Berdasarkan catatan historis, Gunung Merapi sebagai salah satu gunung api paling aktif di dunia telah mengalami erupsi besar sejak tahun 1006 (Dove, 2007; Schlehe, 1996; Slamet, 2020) dan tercatat terjadi lagi pada tahun 1672, 1872, 1930, 1954, 1994, dan salah satu yang terbesar terjadi lagi pada tahun 2010 silam (Dove dan Hudayana, 2008; Martinez dan Hudayana, 2022; Laksono, 1988; Schlehe, 1996). Berdasarkan data aktivitas vulkanik dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) tahun 2023, terdapat tiga desa di Kapanewon Cangkringan, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang masuk dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB) Merapi, yaitu Kalurahan Glagaharjo, Kalurahan Kepuharjo, dan Kalurahan Umbulharjo (CNN Indonesia, 2023), yang dihuni oleh sekitar 13.578 penduduk.

Dusun Srunen, Desa Glagaharjo. Sumber: Muhammad Harits Hibatullah.

Meskipun pemerintah telah berulang kali melakukan upaya relokasi penduduk ke daerah yang lebih aman dari erupsi Merapi, masih banyak warga yang tetap memilih tinggal di wilayah rawan bencana tersebut. Pengamatan penulis pada bulan September tahun 2024 di Kalurahan Glagaharjo menunjukkan bahwa masih banyak pemukiman permanen di sana, dengan rumah dari pondasi semen yang kokoh dan aktivitas warga yang normal. Padahal dusun-dusun yang merupakan bagian dari desa itu seperti Padukuhan Srunen, Padukuhan Kalitengah Lor dan Padukuhan  Kalitengah Kidul termasuk ke wilayah KRB III, yang menurut BNPB tidak direkomendasikan untuk hunian tetap dan komersial (BPBD, 2023). Lantas mengapa warga setempat tetap bermukim di kawasan yang rawan bencana?

Padukuhan Kalitengah Kidul, Desa Glagaharjo. Sumber: Muhammad Harits Hibatullah

Upaya relokasi penduduk di lereng Gunung Merapi pertama kali dilakukan pasca erupsi pada sekitar tahun 1930-1931 yang diselaraskan dengan program kolonisatie/emigratie atau transmigrasi penduduk dari Pulau Jawa, Bali, dan Madura ke Pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua (Martinez dan Hudayana, 2022). Namun, upaya transmigrasi itu menemui kegagalan yang ditandai oleh kembalinya para transmigran ke daerah asal (Laksono, 1988). Temuan lapangan menunjukkan bahwa para warga mempertimbangkan basis ekonomi dan keterikatan terhadap tanah kelahiran, khususnya berkaitan dengan tempat tinggal untuk generasi mendatang, sebagai faktor mendasar yang memengaruhi pengambilan keputusan relokasi.

 

Pertimbangan Ekonomi

Pengamatan penulis di tiga dusun KRB III menunjukkan bahwa mayoritas penduduk bergelut dalam peternakan sapi potong dan perah serta penambangan pasir. Pekerjaan itu, seperti yang ditengarai oleh Dove dan Hudayana (2008), jamak muncul setelah erupsi Merapi 1994, menggantikan mata pencaharian sebelumnya sebagai petani jagung subsisten dan peternak yang hewan ternaknya dilepas di padang rumput. Setelah erupsi, penduduk turun ke wilayah sedikit bawah yang lebih aman dan mengandalkan produksi komoditas pasar seperti susu, daging sapi, tambang pasir, dan pakan ternak.

“Sak niki nggih mugut ro nambang mas dinggo tambah-tambah…Le mugut nggih teng lahan piyambak, nek mboten nggih aran e niku maling,” papar Pak Ari. “Sekarang kami mencari rumput untuk pakan ternak dan menjadi buruh tambang untuk penghasilan tambahan…kami mencari rumput di lahan sendiri, kalau tidak begitu disebut maling”.

Ketergantungan pada komoditas pasar itu membuat mereka memiliki perhitungan khusus yang menyangkut bencana erupsi Gunung Merapi dengan rencana relokasi. Dove dan Hudayana (2008) berargumen bahwa warga desa di sekitar lereng Gunung Merapi menganggap erupsi sebagai sebuah ancaman yang dapat diperhitungkan, sedangkan kehilangan faktor ekonomi akibat relokasi dianggap lebih berisiko. Meskipun pemerintah telah merencanakan relokasi pasca-erupsi Gunung Merapi 2010 dengan memberikan bantuan rumah dan satu lembu per keluarga (Martinez dan Hudayana, 2022), program itu belum sepenuhnya menjamin ketersediaan makanan ternak yang sejauh ini tercukupi oleh lahan subur di lereng atas Gunung Merapi.

“Lha nek teng ngandap niku lak tebih to mas. Butuh biaya bensin transportasi wong le ngarit niku nggih cedak-cedak mriki kok”, ujar Pak Sukami. “Lha kalau [tempat tinggalnya pindah] di bawah itu kan jauh mas. Butuh biaya bensin [untuk] transportasi karena lahan rumputnya juga di sekitar/dekat sini.”

Lahan-lahan rumput itu dekat dengan tempat tinggal mereka kini, sehingga tidak membutuhkan banyak biaya lebih untuk mencukupinya, bahkan ketika harus beli makanan ternak dari warga lainnya.

