Wacana pembangunan jalan tol dalam kota di Jakarta dan Bandung untuk mengatasi kemacetan menunjukkan pendekatan kuno yang memprioritaskan kendaraan bermotor. Lewis Mumford telah mengingatkan 69 tahun lalu bahwa menambah ruas jalan tol bukanlah solusi untuk kemacetan. Namun, pemerintah terus mengalokasikan sumber daya untuk proyek ini, yang memberikan kebebasan bagi pengendara, tetapi membatasi ruang bagi pejalan kaki. Akibatnya, polusi perkotaan meningkat, dengan kendaraan bermotor sebagai kontributor utama, seperti yang tercermin dari data pemantauan polusi udara di tiga lokasi di Jakarta saat musim kemarau periode Juli-September 2019 oleh Vital Strategies dan Institut Teknologi Bandung. Muncul pertanyaan besar, mengapa ruang publik didominasi oleh kendaraan bermotor, padahal jika dialokasikan untuk transportasi umum, pejalan kaki, dan pesepeda, mobilitas masyarakat bisa lebih efisien dan inklusif?

Dalam dunia perencanaan kota, hal semacam ini dapat disebut sebagai “Arrogance of Space“. Istilah ini mengacu pada fenomena ketidakseimbangan dalam alokasi ruang publik yang lebih mengutamakan kendaraan bermotor dibandingkan pejalan kaki, pesepeda, dan pengguna ruang lainnya. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Mikael Colville-Andersen, seorang urbanis terkenal, yang melihat ketidakadilan ini sebagai cerminan dari perencanaan kota yang mengabaikan kebutuhan manusia.

Dari kota-kota besar hingga kota-kota kecil di seluruh Indonesia, fenomena ini sangat terasa, terutama di kawasan padat lalu lintas seperti perempatan jalan. Bahkan di Kota Yogyakarta, kota yang mendapatkan gelar “Kota Ramah Sepeda” dari komunitas Bike 2 Work (B2W) Indonesia pada 2021 silam, arrogance of space juga terlihat jelas. Sebagai contoh, di Simpang Gramedia Sudirman, Yogyakarta, sebagian besar ruang didominasi oleh kendaraan bermotor dan bangunan. Ruang untuk pejalan kaki dan pesepeda sangat terbatas, dengan hanya 15% area dialokasikan untuk pejalan kaki dan 1% untuk pesepeda. Sementara itu, banyak ruang yang menjadi dead space, yaitu ruang yang tidak dapat diakses atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum, dengan proporsi mencapai 22%.

 

Pemetaan Arrogance of Space di Simpang Gramedia Sudirman Yogyakarta. Sumber: BEM KM UGM (2022)

 

Di perempatan lain, seperti di Jalan Colombo, Yogyakarta, masalah ini semakin parah. Jalan ini didesain tanpa memperhatikan kebutuhan pesepeda dan pejalan kaki, dengan ruang yang luas diberikan kepada kendaraan bermotor tanpa adanya jalur khusus untuk pengguna lain. Tidak ada ruang yang dialokasikan untuk jalur pesepeda dan banyak ruas trotoar yang terputus dan memiliki lebar yang tidak optimal. Hal ini menunjukkan bagaimana ketidakseimbangan distribusi ruang yang adil masih menjadi masalah yang perlu diatasi dalam perencanaan kota di Indonesia​.

 

Pemetaan Arrogance of Space di Simpang Jalan Colombo Yogyakarta. Sumber: BEM KM UGM (2022)

 

Arrogance of Space bukan hanya soal estetika atau efisiensi transportasi, tetapi juga memiliki dampak sosial dan lingkungan yang signifikan. Ketika ruang publik didominasi oleh kendaraan bermotor, kelompok lain seperti pejalan kaki, pesepeda, dan penyandang disabilitas sering kali terpinggirkan. Ini memperparah ketimpangan akses terhadap fasilitas kota dan mengurangi kualitas hidup penduduk perkotaan. Selain itu, dominasi kendaraan bermotor juga berkontribusi terhadap peningkatan polusi udara dan kebisingan, serta mengurangi ruang hijau yang seharusnya menjadi tempat interaksi sosial dan rekreasi masyarakat. Ketidakadilan ini memerlukan perhatian khusus dalam kebijakan perencanaan kota untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan inklusif​.

Untuk mengatasi Arrogance of Space, beberapa kota di dunia telah mengadopsi konsep “Complete Street” atau “Livable Street“. Konsep ini menekankan pada pentingnya mendesain jalan yang dapat menampung berbagai aktivitas dan pengguna jalan dengan distribusi ruang yang lebih adil. Prinsip-prinsip Complete Street meliputi dukungan terhadap pergerakan yang efisien menggunakan berbagai moda transportasi, memberikan rasa aman bagi setiap orang, memastikan akses yang inklusif, serta mendukung interaksi sosial di ruang publik​.

 

Ilustrasi Complete Street. Sumber: ITDP (2020)

 

Implementasi konsep Complete Street di Indonesia dapat dimulai dengan penataan ulang jalan-jalan utama di kota-kota besar, termasuk perempatan yang padat lalu lintas. Ini tidak hanya akan meningkatkan keselamatan dan kenyamanan pejalan kaki serta pesepeda, tetapi juga mendukung terciptanya ruang publik yang lebih inklusif dan ramah lingkungan. Dengan demikian, Complete Street dapat menjadi solusi untuk mengatasi Arrogance of Space dan menciptakan kota yang lebih adil dan berkelanjutan​.

 

Konsep Ideal Complete Street. Sumber: National Association of City Transportation Officials (2013)

 

Arrogance of Space menjadi fenomena yang mencerminkan ketidakadilan dalam perencanaan ruang publik di perkotaan. Dengan mengadopsi konsep-konsep perencanaan yang lebih inklusif seperti Complete Street, kota-kota di Indonesia dapat bergerak menuju tata ruang yang lebih adil dan berkelanjutan. Ini penting tidak hanya untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk perkotaan, tetapi juga untuk mendukung pembangunan kota yang lebih ramah lingkungan dan sosial.

Fenomena Arrogance of Space mencerminkan ketidakadilan dalam perencanaan ruang publik, di mana kendaraan bermotor sering mendominasi ruang yang seharusnya dapat diakses oleh semua orang. Dengan mengadopsi konsep inklusif seperti Complete Street, kota-kota di Indonesia dapat menciptakan tata ruang yang lebih adil dan berkelanjutan, meningkatkan kualitas hidup dan mendukung pembangunan yang ramah lingkungan. Penggunaan ruang yang seimbang akan memastikan bahwa pejalan kaki, pesepeda, dan penyandang disabilitas dapat menikmati ruang publik secara setara. Mengatasi Arrogance of Space akan membantu kota-kota Indonesia menjadi lebih inklusif dan harmonis. (YHC)

 

Referensi