Rumah adalah cerminan kualitas hidup. Sayangnya, di Indonesia, jutaan keluarga masih tinggal dalam kondisi rumah yang tidak layak huni.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) melalui publikasi yang berjudul Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan 2023 mengungkapkan bahwa lebih dari sepertiga penduduk Indonesia, tepatnya 36,85% rumah tangga, tinggal di rumah yang tidak layak huni. Artinya, sekitar 36 hingga 37 dari setiap 100 rumah tangga hidup dalam kondisi yang jauh dari kata layak, yang tentu saja berdampak signifikan terhadap kesejahteraan mereka. Lebih detail, terdapat 32 juta dari total 75 juta rumah tangga di Indonesia hidup dalam kondisi rumah yang tidak layak (Arini, 2024). Angka ini menunjukkan bahwa masalah perumahan layak masih menjadi tantangan besar di negara kita.
Kondisi hunian yang buruk memengaruhi berbagai aspek kehidupan, tidak hanya pada kesehatan fisik dan mental para penghuninya, tetapi juga pada kualitas hubungan dalam keluarga. Dari segi kesehatan, rumah yang tidak memenuhi standar kelayakan dapat menjadi sumber penyakit dan meningkatkan risiko gangguan kesehatan, baik fisik maupun mental. Studi menunjukkan bahwa manusia yang berada dalam bangunan dengan kondisi yang tidak sehat cenderung mengalami tingkat stres yang lebih tinggi (Rizky dan Zahrah, 2021). Sebaliknya, hunian yang sehat dapat meningkatkan produktivitas dan mempererat hubungan antar anggota keluarga, karena menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan dan kesejahteraan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, telah ditetapkan sembilan ketentuan teknis untuk mencapai persyaratan rumah sehat, diantaranya bahan bangunan tidak mengandung bahan kimia berbahaya dan ramah terhadap lingkungan, komponen dan penataan ruangan yang baik, pencahayaan alami yang cukup, kualitas udara baik, ventilasi udara berjalan, jauh dari sumber penyakit, penyediaan air bersih layak konsumsi, adanya pembuangan limbah, dan perumahan dengan kepadatan hunian yang rendah. Selain rumah sehat, rumah yang nyaman juga dapat meningkatkan kualitas psikologis penghuni. Tingkat kenyamanan yang dirasakan oleh penghuni umumnya dipengaruhi oleh kondisi psikologis mereka.
Standar rumah sehat yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan Indonesia sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun, untuk mencapai target SDGs, diperlukan upaya yang lebih besar dalam meningkatkan kualitas perumahan di Indonesia. Di dalam indikator tujuan nomor 11 SDGs, ada empat kriteria yang wajib dipenuhi agar tempat tinggal dapat dikatakan sebagai rumah layak huni (BPS, 2016; Leiwakabessy, Cahyani and Lewerissa, 2023). Kriteria-kriteria tersebut meliputi:
- Ketahanan bangunan rumah
Ketahanan bangunan diukur dari bahan yang digunakan untuk atap, dinding, dan lantai rumah. Beberapa syarat yang harus dipenuhi agar bangunan dianggap tahan adalah:
-
- Bahan bangunan atap rumah terluas berupa beton, genteng, kayu/sirap, atau seng.
- Bahan bangunan dinding rumah terluas berupa tembok, plesteran, anyaman bambu/kawat, kayu/papan, atau batang kayu.
- Bahan bangunan lantai rumah terluas beurpa marmer/granit, keramik, parket/vinil/karpet, ubin/tegel/teraso, kayu/papan, atau semen/bata merah.
- Luas tempat tinggal
Sebuah rumah layak huni harus memiliki luas minimal 7,2 meter persegi per kapita. Misalnya, untuk keluarga dengan empat anggota, rumah tersebut harus memiliki luas lantai minimal 28,8 meter persegi.
