Kota Yogyakarta saat ini menghadapi krisis tentang pengadaan lahan hijau. Berdasarkan UU No. 27 Tahun 2006 tentang Penataan Ruang, sebuah kota setidaknya memiliki ruang terbuka hijau (RTH) seluas 30% dari total luas wilayah, dengan rincian 20% sebagai RTH publik dan 10% RTH privat. Peraturan tersebut juga diperkuat dengan Perda Kota Yogyakarta No. 2 Tahun 2010 dengan rincian yang sama. Sedangkan saat ini, persentase RTH Kota Yogyakarta berada di angka 17-18% dari target 30% yang sudah ditetapkan. Rendahnya persentase tersebut, dilatarbelakangi oleh ketersediaan lahan yang menipis (baik secara harga maupun fisiknya) hingga kesadaran masyarakat yang masih rendah. Kota Yogyakarta dirasa membutuhkan sebuah perencanaan kawasan perkotaan yang komprehensif dengan basis lingkungan, layaknya Kawasan Kotabaru.  Kawasan Perkotaan peninggalan Belanda yang fungsi dan penataan ruang hijaunya masih eksis hingga saat ini.

 

Kawasan Kotabaru merupakan sebuah kawasan permukiman peninggalan Belanda, yang kini menjadi sebuah kelurahan dengan nama yang sama. Kelurahan ini terletak di Kemantren Gondokusuman, Kota Yogyakarta. Sejarah singkat menyebutkan, kawasan ini dulunya merupakan pemukiman Belanda di Kota Yogyakarta. Direncanakan oleh Thomas Karsten dengan konsep Garden City yang dipopulerkan oleh Ebenezer Howard, yakni Kota Taman atau sebuah perencanaan kawasan yang menggunakan pendekatan lingkungan. Kawasan Kotabaru mulai berdiri pada awal Abad 20 dan digunakan sebagai pemukiman masyarakat Belanda. Thomas Karsten adalah orang yang sama di balik perencanaan Batavia, Pasar Johar Semarang, hingga Stasiun Solo Balapan. Sedikit berbeda dengan Batavia, Kawasan Kotabaru menggunakan gaya perencanaan yang diadopsi dari model perkotaan di Kota London, Inggris. Namun tetap menggunakan gaya arsitektur bangunan Belanda.

 

Sebagai sebuah kawasan yang mengadopsi Garden City, Kawasan Kotabaru dilengkapi dengan jalan arteri, boulevard, fasilitas dasar, dan ruang terbuka hijau. Hal tersebut karena konsep Garden City, berangkat dari konsep kenyamanan lingkungan, yang digabungkan dengan kenyamanan tinggal dan kerja. Konsep ini mengimplementasikan kawasan bermukim dan bekerja yang diselimuti dengan intervensi lingkungan seperti green belt, rural imaginary, dan ecological necessity. Sehingga dapat dilihat hingga saat ini bahwa area permukiman dan fasilitasnya selalu dilengkapi dengan halaman yang dapat dialokasikan sebagai ruang hijau. Ebenezer Howard dalam Garden City menggunakan tiga prinsip, yakni compact, human scale community, dan town-country blended ideas. Ketiga prinsip bermakna bahwa perencanaannya berorientasi pada permukiman ringkas dan adaptif yang menyediakan lahan hijau. Permukiman ringkas tersebut didekatkan pada area komersial dan dijauhkan dari area industri. Hal tersebut masih terbukti hingga saat ini, dengan Kawasan Kotabaru yang dikenal sebagai kawasan permukiman dan komersial elit di Kota Yogyakarta. Kualitas bangunan dan infrastruktur, serta efek keberlanjutan dari Garden City masih terasa, meskipun sudah tidak optimal layaknya konsep awal pembangunannya.

 

Kotabaru, sebagai kawasan “hijau” di tengah kota dirasa dapat menjadi percontohan oleh berbagai kawasan lain di Kota Yogyakarta. Meskipun memang disadari terdapat dasar perencanaan yang berbeda, konsep Garden City di Kawasan Kotabaru tidak akan berjalan secara berkelanjutan tanpa campur tangan masyarakat di dalamnya. Upaya masyarakat sekitar seperti penyediaan RTH privat dan pembangunan berorientasi ekologi pada rumah pribadi, menjadi langkah kecil yang bermakna. Pendekatan rural imaginary dan green belt pada ruas jalan juga dapat diupayakan pemerintah bersama dengan masyarakat. Perencanaan penataan ruang hanya akan menjadi omong kosong, apabila tidak ada upaya bersama untuk menolong. Oleh karena itu, mari bersama-sama hilangkan ego dan kepentingan, untuk Kota Yogyakarta yang berorientasi lingkungan berkelanjutan! (MAP)

 

Sumber:

Junianto, A. dan Karin, A. A. (2024). Ruang Terbuka Hijau Publik di Jogja Belum Ideal, Area Ini Jadi Bidikan Pemkot Jogja. jogjapolitan.harianjogja.com Diakses dari https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2024/10/09/510/1190973/ruang-terbuka-hijau-publik-di-jogja-belum-ideal-area-ini-jadi-bidikan-pemkot-jogja

Achmad, R. F., Dharmono, F. A. A. A., Hidayat, B. N., & Adji, T. N. (2024). Kajian Ruang Terbuka Hijau dan Jenisnya di Kota Yogyakarta. ejournal.undiksha.ac. Diakses dari https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/MKG/article/view/71632#:~:text=Hasil%20penelitian%20menunjukkan%20bahwa%20RTH,tertentu%20seluas%201%2C59%25.

Yadi, A. H. (2024). Sejarah Kotabaru. kotabarukel.jogjakota,go.id. Diakses dari https://kotabarukel.jogjakota.go.id/detail/index/8690

Erwin. (2022). Menyusuri Sejarah Kotabaru bersama Jogja Walking Tour. telusuri.id. Diakses dari https://telusuri.id/menyusuri-sejarah-kotabaru-bersama-jogja-walking-tour/

Adminwarta. (2023). Konsep Garden City Kotabaru Dikembangkan di Dunia. warta.jogjakota.go.id. Diakses dari https://warta.jogjakota.go.id/detail/index/28906

Almiranadia. (2021). Kotabaru as A Garden City. mpwk.ugm.ac.id. Diakses dari https://mpwk.ugm.ac.id/2021/04/26/kotabaru-as-a-garden-city/