Kotabaru adalah kawasan yang dikenal dengan arsitektur kolonial yang masih terjaga dan suasana yang lebih tenang dibandingkan pusat kota Yogyakarta. Wilayah ini ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya berdasarkan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 47 Tahun 2024. Selain itu, berdasarkan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 63/KEP/2023 yang menetapkan Kota Baru Timur sebagai Situs Cagar Budaya Peringkat Provinsi, mengharuskan adanya aturan khusus dalam pemanfaatan ruang. Namun, ruang publik yang nyaman untuk berkumpul masih terbatas. Akibatnya, anak-anak muda menciptakan tempat mereka sendiri dengan cara nongkrong di tepi jalan sambil menikmati kopi dari kedai street coffee yang semakin banyak bermunculan (Wisnanto, 2024).

Di sisi lain, maraknya street coffee di Kotabaru menimbulkan persoalan ketertiban umum. Maraknya street coffee di Kotabaru ini menimbulkan permasalahan terkait ketertiban umum. Banyak pedagang yang menggunakan fasilitas umum seperti trotoar dan badan jalan untuk berjualan, menyebabkan kesemrawutan dan mengganggu akses masyarakat. Satpol PP Kota Yogyakarta menerima banyak aduan dari berbagai pihak, termasuk gereja, masjid, museum, dan masyarakat sekitar sepanjang bulan Januari hingga Februari tahun 2024, mengenai gangguan yang ditimbulkan oleh aktivitas ini. (Adji G Rinepta, 2024). Selain itu, ditemukan adanya parkir liar yang menutup badan jalan, serta dugaan praktik jual beli lahan secara ilegal untuk berdagang.(Kumparan, 2024).

Sebagai respons terhadap berbagai keluhan tersebut, pemerintah Kota Yogyakarta melalui Satpol PP melakukan penertiban terhadap pedagang street coffee di Kotabaru. Pada tanggal 16 Februari 2025, operasi penertiban dilakukan bersama Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, yang juga menertibkan parkir liar di sekitar kawasan tersebut. Empat pedagang yang masih berjualan setelah diberikan teguran tertulis, akan dikenakan sanksi yustisi dan akan menjalani sidang Tindak Pidana Ringan (Tipiring), dengan ancaman denda maksimal Rp50 juta (detikJogja, 2024). Tindakan ini tidak serta merta mendapat dukungan dari semua pihak. Banyak pelanggan dan pedagang merasa bahwa penggusuran ini menghilangkan ruang sosial dan berdampak pada mata pencaharian para pelaku usaha kecil. Mereka menilai bahwa pemerintah seharusnya tidak hanya melakukan penertiban, tetapi juga memberikan solusi agar para pedagang tetap bisa beroperasi secara legal dan tertib.

Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan solusi yang seimbang antara kepentingan umum dan keberlangsungan usaha street coffee. Pemerintah Kota Yogyakarta dapat mencontoh model penataan PKL di Jalan Malioboro yang sudah memiliki zona khusus dengan desain yang lebih tertata. Alternatif lainnya adalah mengadaptasi konsep night market seperti di Bangkok atau kawasan street food terorganisir seperti di Little Tokyo, Los Angeles. Selain itu, pemerintah dapat bekerja sama dengan komunitas pedagang untuk merancang regulasi yang jelas mengenai jam operasional, kebersihan, dan sistem parkir guna menghindari kesemrawutan. Dengan pendekatan kolaboratif, street coffee di Kotabaru tetap bisa menjadi bagian dari identitas kota tanpa mengorbankan ketertiban dan ruang publik. (PDP)