- Akses air minum layak
Rumah yang layak huni harus memiliki akses ke sumber air minum yang layak, seperti leding, sumur bor/pompa, sumur terlindung, mata air terlindung, atau air hujan. Jika sumber air minum utama tidak berkelanjutan, seperti air kemasan bermerek atau air isi ulang, rumah tangga harus memiliki sumber air mandi atau cuci yang terlindungi.
- Akses sanitasi layak
Rumah layak huni wajib memiliki akses terhadap layanan sanitasi layak. Akses rumah tangga terhadap sanitasi layak diukur melalui kepemilikan fasilitas tempat buang air besar, jenis kloset, dan tempat pembuangan akhir tinja. Rumah tangga dengan akses terhadap sanitasi layak perlu memiliki fasilitas tempat buang air besar sendiri, bersama, atau di fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK) komunal. Jenis kloset yang memenuhi syarat sanitasi layak adalah leher angsa. Tempat pembuangan akhir tinja yang memenuhi syarat sanitasi layak adalah tangki septik atau Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
Menjamin ketersediaan rumah layak huni yang sehat dan nyaman merupakan langkah krusial untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Tidak hanya memenuhi kebutuhan dasar akan tempat tinggal, rumah yang layak juga berperan penting dalam mendorong kesejahteraan fisik dan mental, serta memperkuat ikatan keluarga. Oleh karena itu, upaya bersama dari pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat diperlukan untuk mempercepat perbaikan kondisi perumahan di Indonesia.
Peningkatan kualitas perumahan harus menjadi prioritas dalam agenda pembangunan nasional, sejalan dengan target SDGs (Paramita, 2021). Dengan memenuhi kriteria rumah layak huni, kita tidak hanya berkontribusi pada pencapaian tujuan global, tetapi juga memastikan bahwa setiap warga negara Indonesia dapat hidup dalam lingkungan yang mendukung kesehatan, kenyamanan, dan produktivitas. Upaya ini adalah investasi jangka panjang yang akan memberikan manfaat bagi generasi mendatang, menciptakan masyarakat yang lebih sehat, bahagia, dan sejahtera. (FPU)
Sumber:
Arini, S.C. (2024) 32 Juta Keluarga RI Tinggal di Hunian Tak Layak, SMF Sentil Program 3 Juta Rumah, detikFinance. Available at: https://finance.detik.com/infrastruktur/d-7401259/32-juta-keluarga-ri-tinggal-di-hunian-tak-layak-smf-sentil-program-3-juta-rumah#:~:text=Pemerintah Indonesia masih punya PR, rumah yang tidak layak huni.
BPS (2016) Potret Awal Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) di Indonesia, Katalog BPS. Available at: https://filantropi.or.id/pubs/uploads/files/3 BPS Potret Awal TPB di Indonesia.pdf.
BPS (2023) Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan 2023. Available at: https://www.bps.go.id/id/publication/2023/12/22/27008915741ff63ce2a2a054/indikator-perumahan-dan-kesehatan-lingkungan-2023.html.
Leiwakabessy, J., Cahyani, P.I. and Lewerissa, S. (2023) ‘Sosialisasi Pengenalan Persyaratan Rumah Yang Aman dan Layak Huni Menurut SDGs (Sustainable Development Goals)’, Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat Indonesia (JPPMI), 2(4), pp. 26–32.
Paramita, M. (2021) Inovasi Kebijakan & Tata Kelola Perkim: Menuju Indonesia Emas 2045. Yogyakarta: Yayasan Hunian Rakyat Caritra.
Republika (2020) Disrumkim Depok Fokus Tata Tiga Titik Kawasan Kumuh, Republika. Available at: https://news.republika.co.id/berita/qkcgwx438/disrumkim-depok-fokus-tata-tiga-titik-kawasan-kumuh.
Rizky, S.F. and Zahrah, A. (2021) ‘Arsitektur Hunian untuk Penderita Gangguan Kesehatan Mental’, Jurnal Sosiologi USK (Media Pemikiran & Aplikasi), 15(2), pp. 155–173. Available at: https://doi.org/10.24815/jsu.v15i2.21452.