Kebutuhan tempat tinggal di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang terus bertambah setiap tahunnya. Berdasarkan studi dari Direktorat Pengembangan Kawasan Permukiman, Kementerian PUPR, Indonesia membutuhkan sekitar 800 ribu unit tempat tinggal baru setiap tahunnya, namun kemampuan penyediaan tempat tinggal hanya sekitar 20% dari jumlah tersebut. Hingga pertengahan tahun 2024, dengan populasi yang mencapai 281.603.800 jiwa dan rata-rata empat anggota keluarga per rumah, kebutuhan rumah di Indonesia diperkirakan mencapai 70,4 juta unit. Namun, Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa pada tahun 2023, hanya 63,15% rumah di Indonesia yang kondisinya layak huni, sedangkan sisanya, 36,85%, masih tergolong rumah tidak layak huni. Salah satu penyebab utama dari kondisi ini adalah keterbatasan kemampuan finansial masyarakat untuk membeli atau membangun rumah layak huni. Dalam menghadapi permasalahan ini, konsep kawasan hunian vertikal seperti rumah susun muncul sebagai solusi bagi masyarakat menengah ke bawah, menawarkan alternatif tempat tinggal yang lebih terjangkau dan layak huni (Wirdianto, 2022).

Implementasi konsep rumah susun sewa (rusunawa) seringkali bertolak belakang dengan harapan sebagai solusi hunian layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Setelah dibangun dan dihuni, rusunawa kerap kali bertransformasi menjadi kawasan kumuh. Salah satu penyebabnya adalah lokasi rusunawa yang umumnya jauh dari pusat kota, sehingga menyulitkan akses penghuni ke tempat kerja dan fasilitas publik, yang pada akhirnya meningkatkan biaya hidup, terutama dalam hal transportasi. Selain itu, infrastruktur dasar seperti air bersih, fasilitas MCK, dan drainase seringkali tidak memadai, menyebabkan penurunan kualitas lingkungan dan kesehatan penghuni. Kepadatan penduduk yang tinggi di rusunawa memperburuk masalah ini, dengan jarak antar bangunan yang tidak ideal, sirkulasi udara yang buruk, serta minimnya pencahayaan alami, yang mengurangi kenyamanan dan mempengaruhi kesehatan. Penghuni rusunawa, yang mayoritas berpenghasilan rendah, tidak memiliki pilihan selain tinggal di kawasan kumuh ini karena keterbatasan kemampuan ekonomi. Meskipun pemerintah telah memberikan subsidi, masalah tetap berlanjut karena lokasi rusunawa yang jauh dari pusat ekonomi. Di sisi lain, pertumbuhan migrasi yang pesat dan reklasifikasi desa ke kota yang tidak diimbangi dengan peningkatan infrastruktur turut memperburuk kondisi lingkungan di kawasan tersebut, menunjukkan lemahnya kapasitas pemerintah dalam merespons kebutuhan perumahan yang layak.

Kondisi nyata rusunawa yang telah dibangun dan dihuni sering kali menunjukkan masalah dalam pengelolaan bangunan yang kurang memadai. Pengelolaan bangunan seharusnya menjadi pengetahuan dasar yang disosialisasikan kepada calon penghuni sebelum mereka menempati rusunawa, agar mereka dapat berperan aktif dalam merawat lingkungan tempat tinggal mereka. Variasi dalam model rancang bangun, jenis sarana dan prasarana, serta sistem penghunian rusunawa menunjukkan adanya pendekatan manajemen bangunan yang berbeda-beda. Namun, belum adanya sistem pengelolaan yang tepat sering kali mempercepat penurunan kualitas bangunan (Sulistiowati, 2019). Akibatnya, bangunan rusunawa sering kali terlihat kumuh, dengan fasilitas yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, dan lingkungan yang kadang menghasilkan bau tidak sedap. Ironisnya, meskipun rusunawa dibangun untuk mengurangi kawasan kumuh, kurangnya pengelolaan yang baik justru membuatnya berubah menjadi kawasan kumuh baru.

Stigma terhadap rusunawa sebagai kawasan kumuh yang identik dengan masyarakat marginal di perkotaan terus berkembang dan memiliki dampak negatif, terutama pada kondisi psikologis penghuninya. Masyarakat umum sering kali menganggap penghuni rusunawa sebagai golongan orang yang kurang mampu, dengan pola hidup yang tidak bersih dan tidak teratur. Padahal, banyak penghuni rusunawa adalah individu yang berpendidikan dan memiliki pekerjaan yang baik, namun mereka tetap menerima penilaian yang merendahkan karena stigma ini (Sulistiowati, 2019). Generalisasi semacam ini menyebabkan penghuni rusunawa merasa dipandang sebelah mata oleh lingkungan sosial mereka. Oleh karena itu, diperlukan perubahan citra rusunawa agar sesuai dengan tujuan awal pembangunannya, yaitu sebagai hunian yang layak dan bermartabat, bukan sekadar pilihan karena keterpaksaan atau sebagai simbol kemiskinan di perkotaan.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan tempat tinggal yang semakin meningkat di Indonesia, rumah susun sewa (rusunawa) diharapkan menjadi solusi bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, tantangan besar masih dihadapi dalam implementasinya, mulai dari masalah pengelolaan yang kurang memadai, lokasi yang tidak strategis, hingga infrastruktur yang terbatas, sehingga rusunawa sering kali berubah menjadi kawasan kumuh baru. Lebih dari itu, stigma negatif terhadap rusunawa sebagai hunian masyarakat marginal semakin memperburuk kondisi penghuni, yang kerap kali dipandang sebelah mata meskipun mereka tidak semuanya berada dalam golongan yang kurang mampu. Oleh karena itu, diperlukan upaya menyeluruh untuk meningkatkan sistem pengelolaan, memperbaiki infrastruktur, serta mengubah citra rusunawa menjadi hunian yang layak dan bermartabat, sesuai dengan tujuan awal pembangunannya. (PNA)

 

Sumber:

Octavionesti, A. A., & Mardiansjah, F. H. (2019). Penanganan permukiman kumuh melalui pembangunan rusunawa: studi kasus rusunawa kaligawe, kota semarang. Jurnal Riptek, 11(1), 41-56.

Putra, K. E., & Andriana, M. (2017). Faktor Penyebab Permukiman Kumuh di Kelurahan Bagan Deli Belawan Kota Medan. Jurnal koridor, 8(2), 97-104.

Sulistiowati, A. D. (2019). KEANDALAN BANGUNAN RUMAH SUSUN STUDI KASUS: RUMAH SUSUN SARIJADI BANDUNG. Arsitron, 9(01), 1-9.

WIRDIANTO, D. (2022). Perbandingan Efektivitas Rumah Susun Gemawang Dan Rumah Susun Jongke Dengan Hunian Horizontal Dalam Menyelesaikan Permasalahan Hunian.

Detik. (2024). Tsamara Amany Ungkap Alasan Permukiman Kumuh Sulit Hilang di Jakarta. https://www.detik.com/properti/berita/d-7094371/tsamara-amany-ungkap-alasan-permukiman-kumuh-sulit-hilang-di-jakarta