Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.000 pulau dengan garis pantainya yang mencapai 81.000 km[1]. Dengan kondisi negara kepulauan, maka menjadi hal yang wajar ketika banyak masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Menurut data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan terdapat 2.011.455 orang pada tahun 2018 yang berprofesi sebagai nelayan. Namun, tidak semua nelayan ini mencari ikan di laut, hanya 1.685.018 yang merupakan nelayan laut, setidaknya tercatat sebanyak 12.827 desa pesisir yang ada di Indonesia. Sehingga muncullah kampung nelayan atau desa nelayan yang merupakan desa dengan mata pencaharian utama penduduknya yaitu usaha perikanan laut[2].

Kampung nelayan, tentunya memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan kampung-kampung atau desa yang lainnya. Pertama terkait dengan mata pencaharian masyarakat. Untuk mata pencaharian utama, tentu saja sebagai nelayan karena segala aktivitas dari masyarakat kampung nelayan sangat berkaitan dengan laut dan pesisir untuk mencari ikan. Sedangkan untuk mata pencaharian pendukung, profesi ini muncul diakibatkan karena bekerja sebagai nelayan tidak dalam memberikan kepastian untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, ada masyarakat kampung nelayan yang memiliki usaha pariwisata bahari, pengangkutan antar pulau, pedagang perantara /eceran hasil tangkapan nelayan, dan usaha-usaha lainnya.

Kedua, terkait dengan peran keluarga masyarakat kampung nelayan. Dimana para suami disini memiliki peran bekerja sebagai petani. Namun, para istri juga turut mendukung ekonomi keluarga dengan menjual kebutuhan harian, membuat kerupuk ikan, mengeringkan ikan, dan pengolahan garam. Turut berperannya para istri ini disebabkan karena penghasilan sebagai nelayan, tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena ketidakpastian dalam menangkap ikan. Ketiga, dalam skala sosial komunitas nelayan merupakan komunitas gotong royong. Artinya dalam kehidupan masyarakat di kampung nelayan saling terikat satu sama lain, interaksi sosial pun sangat intensif, dan dalam mencari nafkah komunitas nelayan memiliki sifat gotong royong dan saling membantu.

Untuk karakteristik dari hunian kampung nelayan juga berbeda-beda tergantung dari budaya setempat dan lokasi penempatan bangunan. Untuk lokasi hunian kampung nelayan terbagi menjadi tiga zona, yaitu zona darat, zona pasang surut, dan zona perairan. Ketiga zona ini nantinya akan mempengaruhi bentuk hunian dari masyarakat nelayan, apakah tipe rumah panggung untuk di zona darat dan pasang surut, atau tipe rumah terapung untuk zona perairan. Selain itu, dapat juga mempengaruhi orientasi hunian menghadap ke suatu arah, dan sanitasi dimana akan mempengaruhi bagaimana masyarakat memperoleh air bersih.

Salah satu kampung nelayan yaitu Kampung Wani Dua, berada di Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala. Desa ini memiliki letak yang sangat dekat dengan Pelabuhan Wani sehingga menyebabkan aktivitas masyarakat sangat berkait dengan laut. Untuk karakter rumah sendiri kawasan ini memiliki karakter rumah panggung, karena ada yang berada di zona pasang surut dan daratan. Namun, seperti desa atau kampung yang lainnya, kampung nelayan juga memiliki ancaman. Ancaman yang sangat nyata bagi kampung nelayan adalah ancaman adanya bencana alam. Ancaman bencana alam seperti tsunami, gempa bumi, dan banjir rob (banjir pasing surur air laut). Bahkan menurut PBB Indonesia merupakan negara peringkat pertama dari 265 negara yang berpotensi bencana tsunami[3].

Dampak kerusakan akibat Gempa dan Tsunami di Kampung Wani Dua
(Sumber: https://regional.kompas.com/read/2018/10/02/10082671/berita-foto-kampung-wani-donggala-luluh-lantak-kapal-pun-terdampar-ke)

Bencana alam ini juga dirasakan oleh masyarakat Wani Dua pada tahun 2018. Dimana saat itu beberapa wilayah di pantai barat Pulau Sulawesi mengalami gempa bumi yang kemudian disusul oleh tsunami setinggi 5 m. Dari bencana alam tersebut mengakibatkan kerusakan pada 500 rumah dengan kondisi rusak parah, serta menimbulkan puluhan korban jiwa di Kampung Wani Dua. Banyaknya korban jiwa dapat disebabkan karena masyarakat yang berada di wilayah ini masih belum siaga menghadapi bencana yang terjadi, terutama di kawasan pesisir yang tentunya sangat berpotensi bencana.

Setelah adanya bencana tersebut warga Desa Wani Dua, mulai belajar mengenai mitigasi bencana sehingga menjadi desa tangguh bencana. Upaya pembelajaran ini difasilitasi oleh Yayasan Arkom Indonesia dan BPBD[4]. Pembelajaran mitigasi bencana ini, berupaya untuk mengurangi resiko pada warga yang terdampak bencana. Pembelajaran mitigasi bencana bagi masyarakat Kampung Nelayan merupakan hal yang penting karena masyarakat harus tahu jika wilayah pesisir ini bukan hanya kaya akan sumber daya, tetapi juga berpotensi akan bencana alamnya. Sehingga dengan adanya mitigasi bencana yang dilakukan oleh masyarakat kampung nelayan menjadi hal yang penting. Bukan hanya membuat masyarakat siap menghadapi bencana alam, sehingga mengurangi dampak terutama dampak korban jiwa.

 

 

Sumber Referensi:

Aldi R.H., Muhammad, Laretna Trisnandari, and Ikaputra. “Karakteristik Dan Pola Kampung Nelayan.” Tesa Arsitektur 17, no. 2 (2019): 115–26.

BNBP. “Definisi Bencana.” Accessed August 11, 2021. https://www.bnpb.go.id/definisi-bencana.

Sutanto, Heri. “Warga Desa Wani II Belajar Mitigasi Untuk Desa Tangguh Bencana.” Liputan 6, 2020. https://www.liputan6.com/regional/read/4309118/warga-desa-wani-ii-belajar-mitigasi-untuk-desa-tangguh-bencana.

 

[1] Muhammad Aldi R.H., Laretna Trisnandari, and Ikaputra, “Karakteristik Dan Pola Kampung Nelayan,” Tesa Arsitektur 17, no. 2 (2019): 115–26.

[2] Aldi R.H., Trisnandari, and Ikaputra.

[3] “Definisi Bencana,” BNBP, accessed August 11, 2021, https://www.bnpb.go.id/definisi-bencana.

[4] Heri Sutanto, “Warga Desa Wani II Belajar Mitigasi Untuk Desa Tangguh Bencana,” Liputan 6, 2020, https://www.liputan6.com/regional/read/4309118/warga-desa-wani-ii-belajar-mitigasi-untuk-desa-tangguh-bencana.