Butuh upaya ekstra keras agar penetrasi mobil listrik di Indonesia bisa terjadi lebih cepat. Apalagi posisi Indonesia dalam peta pengembangan mobil listrik dunia saat ini masih marjinal.

Era mobil listrik telah dimulai satu dekade yang lalu. Percepatan peralihan dari penggunaan mobil konvensional ke mobil listrik didorong oleh kesepakatan negara-negara di dunia untuk mencapai net zero emission atau NZE pada 2060 atau lebih cepat. Posisi Indonesia dalam peta pengembangan mobil listrik dunia saat ini masih marjinal.

Hingga tahun 2020, pangsa penjualan mobil listrik berdasarkan data International Energy Agency atau IEA baru sekitar 5 persen dari total penjualan mobil di dunia. Dalam skenario NZE, tahun 2025 diharapkan pangsanya bertambah menjadi 25 persen. Dan di tahun 2030 bisa mencapai 60,9 persen.

Negara-negara produsen mobil kini berlomba-lomba menawarkan mobil listrik. Toyota Motor (Jepang), misalnya, berencana akan menjual sebanyak 3,5 juta kendaraan listrik ke seluruh dunia pada 2030 dengan varian 30 model kendaraan berbeda. Untuk itu, Toyota akan menginvestasikan dana sebesar 4 trilliun yen atau setara 35 miliar dollar Amerika Serikat dalam mewujudkan hal tersebut.

 

Penjualan mobil listrik terbesar masih dikuasai oleh China. Hingga tahun 2020, China mencatat penjualan mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) sebanyak 3,5 juta unit.

Sedangkan mobil listrik yang menggunakan dua mesin, yaitu mesin konvensional dan baterai/listrik (plug-in hybrid electric vehicle/PHEV) yang dijual China mencapai 1 juta unit.

Setelah China, negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat menjadi penjual mobil listrik terbesar berikutnya. Mobil listrik Eropa jenis BEV hingga 2020 terjual 1,8 juta unit dan jenis PHEV sebanyak 1,4 juta unit.

Sedangkan mobil listrik jenis BEV yang berhasil dijual AS tercatat 1,1 juta unit dan jenis PHEV sebanyak 0,6 juta unit. Sejumlah negara lainnya menjual kurang dari satu juta untuk kedua jenis BEV dan PHEV.

Pada paruh pertama 2021, penjualan mobil listrik tercatat sebanyak 2,65 juta unit. Jumlah tersebut meningkat 168 persen dibandingkan paruh pertama tahun 2020. Pertumbuhan ini cukup signifikan mengingat dunia masih diliputi pandemi.

Pada semester pertama 2020, penjualan mobil listrik di seluruh dunia turun 14 persen dibandingkan semester pertama 2019. Pada saat itu penjualan mobil konvensional di seluruh dunia juga turun, bahkan hingga minus 28 persen.

Pasar otomotif baru berangsur pulih pada semester kedua 2020. Selain penularan virus korona yang sudah mulai terkendali, penyebab lain meningkatnya penjualan mobil listrik didorong oleh kehadiran produk yang lebih menarik, dukungan pembiayaan hijau seperti green bond untuk menggenjot produksi, serta mandat pengurangan emisi gas rumah kaca.

Tesla memimpin dalam penjualan mobil listrik dengan jumlah 386.000 unit selama semester pertama 2021. Semuanya jenis mobil listrik berbasis baterai. Posisi kedua disusul oleh grup Volkswagen dengan jumlah 332 .000 unit yang terdiri atas 172.700 mobil listrik berbasis baterai dan 159.000 unit mobil listrik jenis hybrid.

Selanjutnya produk General Motors di tempat ketiga yang berhasil menjual sebanyak 227.000 unit mobil listrik dengan 221.000 unit di antaranya merupakan jenis berbasis baterai.

Sampai akhir paruh kedua 2021, penjualan mobil listrik diharapkan bisa mencapai 6,4 juta unit, tumbuh hampir 100 persen dibandingkan 2020. Rinciannya, sebanyak 4 juta unit merupakan jenis BEV, sisanya 2,4 juta unit adalah jenis PHEV. Dengan demikian pada 2021 sudah beredar lebih dari 16 juta mobil listrik di jalanan dunia.

Implementasi di Indonesia

Indonesia tak ingin ketinggalan dalam mewujudkan NZE lewat transformasi kendaraan ke mobil listrik. Untuk mendorong transformasi tersebut pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan.

Dalam perpres tersebut, upaya percepatan antara lain meliputi pengembangan industri kendaraan bermotor listrik (KBL), pemberian insentif, penyediaan infrastruktur pengisian listrik, dan pengaturan tarif tenaga listrik untuk KBL berbasis baterai.

