Latar Belakang

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengamanatkan bahwa tanah harus dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Saat ini tanah yang telah dikuasai dan/atau dimiliki baik yang sudah ada hak atas tanahnya maupun yang baru berdasar perolehan tanah di beberapa tempat masih banyak dalam keadaan terlantar. Sampai dengan tahun 2014, pendataan tanah berpotensi terlantar di Indonesia sudah mencapai 7,5 juta hektar, sebagian besar tersebar di luar kawasan hutan, dan sisanya di dalam kawasan hutan. Penelantaran tanah menghambat pencapaian tujuan pembangunan, melemahkan ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional, serta menutup akses sosial ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan kembali untuk mengoptimalkan pengusahaan, penggunaan, dan pemanfaatan semua tanah di wilayah Indonesia.

Undang-Undang No. 2 tahun 2012 tentang Penyediaan Tanah untuk Kepentingan Umum pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa penyediaan tanah salah satunya dapat digunakan untuk pembangunan penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa. Dengan demikian untuk mengatasi permasalahan penyediaan lahan untuk permukiman bagi kepentingan umum, pemerintah dapat memenuhi kebutuhan tersebut dengan pengadaan tanah. Dalam penyediaan tanah, terlebih dahulu dilakukan penentuan kriteria tanah yang akan diidentifikasi dan diinventarisasi, sedangkan fokus utama yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan adalah ketersediaan tanah yang belum dimanfaatkan di dalam kota (pusat kota/inner city dan pinggiran kota/urban fringe), kebijaksanaan tata ruang kota, dan model-model pengadaan tanah (konsolidasi tanah, bank tanah, dan pembebasan tanah) dalam pemenuhan untuk pengembangan kawasaan perumahan dan permukiman.

Pendataan tanah terlantar dan tanah cadangan negara dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Negara/Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Cadangan tanah negara yang dimaksud adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar, dapat digunakan sebagai penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 2011 pasal 106. Penetapan kelayakan tanah yang dapat digunakan untuk pengembangan perumahan dan kawasan permukiman, harus sesuai dengan peruntukan lahan sebagaimana yang telah diatur dalam RTRW kabupaten/kota. Selain itu juga memiliki legalitas yang jelas dan tidak ada okupasi di dalamnya.

Tujuan dan Sasaran

Tujuan : untuk mengatasi kebutuhan penyediaan rumah bagi masyarakat, mempercepat proses penyediaan perumahan (tapak maupun susun) yang dapat dikelola pemerintah daerah, dan memastikan ketersediaan ruang terbuka hijau di area perumahan dan kawasan permukiman.

Sasaran :

  • Pemahaman terhadap kriteria-kriteria tanah yang layak untuk pembangunan perumahan bagi MBR;

  • Data terkait tanah-tanah terlantar dan tanah cadangan umum negara yang layak bagi pembangunan rumah bagi MBR dapat terinventarisasikan;

  • Tanah terlantar dan tanah cadangan umum negara dapat didayagunakan untuk kepentingan umum;

  • Teroptimalisasinya penggunaan dan pemanfaatan tanah terlantar dan cadangan umum negara.

Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;

  2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;

  3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman;

  4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyediaan Tanah bagi Kepentingan Umum;

  5. Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum;

  6. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

  7. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar;

  8. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang;

  9. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Negara Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar.

Metodologi

  1. Pengkajian literatur dan peraturan perundang-undangan/kebijakan terkait tanah terlantar, tanah cadangan umum, dan standar lingkungan rumah yang sehat dan layak;

  2. Pengumpulan basis data tanah-tanah terlantar dan tanah cadangan umum negara;

  3. Studi kelayakan tanah-tanah yang sudah ditetapkan terlantar untuk difungsikan sebagai kawasan permukiman;

  4. Evaluasi dan sinkronisasi data terkait perumahan dan kawasan permukiman dengan Badan Pertanahan Nasional;

  5. Sinkronisasi dengan dokumen Rencana Tata Ruang untuk pengaturan pemanfaatan dan penggunaan tanah terlantar dan cadangan umum negara yang sesuai kebutuhan permukiman;

  6. Penyusunan rekomendasi pemanfaatan tanah bagi pembangunan permukiman;

  7. Sosialisasi kajian kelayakan penetapan tanah terlantar bagi pembangunan permukiman.

Tenaga Ahli dan Tenaga Pendukung

Tenaga ahli yang terlibat dalam kegiatan ini adalah tenaga ahli Perencanaan Wilayah, tenaga ahli Perumahan dan Permukiman, tenaga ahli Geodesi, dan tenaga ahli Kebijakan Publik.

Tenaga pendukung yang terlibat adalah surveyor, operator komputer, dan tenaga administrasi.

Jangka Waktu Pelaksanaan

Pelaksanaan program ini membutuhkan waktu 16 bulan, dengan rincian sebagai berikut:

  • Bulan 1-3 : Pengkajian literatur dan pengumpulan basis data tanah terlantar dan tanah cadangan umum negara;

  • Bulan 4-9 : Studi kelayakan tanah terlantar dan cadangan umum negara untuk pembangunan permukiman;

  • Bulan 10-11 : Evaluasi dan sinkronisasi data dengan BPN dan dokumen Rencana Tata Ruang;

  • Bulan 12-13: Penyusunan dokumen kajian;

  • Bulan 14-16 : Pelaksanaan sosialisasi;