Sektor industri memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Bahkan sektor industri ini memberikan kontribusi terbesar pada Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional sepanjang triwulan II di tahun 2020 yang mencapai hingga 19,87%[1]. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri, kawasan industri merupakan kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri. Pada tahun 2020 terdapat 118 perusahaan kawasan industri dengan luas lahan sekitar 51.861 Ha. Kawasan Jawa saat ini masih menjadi pusat industri di Indonesia karena terdapat sebanyak 81 kawasan industri dengan luas mencapai 36.549 Ha[2].
Kecamatan Buduran merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Sidoarjo yang memiliki kawasan industri, diantaranya industri kayu, industri makanan, industri plastik dan kertas, industri alas kaki industri kimia, industri elektronik, industri kulit, industri logam, dan industri lainnya. Sayangnya, kemajuan kawasan industri di Kecamatan Buduran ini telah menimbulkan dampak yang kurang baik terhadap lingkungan, yaitu memunculkan permukiman kumuh di sekitar kawasan industri. Berdasarkan data Kementerian PUPR tahun 2017 terdapat 3 desa di kawasan tersebut yang memiliki permukiman kumuh, yaitu Desa Banjar Kemantren, Desa Sono, dan Desa Buduran.
Peraturan Menteri Perindustrian No. 40 Tahun 2016 tentang Pedoman Teknis Kawasan Industri yang menyatakan jika jarak permukiman dengan kawasan industri adalah 2 km. Hal ini bertujuan untuk memberikan kemudahan kepada para pekerja agar mengurangi kepadatan lalu lintas, mengurangi dampak polutan, dan limbah yang membahayakan bagi masyarakat.
Namun di Kecamatan Buduran, dapat ditemukan permukiman yang jaraknya dengan kawasan industri kurang dari 500 m. Permukiman tersebut tergolong kawasan permukiman kumuh dengan luas 0,09 Ha yang tersebar di 2 desa, yaitu Desa Banjarkemantren (0,03 Ha) dan Desa Sidokepung (0,06 Ha). Kemudian pada tahun 2018, terjadi peningkatan permukiman kumuh menjadi 1,06 Ha yang tersebar di 8 desa. Hal ini menunjukkan bahwa kemajuan dan perkembangan kawasan industri bersamaan dengan peningkatan permukiman kumuh[3].
Alasan dari peningkatan permukiman kumuh ini adalah karena kawasan industri biasanya membutuhkan banyak pekerja. Terutama untuk kawasan dengan industri besar yang membutuhkan lebih dari 100 orang pekerja. Kebutuhan akan pekerja yang cukup besar mendorong masyarakat untuk bekerja di daerah kawasan industri demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Banyaknya pekerja yang datang membuat pengelola industri seringkali sudah menyiapkan lahan permukiman formal bagi para pekerjanya, yang ditempati oleh para pegawai tetap. Namun para pegawai kontrak cenderung akan menempati permukiman yang non-formal dikarenakan penghasilannya yang rendah[4]. Permukiman non-formal inilah yang menjadi cikal bakal tumbuhnya permukiman kumuh di sekitar kawasan industri.
Para pegawai kontrak yang memiliki gaji kecil atau setara dengan Upah Minimum Regional (UMR) akan cenderung memiliki tempat hunian yang lebih murah, tanpa memikirkan kondisinya apakah layak atau tidak. Selain itu jarak yang lebih dekat juga mengurangi biaya transportasi yang harus dikeluarkan oleh para pekerja. Maka dari itu banyak pekerja yang mau untuk tinggal lebih dekat, tanpa memikirkan kondisi lingkungan apakah sehat atau tidak.
Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menyediakan Rusunawa khusus yang berjarak minimal 2 km dari kawasan industri. Hal ini dapat mengurangi permukiman pekerja yang letaknya kurang dari 2 km. Selain itu dengan memberikan kemudahan sarana transportasi dinilai dapat membantu mengatasi permasalahan ini. Oleh karena itu, pembangunan kawasan industri memang merupakan hal yang penting dalam pembangunan ekonomi nasional[5]. Namun, hal ini juga disertai dengan peningkatan penduduk di sekitar kawasan industri yang akhirnya menciptakan permukiman kumuh. Sehingga perlu adanya upaya pencegahan agar pembangunan ekonomi ini, justru tidak menyebabkan permasalahan di sektor lain. (SDPA)
Sumber Rererensi:
kontan.co.id. “Akhir 2020, Kemenperin Targetkan Ada 156 Kawasan Industri,” 2020. https://nasional.kontan.co.id/news/akhir-2020-kemenperin-targetkan-ada-156-kawasan-industri.
Putri, Pradani Desita, Murtanti Jani Rahayu, and Rufia Andisetyana Putri. “KLASIFIKASI KARAKTERISTIK DAMPAK INDUSTRI PADA KAWASAN PERMUKIMAN TERDAMPAK INDUSTRI DI CEMANI KABUPATEN SUKOHARJO.” Arsitektura 15, no. 1 (2017): 215–20.
Qonita, Cinthya Diana, and Dian Rahmawati. “Strategi Penanganan Pemukiman Kumuh Di Area Pendukung Industri Kelurahan Krian, Kabupaten Sidoarjo.” Jurnal Teknik ITS 9, no. 2 (2020). http://ejurnal.its.ac.id/index.php/teknik/article/view/56302.
Kemenperin.com. “Sektor Industri Masih Jadi Andalan PDB Nasional,” 2020. https://kemenperin.go.id/artikel/21922/Sektor-Industri-Masih-Jadi-Andalan-PDB-Nasional.
Subekti, Dio Perdana Erditya, and Linda Dwi Rohmadiani. “Dampak Keberadaan Zona Industri Terhadap Permukiman.” Planoearth 5, no. 2 (2020): 124–28.
[1] “Sektor Industri Masih Jadi Andalan PDB Nasional,” Kemenperin.com, 2020, https://kemenperin.go.id/artikel/21922/Sektor-Industri-Masih-Jadi-Andalan-PDB-Nasional.
[2] “Akhir 2020, Kemenperin Targetkan Ada 156 Kawasan Industri,” kontan.co.id, 2020, https://nasional.kontan.co.id/news/akhir-2020-kemenperin-targetkan-ada-156-kawasan-industri.
[3] Dio Perdana Erditya Subekti and Linda Dwi Rohmadiani, “Dampak Keberadaan Zona Industri Terhadap Permukiman,” Planoearth 5, no. 2 (2020): 124–28.
[4] Pradani Desita Putri, Murtanti Jani Rahayu, and Rufia Andisetyana Putri, “KLASIFIKASI KARAKTERISTIK DAMPAK INDUSTRI PADA KAWASAN PERMUKIMAN TERDAMPAK INDUSTRI DI CEMANI KABUPATEN SUKOHARJO,” Arsitektura 15, no. 1 (2017): 215–20.
[5] Cinthya Diana Qonita and Dian Rahmawati, “Strategi Penanganan Pemukiman Kumuh Di Area Pendukung Industri Kelurahan Krian, Kabupaten Sidoarjo,” Jurnal Teknik ITS 9, no. 2 (2020), http://ejurnal.its.ac.id/index.php/teknik/article/view/56302.