Kota layak anak tidak hanya sekedar kota yang menyediakan taman bermain atau fasilitas sekolah yang baik, tetapi juga meliputi seluruh infrastruktur yang memastikan anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, dalam lingkungan yang aman, sehat, serta inklusif. Di Indonesia, upaya menuju kota layak anak terus dilakukan, namun masih menghadapi berbagai tantangan infrastruktur, terutama di kota-kota besar yang padat dan tidak ramah terhadap pejalan kaki maupun kelompok rentan, termasuk anak-anak (Lindawati, n.d.)
Sebagian besar infrastruktur kota di Indonesia masih berorientasi pada kendaraan bermotor dan efisiensi mobilitas orang dewasa, bukan pada keselamatan dan kenyamanan anak. Jalan raya yang luas namun tidak dilengkapi trotoar yang aman, kurangnya ruang terbuka hijau, serta fasilitas umum yang belum ramah bagi semua kalangan menyebabkan anak-anak lebih berisiko mengalami kecelakaan maupun kekerasan. Banyak kota belum memiliki jalur aman untuk anak berangkat ke sekolah. Anak-anak harus melewati jalan besar, tanpa zona aman atau marka khusus, yang menyebabkan tingginya risiko kecelakaan lalu lintas (Citra, 2025). Berdasarkan data dari Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub tahun 2020, korban kecelakaan lalu lintas dengan tingkat pendidikan SD mencapai 12.557 orang. Angka ini menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah dasar juga rentan menjadi korban kecelakaan, meskipun jumlahnya lebih kecil dibandingkan pelajar tingkat SLTP dan SLTA (Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 2021). Berdasarkan data resmi dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepanjang tahun 2023, KPAI menerima 3.883 pengaduan terkait pelanggaran hak dan perlindungan anak. Dari jumlah tersebut, 2.036 kasus terkait pelanggaran terhadap Pemenuhan Hak Anak (PHA), dan 1.866 kasus terkait Perlindungan Khusus Anak (PKA) (Susilawati, 2024).
Solusi untuk mewujudkan infrastruktur kota layak anak harus dimulai dari perencanaan tata kota yang inklusif dan berbasis hak anak. Pemerintah daerah perlu merancang ulang ruang kota dengan melibatkan anak sebagai subjek, bukan sekadar objek pembangunan. Misalnya, menyusun jalur aman ke sekolah dengan marka khusus, zebra cross yang jelas, serta keberadaan petugas pengatur lalu lintas di titik-titik rawan. Selain itu, pengadaan ruang terbuka hijau dan taman bermain yang aman dan inklusif harus menjadi prioritas. Fasilitas ini harus memiliki desain universal, mudah diakses oleh semua anak, termasuk anak berkebutuhan khusus. Penambahan pencahayaan, CCTV, dan keberadaan petugas keamanan juga penting untuk menjamin keselamatan anak di ruang publik. Penting pula mengadopsi konsep Child Impact Assessment dalam setiap kebijakan pembangunan kota. Ini artinya, setiap proyek infrastruktur harus dianalisis dampaknya terhadap anak-anak sebelum dilaksanakan. Dengan komitmen lintas sektor dan keterlibatan aktif masyarakat, terutama keluarga dan sekolah, kota layak anak bukan hanya idealisme, tetapi sebuah kebutuhan nyata demi masa depan generasi bangsa yang lebih sehat, aman, dan bahagia. (PDP)
Daftar Isi
Citra, R. F. (2025). Kendaraan Pribadi Masih Menjadi Transportasi Utama Anak ke Sekolah. Kompas.Id. https://www.kompas.id/artikel/kendaraan-pribadi-masih-menjadi-transportasi-utama-anak-ke-sekolah
Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. (2021). KORBAN KECELAKAAN LALIN DIDOMINASI USIA PRODUKTIF, MENHUB AJAK PARA PELAJAR SELALU DISIPLIN BERLALU LINTAS DAN UTAMAKAN ASPEK KESELAMATAN. Kementrian Perhubungan Republik Indonesia. https://dephub.go.id/post/read/korban-kecelakaan-lalin-didominasi-usia-produktif,-menhub-ajak-para-pelajar-selalu-disiplin-berlalu-lintas-dan-utamakan-aspek-keselamatan
Lindawati. (n.d.). Teknik sipil untuk infrastruktur perkotaan.
Susilawati, T. (2024). KPAI Catat 3.883 Aduan Pelanggaran Hak-Perlindungan Anak Selama 2023. Detiknews. https://news.detik.com/berita/d-7154799/kpai-catat-3-883-aduan-pelanggaran-hak-perlindungan-anak-selama-2023
