Kondisi miris terjadi, Indonesia yang dikenal sebagai paru-paru dunia, telah merusak paru-parunya sendiri dengan deforestasi. Dengan total luas hutan daratan di Indonesia sebesar 120.773.441,71 hektar, telah terjadi pengurangan lahan hutan mencapai 20.000 hektar sejak Januari hingga Juli 2017 (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2017). Sementara itu, sampai triwulan III-2017, sektor kehutanan telah menyumbang sebesar 489 triliun untuk pendapatan negara, atau sebesar 13,96% dari keseluruhan PDB (BPS, 2017).
Potensi kehutanan di Indonesia, harus menghadapi tantangan dalam menjaga aset tersebut agar tetap produktif dan lestari. Seharusnya Indonesia bisa belajar dari Swedia dalam pengelolaan forest economy melalui pengaturan regulasi. Langkah pertama sudah dilakukan sejak tahun 1903, dengan deklarasi Undang-Undang Kehutanan Swedia yang dalam esensinya menyatakan bahwa siapapun yang menggunakan hasil hutan harus bertanggungjawab untuk meregenerasinya.
Dr. Satyawan Pudyatmoko, Dosen Fakultas Kehutanan UGM, memandang perlu perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan. Selama ini, Undang-Undang Kehutanan No 41 tahun 1999 justru mereduksi konsep ekosistem hutan yang ditunjukkan melalui eksploitasi pengelolaan hutan yang berpihak kepada korporasi dan kurang memberikan akses kepada masyarakat. Pemilik lahan hutan di Swedia tidak melarang akses publik, namun memegang prinsip allemansrätten (hak untuk mengakses lahan publik/privat dengan tujuan rekreasi/olahraga). Keterlibatan publik di sini menumbuhkan rasa kepemilikan masyarakat terhadap hutan, secara bertanggungjawab dan sukarela untuk mengawasi operasi korporat hutan. Di saat ada korporat yang berencana menebang hutan, masyarakat dapat mengkritisi dan mendebat, hingga keikutsertaan Badan Kehutanan Swedia untuk menengahi argumen dan membentuk peraturan.
Manajemen hutan menjadi begitu penting di Swedia, dengan mempertimbangkan 60% dari luas daratan yang merupakan lahan hutan, dan jumlah ekspor bubur kayu, kertas, dan log kayu yang menguasai 12% pendapatan negara dan membuka lapangan pekerjaan bagi 100.000 orang (Swedish Forest Agency, 2011). Industri kehutanan Swedia juga mampu memanfaatkan sumber daya terbarukan sehingga pengolahan kayunya bebas bahan bakar fosil, bahkan ada industri yang memfokuskan pada bidang pendaur ulangan kertas.
Solusi bermula dari pembenahan regulasi kehutanan, merubah persepsi terhadap hutan untuk menjadi salah satu alat mitigasi bencana, merubah rezim pengelolaan hutan, menguatkan daya saing, serta memperkuat komoditas di pasar global. Di skala kecil, masyarakat bisa memulai dengan belajar untuk menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan sekitar dengan gerakan menanam pohon, tidak merusak pepohonan, memegang prinsip daur ulang, dan eksplorasi hutan sambil berekreasi. Mari mulai peduli dengan hutan kita sebagai penopang paru-paru dunia!