian pada mitigasi kebencanaan yang disebabkan oleh kegagalan teknologi, termasuk integrasinya dalam perencanaan perkim. Mengingat Kota Bontang telah memiliki dokumen RP3KP yang telah disahkan dalam Perda Kota Bontang No. 3/2019 tentang RP3KP Kota Bontang 2019 – 2039.
Dalam kegiatan workshop yang bertajuk “Peningkatan Kualitas Permukiman”, Kota Bontang turut mengundang Bapak Eko Yudho Pramono, S.T (Praktisi Politeknik Teknologi Nuklir Indonesia, Badan Riset dan Inovasi Nasional) untuk membahas lebih detail terkait mitigasi bencana kegagalan teknologi, khususnya dalam perumahan dan kawasan permukiman. Bapak Eko mengawali pemaparan materinya dengan definisi dari kegagalan teknologi. Menurut beliau, bencana kegagalan teknologi adalah semua kejadian bencana yang diakibatkan oleh kesalahan desain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia dalam penggunaan teknologi dan/atau industri. Kegagalan teknologi juga berkaitan dengan bencana lain mulai dari geologi, lingkungan, biologi dan sosial politik. Sehingga bencana kegagalan teknologi dapat menyebabkan bencana lain, dan bencana lain dapat menyebabkan kegagalan teknologi.
Dampak dari bencana kegagalan teknologi sangat beragam, mulai dari pencemaran (udara, air dan tanah), korban jiwa, kerusakan bangunan, dan kerusakan lainnya. Dalam skala besar bencana kegalalan teknologi dapat mengancam kestabilan ekologi secara global. Beliau juga menyebutkan beberapa kejadian kegagalan teknologi di dunia seperti bencana chernobyl (1986), insiden pipa minyak deepwater horizon (2010), dan lain sebagainya.
Menurut Bapak Eko, Kota Bontang termasuk dalam kelas risiko bencana tinggi dengan skor 15.000 (Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2024). Keberadaan kawasan industri PT Badak NGL dan PT Pupuk Kaltim menunjukkan adanya potensi risiko bencana kegagalan teknologi. Beliau menekankan, “kalau potensi sudah ada, sebagai contoh di Kota Bontang ada kawasan industri PKT, maka perlu tindakan tidak hanya mitigasi tapi sudah sampai kesiapsiagaan”. Beliau menyampaikan, umumnya pada tahap mitigasi dan kesiapsiagaan, pemerintah dan masyarakat cenderung tidak siap. Akibatnya, pada saat terjadi bencana dan memasuki fase tanggap darurat, masyarakat cenderung kaget dan tidak tahu harus berbuat apa, sehingga berdampak pada banyaknya korban jiwa.
Menurut Bapak Eko, ketika melakukan mitigasi, yang pertama dilakukan adalah menyusun Kajian Risiko Bencana (KRB). Dalam dokumen tersebut dilakukan identifikasi potensi bencana, identifikasi tingkat kerentanan, identifikasi kapasitas dalam menghadapi dan menanggulangi bencana, penyusunan prioritas mitigasi, penyusunan rencana tindak, hingga mekanisme pengawasan dan pengendalian. Dokumen KRB ini menjadi dasar dan wajib di setiap Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), namun saat ini baru 50% daerah yang memiliki KRB. Dokumen KRB menjadi dasar bagi sektor lain untuk penyusunan dokumen lainnya, termasuk dalam hal penyusunan RP3KP. Dengan kata lain, perencanaan yang tidak memperhatikan KRB maka tidak mengintegrasikan perencanaan berbasis risiko.
Untuk itu dalam penyelenggaraan PKP atau penyusunan RP3KP di daerah, KRB menjadi acuan dalam penyusunan upaya mitigasi bencana. Sehingga terwujudnya hunian yang layak, terjangkau dan aman bagi masyarakat. Pada akhir pemaparan, Bapak Eko menyampaikan pentingnya penerapan RP3KP yang berbasis ekologi sebagai upaya untuk memperhatikan lingkungan, sehingga dapat terintergasi antara RP3KP, ekologi dan kebencanaan. (DVM)
Referensi
BPS. 2024. Kota Bontang dalam Angka 2024. Diakses dari https://bontangkota.bps.go.id/id/publication/2024/02/28/8a6a2ead51f07fe2aabd3f94/kota-bontang-dalam-angka-2024.html
RTRW Kota Bontang 2010-2039