Perkim.id – Perkembangan dan kemajuan kota memicu tingginya roda perputaran uang dan orientasi profit di banyak kota di Indonesia. Sementara itu, keberadaan hutan dalam kota semakin terabaikan. Kapitalisme dunia menjadi kontrol kegiatan perekonomian kota, melalaikan penerapan pembangunan kota dan infrastruktur yang ramah lingkungan. Hutan dalam kota pun dilindas habis untuk keperluan pembangunan. Tak ada lagi keseimbangan antara kota dan hutan, kehadiran hutan dalam kota pun semakin jauh dari harapan. Hal ini diperparah dengan makin banyaknya lahan hijau kota lainnya yang beralih fungsi menjadi bangunan. Tak hanya di pusat kota saja, di beberapa permukiman pinggiran, kebutuhan akan hunian maupun toko dan warung sebagai penggerak ekonomi, telah menggusur kehadiran hutan dalam kota. Lantas ketika hutan di pinggiran kota lenyap dibabat, sementara lahan hijau lainnya di pusat kota hilang terbangun, apa jadinya kota ini? Kota pun semakin gersang.
Kehadiran hutan dalam kota menjadi paru-paru dunia yang mampu menyerap udara kotor dan meredam kegersangan suatu kota. Namun, besarnya tuntutan akan pembangunan infrastruktur kota telah mengesampingkan urusan penyelamatan hutan dan lingkungan. Tak bisakah kita menghadirkan kembali hutan sebagai penyangga lingkungan, sementara pembangunan kota terus berjalan? Hal itu sangat mungkin dilakukan. Bahkan, menghadirkan hutan di dalam kota sangat mungkin diwujudkan, yaitu dengan menciptakan hutan kota.
Apa itu hutan kota?
Hutan kota memiliki arti yang luas. Dalam peraturan dan perundang-undangan Indonesia, hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhkan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang[i]. Hutan kota dapat juga diartikan sebagai sebuah jaringan atau sistem yang melingkupi seluruh area tanah berhutan (woodlands), sekelompok pepohonan, dan pohon tunggal di daerah urban maupun peri urban baik itu berupa hutan, pohon jalanan, pepohonan di taman dan kebun, maupun pepohonan di sudut-sudut terlantar[ii]. Hutan kota mencakup pohon-pohon jalanan, hutan alami, taman publik, taman hutan raya, hutan lindung, dan ruang hijau lainnya seperti areal pertanian, perkebunan, lapangan olah raga, pemakaman, pinggir sungai, maupun tanah kosong. Tak hanya itu, ruang hijau privat di pekarangan rumah juga merupakan upaya menghadirkan hutan dalam kota yang memiliki fungsi besar. Sayangnya hal sederhana ini kerap diabaikan.
Menghadirkan kembali hutan sebagai ruang hijau di kota, bisa dimulai dengan menciptakan “hutan kota” di halaman rumah masing-masing. Menanam bunga, buah-buahan, rerumputan, hingga pohon perindang di pekarangan dapat menciptakan tak hanya estetika dan penghilang penat, namun juga menciptakan kesejukan. Hutan kota di pekarangan rumah tak hanya memberikan kebermanfaatan bagi pemilik rumah, namun juga bagi permukiman tempat tinggal, hingga kota. Jika ada semakin banyak masyarakat Indonesia yang sadar untuk menciptakan hutan kota, maka sedikit demi sedikit kita bisa menghijaukan kembali kota-kota Indonesia yang pernah gersang. Gerakan menghadirkan hutan ke dalam kota sudah mulai banyak didengungkan di berbagai kota di seluruh belahan dunia. Lantas, akankah kita bergerak ambil bagian, atau diam menunggu kota kita semakin panas, kering, dan hancur? (MVM/CARITRA)
Referensi
[i] Peraturan Menteri PU No. 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan; Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.71/Menhut-Ii/2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Hutan Kota; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota
[ii] Salbitano, F., Borelli, S., Conigliaro, M., Chen, Y., 2016. Guidelines on Urban and Peri-urban Forestry. FAO Forestry Paper No.178. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations.