Kehidupan sehari-hari tidak dapat dipisahkan dengan energi listrik. Statistik Ketenagalistrikan Tahun 2022 menunjukkan bahwa kapasitas terpasang PLTU di Indonesia sebesar 42.343,26 MW atau setara dengan 50,52%. Hal ini menjadi salah satu alasan percepatan transisi energi. Transisi energi menjadi agenda nasional untuk menjaga ketahanan energi dan mewujudkan ekonomi hijau di Indonesia. Pemerintah memasang target sebesar 31% komposisi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) pada tahun 2050.

Seiring berkembangnya teknologi, pengetahuan, dan riset, pengembangan energi terbarukan di Indonesia terus dilakukan. Potensi EBT di Indonesia cukup bervariatif, salah satunya adalah Energi Panas Bumi atau Geothermal Energy. Mengacu pada artikel yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, geothermal adalah sumber energi yang bersumber dari panas yang terkandung dalam perut bumi dan pada umumnya berasosiasi dengan keberadaan gunung api.

Sistem kerja Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) adalah dengan memanfaatkan panas bumi untuk memutar turbin yang kemudian akan menghasilkan listrik. Untuk bisa mendapatkan panas bumi, proses pengeboran sumur harus dilakukan di lokasi yang berpotensi. Kedalaman sumur biasanya berkisar antara 1.500 – 2.500 meter dengan suhu zat alir mencapai 310°C.

Cara Kerja Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi
Sumber: https://www.sciencefocus.com/science/how-does-geothermal-energy-work-to-produce-electricity

Energi panas bumi atau geothermal sebagai energi terbarukan digadang-gadangkan sebagai energi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Jika melihat dari sumbernya, geothermal memang termasuk ke dalam energi terbarukan karena keberadaannya yang tidak akan habis. Selain itu, emisi karbon yang dihasilkan oleh pengolahan panas bumi hanya 1/5 dari batu bara.

Akan tetapi, rendahnya emisi karbon dari pengolahan panas bumi disertai dengan pengorbanan bukan saja manusia, tetapi juga hutan, bentang air, dan kelengkapan infrastruktur ekologis dari kehidupan kepulauan, yang semuanya jauh lebih berbahaya daripada besaran emisi karbonnya. Hal inilah yang kemudian memicu berbagai penolakan dari masyarakat sekitar yang terdampak.

Pulau Flores yang ditetapkan sebagai Pulau Panas Bumi atau Flores Geothermal Island (Kepmen ESDM No. 2268 K/MEM/2017) memiliki 17 titik lokasi potensi panas bumi dan 2 Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), yaitu PLTP Ulumbu dan PLTP Mataloko. Masyarakat adat Poco Leok dan Wae Sano yang berada di sekitar PLTP dan proyek ekspolarasi melakukan berbagai aksi penolakan, dari mulai tahap perencanaan hingga pelaksanaan. Mereka melakukan penolakan karena lebih merasakan dampak negatif dibandingkan dengan dampak positif yang dihasilkan oleh sumber energi panas bumi.

Di lokasi lain, sumur pengeboran panas bumi mengakibatkan hilangnya nyawa salah seorang pekerja pada tahun 2022 lalu. Sumur pengeboran ini terletak di Dieng, Banjarnegara yang merupakan proyek energi panas bumi milik PT Geo Dipa Energi. Dilaporkan bahwa satu orang pekerja meninggal dunia dan delapan lainnya mengalami luka-luka akibat terpapar gas beracun H₂S yang terkonsentrasi di dalam alat pompa bor.

Selain kasus tersebut, berikut ini merupakan dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat sekitar PLTP dan titik eksplorasi yang memicu berbagai penolakan:

Kesehatan dan Pencemaran Udara

Salah satu dampak negatif yang sering kali muncul dari pengoperasian PLTP adalah pelepasan gas Hidrogen Sulfida (H₂S). Gas ini, dihasilkan dari proses ekstraksi geothermal, memiliki bau tidak sedap dan dalam konsentrasi tinggi dapat berdampak buruk pada kesehatan manusia, termasuk menyebabkan iritasi mata, tenggorokan, serta masalah pernapasan.

Degradasi Lingkungan dan Kualitas Air

Pengoperasian PLTP memerlukan penggunaan air dalam jumlah besar untuk mendinginkan sistem dan sebagai fluida operasi. Jika tidak dikelola dengan baik, ini bisa menyebabkan penurunan kualitas air tanah di sekitar lokasi. Selain itu, risiko pencemaran kimia pada air tanah juga bisa terjadi jika ada kebocoran.

Kebisingan dan Gangguan Lingkungan

Proses pengeboran serta operasi sehari-hari dari PLTP dapat menimbulkan kebisingan yang mengganggu ketenangan masyarakat sekitar. Kebisingan ini bisa mempengaruhi kenyamanan hidup dan berpotensi menimbulkan gangguan tidur serta stres bagi warga yang tinggal dekat dengan titik eksplorasi atau fasilitas PLTP.

Deformasi Tanah dan Gempa Bumi Mikro

Aktivitas ekstraksi panas bumi dapat memicu perubahan struktur geologi di bawah tanah, yang dapat menyebabkan deformasi tanah atau gempa bumi mikro. Meskipun tidak berbahaya, gempa-gempa kecil ini bisa merusak infrastruktur dan bangunan di permukiman sekitar.

Perubahan Sosial dan Budaya

Proyek geothermal yang besar dapat mengundang migrasi penduduk dari daerah lain untuk mencari pekerjaan. Ini dapat mengubah dinamika sosial dan budaya lokal, yang terkadang menimbulkan konflik atau ketidakharmonisan di antara penduduk asli dan pendatang.

Meskipun Energi Panas Bumi sering digolongkan sebagai energi terbarukan dan ramah lingkungan karena sumbernya yang berasal dari aktivitas geothermal di dalam bumi, terdapat dampak negatif yang signifikan yang perlu dipertimbangkan. Penggunaan Energi Panas Bumi dapat menyebabkan masalah seperti pengurangan tekanan tanah, penurunan kualitas tanah, dan potensi pencemaran air tanah. Oleh karena itu, meskipun energi ini berkelanjutan secara teknis, penting untuk mengevaluasi dan mengelola dampak lingkungan yang ditimbulkan agar tetap konsisten dengan prinsip keberlanjutan dan perlindungan lingkungan. (RAN)

Referensi:
https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/4996/pemerintah-terus-mendorong-percepatan-transisi-energi-di-dalam-negeri-guna-mencapai-target-net-zero-emission-pada-2060

https://lestari.kompas.com/read/2023/05/17/100000686/cara-kerja-pembangkit-listrik-tenaga-panas-bumi-pltp-

https://floresa.co/perspektif/analisis/47994/2021/07/01/geothermal-flores-dan-mitos-energi-terbarukan

https://tirto.id/kronologi-kebocoran-gas-di-pltp-dieng-yang-menewaskan-satu-pekerja-gpRe