Jogja Planning Gallery (JPG) muncul sebagai solusi untuk mendukung kebutuhan pariwisata di tengah tingginya kunjungan wisatawan di Jalan Malioboro. Setiap harinya, kawasan ini dapat menerima 5.000 hingga 10.000 pengunjung, sehingga upaya untuk menjaga atau bahkan meningkatkan jumlah tersebut sangat penting. Meski memberikan dampak positif terhadap perekonomian daerah, padatnya kunjungan wisatawan memerlukan area penunjang agar tidak berfokus hanya pada Jalan Malioboro yang terbatas kapasitas ruang jalannya.

Pemanfaatan lahan Teras Malioboro 2 dan Gedung DPRD DIY untuk pembangunan JPG akan mewujudkan Malioboro sebagai kawasan wisata yang berpangku pada aspek 4A (Attraction, Amenity, Accessibility dan Anciliary). Menurut Sunaryo (2013), aspek 4A mengedepankan ciri wisata yang memiliki keunikan pada daya tarik wisata, fasilitas penunjang yang mendukung daya tarik wisata, kemudahan akses pada area wisata, dan dukungan petugas ataupun lembaga pada daya tarik wisata tersebut. JPG dibangun dengan gaya tradisional, memadukan teknologi modern dan pendekatan kawasan hijau, mampu memberikan ciri unik sebagai daya tarik bagi wisatawan. Akses JPG dapat dengan mudah dijangkau dari Jl. Malioboro maupun Jl. Mataram, serta dekat dengan berbagai fasilitas publik di area Malioboro. Proses pembangunan JPG bahkan menjadi perhatian khusus pemerintah daerah dengan lokasi site yang berada di Jalan Malioboro, sebagai salah satu aspek yang hadir pada sumbu filosofis Yogyakarta.

Sempat menjadi polemik, pembangunan JPG diwarnai dengan aksi protes dari pedagang Teras Malioboro 2. Protes ini merupakan bentuk ketidaksetujuan pedagang terhadap relokasi Teras Malioboro 2 untuk pembangunan JPG. Namun, melalui proses yang cukup panjang, sebanyak 1.034 dari 1.041 pedagang Teras Malioboro 2 telah berhasil direlokasi dan menempati lapak baru di Kawasan Ketandan dan Beskalan (Sunartono, 2025). Relokasi dilakukan tidak hanya untuk menyiapkan lahan pembangunan JPG, namun ditujukan untuk meningkatkan kenyamanan bagi pengunjung serta pedagang.

Pembangunan JPG, relokasi Teras Malioboro 2, serta keberadaan Teras Malioboro 1, memberikan diversifikasi titik wisata baru di Jalan Malioboro. Ketiga kawasan wisata ini dapat menjadi penunjang bagi Malioboro, sehingga kunjungan wisatawan tidak terkonsentrasi pada satu titik saja, melainkan dapat tersebar ke berbagai kawasan wisata lainnya, terutama ke kawasan JPG. Terlebih lagi, JPG menawarkan wisata museum dan edukasi yang menggambarkan perjalanan pembangunan Kota Yogyakarta dari masa lalu hingga gambaran masa depan (Nofantoro & Yudhanta, 2020).

JPG berpotensi menjadi wajah baru bagi wisata museum di Yogyakarta dan memberikan dorongan pada pertumbuhan jumlah daya tarik wisata museum di DIY. Data Bappeda DIY (2024) menunjukkan bahwa kunjungan wisata ke museum di DIY masih rendah, dengan total kunjungan sebanyak 1,7 juta wisatawan per tahun, menjadikannya kategori wisata dengan kunjungan terendah ketiga dari tujuh jenis objek wisata di DIY. Keunikan desain dan perencanaan JPG, yang menggabungkan gaya arsitektur Cina dan Indis, teknologi modern, serta penataan kawasan hijau, akan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Hal ini juga karena masih sedikit museum di Yogyakarta yang dapat menunjukkan perjalanan fisik pembangunan kota, dari masa lalu hingga gambaran masa depan.

Namun, pembangunan Jogja Planning Gallery (JPG) juga menimbulkan pertanyaan mengenai dampaknya terhadap masyarakat lokal, khususnya pedagang Teras Malioboro 2 yang harus direlokasi. Meskipun proyek ini dapat dianggap sebagai langkah untuk memperluas daya tarik wisata dan mendukung perekonomian daerah, perlu adanya perhatian lebih terhadap kesejahteraan masyarakat yang terdampak langsung. Pembangunan yang berfokus pada modernisasi dan peningkatan sektor pariwisata harus mempertimbangkan aspek sosial, yakni bagaimana proyek tersebut dapat memberikan manfaat yang merata, bukan hanya bagi sektor pariwisata, tetapi juga bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya di kawasan tersebut.

Keberhasilan pembangunan tidak hanya diukur dari segi peningkatan jumlah wisatawan atau pendapatan daerah, tetapi juga dari sejauh mana masyarakat lokal, terutama mereka yang terdampak, dapat beradaptasi dan mendapatkan manfaat dari proyek tersebut. Oleh karena itu, setiap kebijakan pembangunan harus diimbangi dengan proses partisipatif yang melibatkan masyarakat, agar tercipta keseimbangan antara kemajuan pariwisata dan kesejahteraan sosial yang berkelanjutan. (RSe)

 

 

 

Referensi

BAPPEDA DIY. (2024). Jenis Objek Wisata. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Istimewa Yogyakarta. https://bapperida.jogjaprov.go.id/dataku/data_dasar/cetak/214-jenis-objek-wisata

Nofantoro, & Yudhanta, W. C. (2020). Analisi Perancangan Ruang Pada Bangunan Yogyakarta Citi Planning Galleri. Studi Pengalam Ruang Sebagai Dasar Analisis Perancangan Ruang Pada Bangunan Yogyakarta City Planning Gallery, 2(1), 26–34.

Sunartono. (2025). Pedagang Teras Malioboro 2 Mulai Beradaptasi di Lokasi Baru. Harian Jogja. https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2025/01/16/510/1201102/pedagang-teras-malioboro-2-mulai-beradaptasi-di-lokasi-baru

Sunaryo, B. (2013). Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Gava Media.