Indonesia terletak pada posisi geologis yang strategis dan berada di pertemuan tiga lempeng dunia (Baldah et al., 2023). Posisi tersebut menyebabkan Indonesia menjadi negara yang rentan dilanda bencana alam seperti gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, dan lainnya. Sepanjang tahun 2024, Indonesia telah mengalami 1.554 bencana alam, meliputi banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, dan berbagai bencana alam lainnya. Seluruh bencana tersebut menimbulkan dampak negatif yang sangat luas. Jumlah korban jiwa akibat bencana selama tahun 2024 mencapai 1.379 orang dan total kerusakan mencapai 6.190 rumah, 81 jembatan dan 57 fasilitas umum (BNBP, 2025). Lebih mengkhawatirkan lagi, angka-angka ini kian meningkat setiap tahunnya.

Kerawanan wilayah Indonesia terhadap bencana ini, membawa ancaman besar bagi masyarakat beserta perumahan dan permukimannya. Jika tidak segera menemukan solusi dalam penanggulangan bencana, maka ketersediaan hunian layak yang tangguh bencana akan semakin menipis. Sudah seharusnya seluruh bangunan di Indonesia, terutama hunian, dibangun dengan desain yang memenuhi syarat-syarat hunian tangguh bencana. Hal ini pun ditegaskan oleh pemerintah melalui Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bahwa pemerintah dan masyarakat berkewajiban untuk membangun hunian yang tangguh bencana, dan Peraturan Menteri PUPR No. 7 Tahun 2022 yang menetapkan bahwa korban bencana berhak mendapatkan bantuan rumah khusus. Didasari kebijakan tersebut, berbagai program pun dilaksanakan untuk membangun hunian tangguh bencana, seperti pembangunan hunian tetap bagi korban bencana tsunami di Provinsi Sulawesi Tengah dan program pembentukan 100 desa tangguh bencana oleh BPBD Rembang (PUPR, 2022; rembangkab.go.id, 2024).

Indonesia masih mengalami banyak rintangan dalam mewujudkan hunian tangguh bencana. Terbukti dari masih banyaknya jumlah korban dan kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana selama satu tahun terakhir. Banyaknya kendala dalam setiap tahapan pelaksanaan membuat program pembangunan hunian tangguh bencana belum mencapai hasil yang maksimal. Dikutip dari buku Inovasi Kebijakan & Tata Kelola Perkim (Paramita, 2023), ada tiga tantangan utama dalam mewujudkan permukiman tangguh bencana.

  • Rencana penanganan yang kurang matang

Menurut Pasal 33 Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 dan Perka BNBP No. 4 tahun 2008, penanggulangan bencana terdiri atas tiga tahapan, yakni tahap tanggap darurat, tahap transisi, dan tahap rekonstruksi. Dalam implementasinya, program perkim masih bersifat impulsif dengan berfokus pada pembangunan aspek fisik seperti penyediaan toilet di tahap tanggap darurat, pembangunan hunian sementara di tahap transisi, dan pembangunan hunian tetap di tahap pasca bencana. Padahal, pembangunan permukiman pasca bencana sangat membutuhkan aspek non fisik seperti infrastruktur sosial. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan penyediaan hunian tangguh bencana masih belum ditetapkan secara jelas, baik dalam bentuk regulasi maupun petunjuk teknis.

  • Proses penanganan yang kurang efektif

Hambatan terbesar dalam penanggulangan pasca bencana di Indonesia adalah kurangnya kesadaran akan kebencanaan. Hambatan ini dirasakan pada tahap tanggap darurat, di mana bantuan masih banyak digalakkan, tetapi setelah tahap tersebut berakhir, semangat masyarakat untuk mewujudkan kesiapsiagaan bencana semakin menurun. Masyarakat yang merekonstruksi hunian pribadi pun mulai mengabaikan ketentuan hunian tangguh bencana dan lebih berfokus untuk menyelesaikan rekonstruksi hunian secara cepat. Akibatnya, program pembangunan hunian tangguh bencana pun tidak dapat terlaksana dengan maksimal. Selain masalah tersebut, terdapat faktor penghambat lain seperti kurangnya dana, regulasi yang belum cukup membantu, program yang kaku dan sulit beradaptasi, hingga kurangnya kapasitas kelembagaan yang baik di masyarakat dan pemerintah.

  • Minim komunikasi publik dan koordinasi

Dalam proses penanggulangan bencana, hal yang paling penting adalah komunikasi antara pemerintah dan masyarakat terkait informasi, kebijakan dan arahan penanggulangan bencana. Kurangnya komunikasi dan koordinasi akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Akibatnya, penanggulangan bencana tidak dapat dilakukan secara maksimal karena kurangnya kerja sama antar pihak, yakni pemerintah dan masyarakat.

