Perkim.id – Wabah Covid-19 telah menyebabkan guncangan ekonomi secara global, termasuk negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik. Data The Economist Intelligence Unit (EIU) memprediksi penurunan pertumbuhan ekonomi global dari 2,3% menjadi 1,9%. Perubahan ini akan berdampak buruk pada penekanan jumlah permintaan pasar dunia. Pada saat yang sama, pengurangan produktifitas barang mengganggu rantai pasokan dan penurunan dalam hal pasokan. Lemahnya pertumbuhan ekonomi akibat dampak Covid-19, berdampak pada pasar perumahan juga.
Dampak Covid-19 terhadap penurunan ekonomi global akan sangat mempengaruhi dan berdampak pada ekonomi negara lainnya termasuk Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS kembali melemah hingga mencapai 15.669 per dollar AS atau melemah sebanyak 94 poin (0,6 persen) akibat dampak Covid-19. Tidak hanya rupiah yang melemah, terhentinya aktivitas ekonomi berdampak pada bertambahnya angka pengangguran dan melemahnya pendapatan masyarakat, sehingga mengurangi kemampuan bergerak di pasar perumahan.
Melemahnya pendapatan masyarakat mempengaruhi kemampuan finansial keluarga dalam menopang perekonomian keluarga sehari-hari selama masa pandemi Covid-19. Masyarakat mulai selektif dan bijak dalam mendistribusi penggunaan keuangan keluarga. Meluasnya dampak persebaran virus ini juga membuat industri properti mengalami hantaman keras, tak terkecuali pada sektor perumahan. Perubahan dan dampak sangat terasa pada pasar perumahan baik subsidi maupun non subsidi. Pada forum diskusi Relaksasi, Insentif dan Inovasi Pembiayaan dari Kementrian PUPR memaparkan berbagai dampak yang terjadi dan paska pandemi Covid-19. Perumahan non subsidi terjadi penurunan drastis terhadap permintaan . Begitupun dengan rumah subsidi yang mengalami sedikit penurunan terhadap permintaan.
Rumah subsidi yang diperuntukan masyarakat berpenghasilan rendah dan informal mengalami pembatasan jenis pekerjaan bagi debitur. Tidak seluruh jenis pekerjaan informal mendapatkan akses pinjaman perumahan subsidi. Tidak hanya sisi permintaan yang mengalami penurunan, pada sisi pasokan juga banyak tindakan responsif akibat adanya dampak Covid-19. Pembangunan rumah banyak terhenti sejak protokol physical distancing diterapkan oleh pemerintah. Tidak hanya pembatasan pergerakan manusia saja yang mempengaruhi pembangunan, pasokan bahan bangunan pun banyak mengalami keterlamabatan. Kondisi ini membuat pembangunan akan dilakukan pemangkasan yang menyesuaikan dengan kepastian tersedianya konsumen.
Lalu bagaimana kemampuan finansial masyarakat yang telah melakukan proses kredit pembangunan rumah? Calon debitur yang masih dalam proses konfirmasi data pendapatan oleh bank penyedia KPR terpaksa dibatalkan dan menolak pengajuan dari calon debitur. Calon debitur yang telah di PHK atau dirumahkan dengan pendapatan gaji di bawah 50% harus menunda keinginan untuk segera memiliki rumah. Sedangkan debitur yang sedang mencicil dalam jangka pendek atau kurang dari 5 tahun banyak yang terkendala dalam membayar cicilan KPRS, sehingga banyak yang mengajukan restrukturasi kredit. Mau tidak mau, hal ini semakin melemahkan pasar perumahan kita.
Stakeholder perumahan turut merasakan dampak langsung dari persebaran virus ini, mulai dari pengembang, masyarakat, dan bank pun mengalami berbagai masalah dan hambatan yang terjadi saat ini. Penurunan dan permintaan pasar perumahan membuat berbagai pihak mengupayakan insentif dan inovasi dalam menjaga stabilitas pasar akibat dampak Covid-19. (KAD/CARITRA)