Jika masalah lahan hunian tetap belum kelar hingga Februari, pemerintah menyediakan lahan alternatif di tempat lain yang bebas sengketa.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam kunjungan kerjanya di Palu, Sulawesi Tengah, menegaskan masalah lahan untuk pembangunan hunian tetap atau penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi diselesaikan paling lambat akhir Februari. Hunian tetap kebutuhan penyintas yang harus segera dipenuhi pemerintah setelah tiga tahun bencana.
Hal itu disampaikan Wapres Amin seusai menggelar rapat penyelesaian masalah rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di Palu, Kamis (6/1/2021). ”Lahan yang terkendala ini akan diselesaikan dengan cepat. Ini akan diselesaikan melalui Gubernur Sulteng dan Wali Kota Palu paling lambat akhir Februari,” ujarnya.
Saat memberikan keterangan, Wapres didampingi Gubernur Sulteng Rusdy Mastura, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Suharyanto, Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki, Wakil Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat John Wempi Wetipo, serta Wali Kota Palu Hadianto Rasyid.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin memberikan keterangan terkait perkembangan program rehabilitasi dan rekonstruksi sektor pascabencana Provinsi Sulteng dalam kunjungan kerja di Palu, Kamis (6/1/2022). Pembangunan sebagian hunian tetap untuk penyintas masih terkendala masalah lahan.
Dari proyeksi 11.000 hunian tetap (huntap), terverifikasi 9.000 unit yang tersebar di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala. Saat ini, total sekitar 3.000 hunian tetap yang belum rampung dibangun. Hunian tetap ini tersebar di Palu dan Donggala.
Di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Palu atau disebut Lokasi Huntap Tondo II, misalnya, belum usai dibangun karena masih ada sengketa lahan dengan warga. Ada warga yang mengeklaim bahwa tanah tersebut hak mereka. Warga yang merasa berhak itu memasang patok kayu di sejumlah titik. Saat ini, lahan tersebut sudah ditumbuhi rumput liar.
Sementara lahan untuk pembangunan huntap lainnya, seperti di Kelurahan Talise dan Kelurahan Petobo, sudah siap dan tinggal menunggu proses administrasi lanjutan. Pembangunan hunian tetap di lahan baru (relokasi) bagian dari skema rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa, tsunami, dan likuifasi, 28 September 2018.
Lahan yang rencananya akan dibangun hunian tetap penyintas bencana yang terletak di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Palu, Sulteng, Kamis (6/1/2022). Lahan tersebut masih bermasalah karena adanya klaim warga setempat.
Wapres menyatakan, kendala pembangunan huntap penyintas selama ini murni masalah lahan. Anggaran yang digelontorkan dalam bentuk pinjaman dari Bank Dunia tersedia, tetapi lembaga donor itu tak menginginkan adanya masalah sosial, seperti klaim lahan oleh warga. Karena itu, masalah klaim warga tersebut cepat ditangani dengan bercermin pada aturan yang berlaku.
Ia menegaskan, jika masalah lahan beres, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat langsung membangun hunian tetap. Estimasi pembangunan hunian tetap selama 3-4 bulan.
Jika masalah lahan Huntap Tondo II belum kelar hingga Februari, kata Wapres, tersedia lahan alternatif di Desa Pombewe, Sigi. Lahan tersebut diklaim tak bermasalah.
Lahan alternatif tersebut saat ini sebagian sudah dibangunkan hunian tetap untuk penyintas gempa Sigi. Jaraknya sekitar 5 kilometer dari perbatasan selatan Palu atau 15 kilometer dari pusat Kota Palu.
Terkait tenggat akhir Februari, Wali Kota Palu Hadianto menyatakan, dirinya akan membangun komunikasi dengan warga yang mengklaim lahan Huntap Tondo II. Ma’ruf. Kami berharap masyarakat mendukung penyelesaian yang kami tawarkan dengan skema konsolidasi lahan. Semoga akhir Februari bisa selesai. Waktu (untuk pembangunan huntap) makin mepet,” tuturnya.
Sebagian lahan yang dipersiapkan untuk pembangunan hunian tetap penyintas gempa di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulteng, Kamis (27/4/2021). Pembangunan di lahan tersebut tak dilanjutkan sejak Maret 2021 karena adanya klaim warga.
Ditanya kendala penyelesaian lahan selama ini, Hadianto menuturkan, dirinya sudah bertemu dengan sejumlah warga yang mengklaim lahan dan mereka sudah menyerahkan lahan tersebut. Mereka menerima skema konsolidasi lahan (penyiapan lahan untuk didistribusikan kepada warga). Ternyata, Bank Dunia tidak bisa hanya menerima penyelesaian dari pemerintah atas masalah lahan tersebut, tetapi juga dari masyarakat berupa surat pernyataan tertulis. Ini tentu harus dikomunikasikan,” tuturnya.
Hunian tetap saat ini menjadi kebutuhan krusial penyintas setelah tiga tahun empat bulan bencana. Tak kurang dari 1.000 keluarga masih tinggal di hunian sementara (huntara) yang berupa bangunan semi permanen berbentuk panggung dengan konstruksi utama papan lapis. Di sejumlah huntara, lantai dari papan lapis sudah patah dan jebol.
Abdul Aziz Kalili (51), penyintas yang tinggal di huntara Kelurahan Talise, menyatakan, penyelesaian lahan hunian tetap selama ini hanya berupa janji. ”Penyelesaiannya tetap sama, yaitu jalan di tempat. Nasib kami ini terus digantung,” ujar penyintas tsunami Kelurahan Talise tersebut.
Ia yang tinggal bersama tiga anaknya di satu kamar/bilik huntara berharap kunjungan Wapres benar-benar mempercepat penyelesaian masalah lahan. Tiga tahun pasca bencana waktu yang cukup panjang untuk menyelesaikan pembangunan hunian tetap.