Berkaca dari kendala-kendala tersebut, Paramita (2023) menjelaskan inovasi-inovasi yang dapat dilakukan di tiap tahapan penanggulangan bencana, meliputi :

  • Pada masa tanggap darurat

Pada masa ini, hal yang harus menjadi perhatian adalah respon dini saat terjadinya bencana. Respon dini tersebut meliputi penentuan status darurat, penyelamatan, perlindungan, dan evakuasi. Maka dari itu, inovasi yang tepat adalah pembuatan sistem peringatan dini untuk pemberitahuan kepada publik akan terjadinya bencana. Sistem yang dapat dikembangkan adalah pendeteksi bencana berbasis Internet of Things (IoT) yang diintegrasikan dengan smart city untuk pemantauan daerah bencana. Selanjutnya, pembangunan shelter atau tempat penampungan sementara yang didukung oleh ketersediaan air dan pangan. Prinsip utama shelter adalah sebagai tempat berlindung sementara. Karena itu, shelter yang paling tepat adalah tenda praktis yang dapat dibangun dan dibongkar secara cepat seperti balloon shelters.

  • Pada masa transisi

Pada masa ini, kejadian bencana sudah berlalu, tetapi dampak dari bencana tersebut masih terlihat dan dapat dirasakan masyarakat terdampak. Untuk itu, inovasi seperti penyediaan hunian sementara (huntara) sangat penting pada tahap ini. Huntara digunakan sebagai tempat masyarakat beraktivitas yang lebih layak daripada shelter, sembari menunggu hunian tetap (huntap) selesai dibangun. Standar minimal masyarakat menetap di huntara belum diatur secara pasti, sehingga perlu ada inovasi dalam hal ini. Jika durasi menetap di huntara terlalu cepat, maka huntap tidak dapat dibangun dengan maksimal, sedangkan jika terlalu lama, motivasi masyarakat untuk kembali ke kehidupan normal dapat menurun. Bagaimanapun, huntara harus dapat memenuhi kebutuhan dasar dan memfasilitasi beragam kegiatan sebagai upaya pemulihan psikologis masyarakat korban bencana. Maka dari itu, konstruksi, desain, dan material dari huntara perlu diperhatikan dengan baik agar menjamin keamanan penghuninya serta sesuai dengan prinsip utama huntara.

  • Pada masa rekonstruksi

Pada masa ini, sarana dan prasarana yang rusak akibat bencana sudah diperbaiki/dibangun ulang dan dapat digunakan seperti kondisi semula. Pada tahap ini, harus berfokus pada hunian tetap (huntap) berkelanjutan. Huntap haruslah memenuhi kriteria hunian tangguh bencana seperti bersifat permanen dan kokoh sesuai standar SNI, diselaraskan dengan pola kehidupan masyarakat, dan memfasilitasi ruang publik untuk mempercepat trauma healing. Inovasi yang dapat dilakukan adalah penerapan bank tanah (land banking), yakni mengambil alih dan mengelola lahan-lahan sebagai cadangan memenuhi kebutuhan pembangunan. Bank lahan dapat mempermudah pemerintah dalam mengalokasikan lahan untuk kepentingan publik. Di samping itu, pemerintah belum menetapkan standar desain huntap dalam regulasi, sehingga inovasi terkait strategi penyediaan huntap juga harus ditetapkan.

Pada dasarnya, bencana dapat terjadi akibat faktor alam maupun ulah manusia. Mengingat tingginya potensi bencana di Indonesia, sudah seharusnya kita memiliki sistem pertahanan bencana yang kokoh dan efektif, seperti penyediaan hunian tangguh bencana. Namun, hal ini harus dibarengi dengan sinergi antara pemerintah dan masyarakat agar dapat terwujud. Dengan strategi mitigasi yang baik, korban jiwa serta kerugian yang diakibatkan bencana dapat diminimalkan. (KLS)

 

Baca selengkapnya di https://www.caritra.org/2022/09/21/inovasi-kebijakan-tata-kelola-perkim-menuju-indonesia-emas-2045/

 

Referensi

Baldah, A., Duarisah, A. V., & Maulana, R. A. (2023). Clustering Daerah Rawan Bencana Alam Di Indonesia Berdasarkan Provinsi Dengan Metode K-Means. Jurnal Ilmiah Informatika Global, 14(2), 31-36. https://doi.org/10.36982/jiig.v14i2.3186

BNBP. (2025). Data Informasi Bencana Indonesia. dibi.bnpb.go.id. https://dibi.bnpb.go.id/kbencana2

Paramita, M. (2023). Inovasi Kebijakan & Tata Kelola Perkim: Menuju Indonesia Emas 2045. Yayasan Hunian Rakyat Caritra Yogya.

PUPR. (2022). PROFIL PEMBANGUNAN RUMAH KHUSUS HUNIAN TETAP PASCA BENCANA SULAWESI TENGAH TA 2020/2021. Direktorat Jenderal perumahan.

rembangkab.go.id. (2024, September 4). BPBD REMBANG PERCEPAT PEMBENTUKAN 100 DESA TANGGUH BENCANA PADA 2025. rembangkab.go.id. https://rembangkab.go.id/berita/bpbd-rembang-percepat-pembentukan-100-desa-tangguh-bencana-pada-2025/