Sebagai negara kepulauan yang terletak strategis di antara dua benua dan dua samudra, posisi geografis Indonesia menawarkan peluang sekaligus tantangan. Secara astronomis, Indonesia berada di antara 6° LU hingga 11° LS dan 95° BT hingga 141° BT, menjadikannya jalur perdagangan internasional yang penting. Namun, berbatasan langsung dengan negara tetangga juga memunculkan risiko, seperti kasus sengketa Sipadan dan Ligitan. Dengan populasi yang terus bertambah, perencanaan tata ruang harus memperhatikan potensi dampak jangka panjang seperti ancaman tenggelamnya Jakarta.

 

Perubahan iklim juga menjadi tantangan besar dalam perencanaan wilayah Indonesia. Pertumbuhan pesat di Pulau Jawa, misalnya, menuntut pengaturan ruang yang seimbang untuk menghindari kepadatan berlebih yang mengancam kenyamanan hidup. Kepadatan ini juga berpotensi meningkatkan risiko lingkungan. Karena itu, pembangunan yang merata menjadi kunci untuk menjamin kenyamanan seluruh penduduk.

 

Di kawasan pesisir, perhatian khusus sangat dibutuhkan karena Indonesia memiliki ribuan pulau yang berbatasan langsung dengan lautan. Selain kesejahteraan masyarakat pesisir, kelestarian laut juga harus dijaga. Kenaikan suhu global yang mencairkan es di Kutub Utara memicu kenaikan permukaan laut, yang dapat menyebabkan tenggelamnya beberapa kota pesisir Indonesia. Kota-kota besar juga menghadapi ancaman krisis air bersih akibat perubahan iklim yang berpengaruh pada ketersediaan air.

 

Dampak perubahan iklim tidak hanya melanda wilayah perkotaan, tetapi juga memengaruhi sektor pertanian dan kesehatan di wilayah pedesaan. Komoditas pertanian bisa mengalami penurunan hasil panen, mengakibatkan ancaman kelangkaan pangan. Di kawasan pesisir, para nelayan juga menghadapi risiko penurunan hasil tangkapan karena kerusakan ekosistem laut. Kenaikan suhu memperburuk risiko kesehatan dengan memicu penyebaran penyakit seperti DBD dan malaria, serta heat stress.

 

Sebagai negara kepulauan, perubahan iklim mengharuskan Indonesia untuk beradaptasi dengan cara yang efektif. Kondisi iklim yang bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lain memerlukan strategi adaptasi yang melibatkan masyarakat dari berbagai sektor, termasuk petani dan nelayan, untuk merespons perubahan ini. Di Pulau Jawa, misalnya, musim kemarau yang panjang sering menyebabkan kekeringan, sedangkan di wilayah lain, curah hujan yang tinggi memicu banjir.

 

Di wilayah perdesaan, fokus utama adalah mengembangkan ketahanan pangan melalui kawasan food estate dan memanfaatkan potensi kawasan perairan. Pendekatan berbasis ecoregion diharapkan dapat membantu menghadapi krisis pangan dalam jangka panjang. Konsep Desa Tangguh juga menjadi prioritas agar masyarakat perdesaan mampu menghadapi kondisi iklim yang ekstrem.

 

Di sisi lain, kota-kota besar yang turut menyumbang emisi karbon memiliki peran penting dalam mitigasi perubahan iklim. Pembangunan kota pintar yang berkelanjutan menjadi salah satu solusi untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Teknologi ramah lingkungan dalam kota pintar diharapkan mampu menjaga keseimbangan ekologis dan mencegah potensi ancaman seperti tenggelamnya Jakarta.

 

Menyikapi tantangan perubahan iklim yang semakin nyata, mari bersama wujudkan tata ruang Indonesia yang adaptif dan ramah lingkungan. Dengan perencanaan wilayah dan kota yang mempertimbangkan risiko iklim, kita bisa menciptakan Desa Tangguh dan Kota Pintar yang berkelanjutan demi masa depan Indonesia yang lebih baik. (HPS)

 

Sumber:

lcdi-indonesia.id/wp-content/uploads/2021/04/Buku-0_Ringkasan-Eksekutif-Dokumen-Kebijakan-Pembangunan-Berketahanan-Iklim.pdf

Dampak Perubahan Iklim dan Pembangunan Perkotaan pada Ketahanan Air Masa Depan dan Pilihan Adaptasi untuk Kota Makassar, Indonesia