Di DKI Jakarta, peraturan tersebut ditindaklanjuti dengan mengecualikan kendaraan yang digerakkan dengan motor listrik dari aturan ganjil-genap. Aturan tersebut termuat dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 88 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 155 Tahun 2015 tentang Pembatasan Lalu Lintas dengan Sistem Ganjil-Genap.

Selain bebas dari aturan ganjil-genap, kendaraan listrik juga mendapatkan insentif pajak, berupa pembebasan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).

Secara umum, agar konsumen mau beralih menjadi pengguna kendaraan listrik, terdapat sejumlah insentif lainnya, antara lain akses kredit untuk kendaraan listrik dan keringanan biaya pengisian listrik di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) yang disediakan oleh PLN.

Kemudahan-kemudahan diberikan tidak lain agar target peralihan ke mobil listrik yang ditetapkan pemerintah dapat terwujud. Dalam peta jalan transisi energi menuju karbon netral yang disusun pemerintah, pada tahun 2030 penggunaan kendaraan listrik di Indonesia diharapkan sudah mencapai 2 juta mobil dan 13 juta motor.

Selanjutnya, penjualan motor konvensional di tahun 2040 akan dihentikan. Sepuluh tahun setelah itu (2050), giliran penjualan mobil konvensional yang akan dihentikan.

Plus-minus

Optimisme sekaligus pesimisme mengiringi target yang dibuat pemerintah. Namun, angka-angka target tersebut tentunya sudah didasari kajian yang dilakukan pemerintah. Dari sisi pasar, penduduk Indonesia yang besar menjadi pasar potensial incaran produsen kendaraan listrik dunia.

Pasar potensial ini pun menjadi tantangan bagi produsen otomotif domestik untuk memproduksi kendaraan listrik nasional, tidak hanya bergantung pada impor.

Dari sisi efisiensi, faktor utama beralihnya pemakaian kendaraan konvensional ke kendaraan listrik didasarkan pada banyaknya keuntungan yang dapat dinikmati pengguna.

Berdasarkan studi internal yang dilakukan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tingkat efisiensi kendaraan listrik khususnya sepeda motor listrik dan mobil listrik rata-rata 80-85 persen lebih tinggi dibandingkan dengan kendaraan yang menggunakan mesin pembakaran (Internal Combustion Engine atau ICE).

Keuntungan jangka panjang yang didapat tentunya dalam bentuk kualitas lingkungan/alam yang lebih bersih. Hal itu karena penggunaan kendaraan listrik menghasilkan tingkat emisi yang rendah.

Namun demikian, meyakinkan konsumen agar beralih dari menggunakan kendaraan konvensional ke kendaraan listrik bukanlah hal yang mudah. Setidaknya ada dua hal yang menjadi tantangan.

Pertama, terkait mengubah kebiasaan, kesukaan, dan kenyamanan yang telah lama menguasai. Kedua, terkait harga. Jika harga untuk mendapatkan barang substitusi lebih murah, maka peluang untuk beralih akan lebih besar.

Dalam hal ini, pasokan kendaraan listrik yang masih sedikit, ditambah dengan teknologi baru dan canggih yang digunakan menyebabkan harga jual mobil listrik cukup tinggi.

Saat ini, harga mobil listrik yang beredar di Indonesia tergolong tinggi dengan kisaran mulai dari Rp 500 juta hingga di atas Rp 1 miliar per unit. Harga ini tentu sulit dijangkau oleh kalangan menengah ke bawah.

Informasi dari laman Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo)  menyebutkan realisasi penjualan mobil listrik di Indonesia sepanjang paruh pertama 2021 mencapai 1.900 unit.

Jumlah ini kurang dari 0,1 persen dari total penjualan mobil listrik di dunia. Namun demikian, capaian ini sudah lebih tinggi dibandingkan penjualan periode yang sama tahun 2019 yang hanya tercatat sebanyak 705 unit.

Penyebab mahalnya harga jual mobil listrik dibandingkan mobil konvensional terletak pada baterai sebagai komponen utamanya yang belum diproduksi secara massal.

Sedangkan harga baterai mobil listrik itu sendiri sekitar 40 persen dari harga mobil listrik. Persoalan lainnya adalah jarak tempuh mobil listrik yang masih terbatas karena kapasitas baterai yang juga terbatas.

Dengan kondisi seperti itu, butuh upaya ekstra keras agar penetrasi mobil listrik di Indonesia bisa terjadi lebih cepat. (LITBANG KOMPAS)

 

Sumber Kompas.id