 

Tanah Kelahiran untuk Generasi Berikutnya

Kekhawatiran lainnya yaitu pertimbangan berupa tempat tinggal untuk anak cucu berikutnya. Banyak warga desa yang mengeluhkan bahwa bantuan dari pemerintah hanya cukup untuk membangun satu rumah saja.

“Terus anak-cucu pripun mas? Kan butuh omah. Nek teng mriki langsung digarap mawon. Teng ngandap niku lahan terbatas, nopo ajeng didamel tingkat omah e? Nggih mboten purun,” ujar Pak Iman. “Terus [tempat tinggal untuk] anak [dan] cucu bagaimana mas? Kan butuh rumah. Kalau di sini kan [lahannya] tinggal dibuatkan [rumah] saja. Kalau di bawah itu lahan [bantuannya] terbatas, apa ingin dibuat menjadi tingkat rumahnya? Ya tidak mau.”

Pertimbangan itu seringkali diperkuat dengan argumen bahwa tempat tinggal mereka juga sebagai tanah kelahiran di mana mereka bisa berdaulat.

“Misal pindah nanti kan itu mas tempatnya yang sekarang jadi hutan lindung milik pemerintah. Nek ngoten niku pun mboten saged dipanggoni malih. Wisata-wisata castle niku nggih dikelola wong asing. Mosok nek wargane dewe diusir, nek kagem wisata milik wong asing saged?” Keluh Pak Nurjiyono. “Misal pindah nanti kan tempat yang sekarang jadi hutan lindung milik pemerintah. Kalau sudah seperti itu jadi tidak bisa ditempati lagi. [Padahal] tempat wisata castle itu juga [masuk ke bagian KRB] yang dikelola orang asing. Kenapa warga setempat diusir, kalau untuk tempat wisata milik orang asing boleh?”

Kekhawatiran warga terfokus pada keterikatan mereka dengan tempat tinggal berupa rumah tapak dan sebagai tanah kelahiran. Mereka takut apabila tanah kelahirannya diakuisisi oleh pemerintah dan pada akhirnya akan mempermudah proses jual beli untuk kepentingan orang asing sebagai wilayah komersial.

 

Merefleksikan Solusi Alternatif

Mayoritas warga bersedia direlokasi jika tempat tinggal lama mereka tetap dapat diakses, terutama karena mereka sudah terbiasa dengan prosedur evakuasi saat terjadi erupsi. Namun, masalah muncul pasca-relokasi, ketika mereka kehilangan akses ke aset-aset penting seperti lahan rumput yang menjadi sumber pakan ternak dan lahan untuk tempat tinggal generasi berikutnya. Kekhawatiran ini semakin diperburuk dengan ketidakpastian pemerintah dalam menjamin kesejahteraan mereka di masa depan. Perbedaan pandangan antara pemerintah dan warga tentang apa yang dianggap aman menunjukkan bahwa relokasi permanen bukanlah solusi menyeluruh. Pendekatan yang lebih inklusif dan bijak diperlukan agar program relokasi tidak mengabaikan aspek-aspek kesejahteraan dan ekonomi warga di kawasan rawan bencana Gunung Merapi.

 

Referensi

BPBD Daerah Istimewa Yogyakarta. (2023, Maret 20). Kawasan Rawan Bencana Gunung Api. BPBD Daerah Istimewa Yogyakarta. https://bpbd.jogjaprov.go.id/berita/kawasan-rawan-bencana-gunung-api

CNN Indonesia. (2023, Maret 11). Tiga Desa Kawasan Rawan Bencana Merapi Disebut Aman Terkendali. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230311160206-20-923765/tiga-desa-kawasan-rawan-bencana-merapi-disebut-aman-terkendali

Dove, M. R. (2007). Perceptions of Local Knowledge and Adaptation on Mount Merapi, Central Java. In R. Ellen (Ed.), Modern Crises and Traditional Strategies: Local Ecological Knowledge in Island Southeast Asia (pp. 238-262). Berghahn Books.

Dove, M. R., & Hudayana, B. (2008). The view from the volcano: an appreciation of the work of Piers Blaikie. Geoforum, 39, 736-746. doi:10.1016/j.geoforum.2007.01.003

KITLV-Leiden University Libraries. (1931). KITLV A15 – Merapi tijdens een eruptie. http://hdl.handle.net/1887.1/item:904957

Laksono, P. M. (1988). Perception of Volcanic Hazards: Villagers Versus Government Officials in Central Java. In M. Dove (Ed.), The Real and Imagined Role of Culture in Development: Case Studies from Indonesia (pp. 183-200). University of Hawaii Press.

Martinez, A., & Hudayana, B. (2022). From Transmigrasi to Relokasi. Archipel: Études interdisciplinaires sur le monde insulindien, 104, 57-74. 10.4000/archipel.3004

Schlehe, J. (1996). Reinterpretations of Mystical Traditions. Explanations of a Volcanic Eruption in Java. Anthropos, 91, 391-409. https://www.jstor.org/stable/40464497

Slamet. (2020, November 6). Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi – Kompaspedia. Kompaspedia. https://kompaspedia.kompas.id/baca/infografik/peta-tematik/kawasan-rawan-bencana-gunung-merapi