Permasalahan rumah tidak layak huni (RTLH) menjadi salah satu isu mendesak dalam pembangunan perkotaan di Indonesia. Data Kementerian PUPR mencatat lebih dari 14 juta unit RTLH tersebar di berbagai wilayah, mencerminkan masih rendahnya akses masyarakat terhadap hunian yang aman, sehat, dan bermartabat. Kota-kota besar seperti Kota Semarang yang memiliki laju urbanisasi cepat, rentan memicu pertumbuhan permukiman kumuh dan tidak layak huni. Menurut SK Walikota Semarang Nomor 050/275 Tahun 2021, terdapat 431,54 hektar permukiman kumuh dan tidak layak huni yang tersebar di 45 kelurahan yang ada di Kota Semarang. Salah satu kawasan tersebut adalah Kelurahan Tambakrejo di Kecamatan Gayamsari, atau lebih dikenal sebagai Kampung Bandeng Tambakrejo. Kampung Bandeng Tambakrejo menjadi sentra produksi bandeng dan berbagai olahan hasil tambak. Luasan kumuh di kawasan kampung tersebut seluas 5,11 hektar dengan tingkat kekumuhan ringan.

Di balik geliat ekonomi dan ketahanan pangan lokal tersebut, mayoritas warga tinggal di permukiman padat, rawan banjir rob, dengan akses terbatas terhadap infrastruktur dasar seperti sanitasi, air bersih, dan sistem drainase yang layak. Dilansir dari Halosemarang.id, sekitar 300 keluarga di Kampung Bandeng Tambakrejo belum memiliki jamban keluarga. Meskipun telah dibangun MCK umum, kualitas bangunannya menurun akibat kurangnya pasokan air bersih dan perawatan yang tidak memadai. Sekitar 15% warga belum terlayani oleh PDAM, disatu sisi peningkatan kebutuhan air untuk kegiatan pengolahan bandeng menuntut sistem distribusi yang lebih andal di Kampung Bandeng Tambakrejo ini. Selain itu, Kampung Bandeng Tambakrejo memiliki masalah banjir yang datang setiap dua kali dalam setahun, baik banjir rob atau banjir karena hujan deras. Warga juga mengeluhkan rembesnya tanggul laut (sheet pile) yang menyebabkan munculnya genangan air di permukiman dengan ketinggian 30–60 cm dan membutuhkan waktu lebih dari empat jam untuk dapat surut kembali. Selain itu, masih banyak rumah yang tergolong tidak layak huni, dengan lantai rusak dan struktur bangunan yang rapuh. Meskipun ada perbaikan pada dinding dan atap, tetapi kondisi lantai belum mengalami peningkatan yang signifikan.

Kompleksitas permasalahan Kampung Bandeng Tambakrejo tidak berhenti pada aspek fisik saja. Pada tahun 2016–2017, kawasan ini pernah menjadi sorotan akibat penggusuran paksa yang dilakukan sebagai bagian dari program normalisasi Sungai Banjir Kanal Timur. Program ini menuai kontroversi karena dilakukan tanpa skema relokasi partisipatif yang adil, serta minim komunikasi dengan warga terdampak. Bagi warga Kampung Bandeng Tambakrejo, ruang tempat tinggal bukan sekadar hunian, tetapi juga pusat ekonomi, sosial, bahkan identitas komunal yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Pasca penggusuran dan tekanan sosial tersebut, pemerintah meluncurkan sejumlah program penataan melalui pendekatan community-based development, seperti PLPBK (Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas) dan NUSP-2 atau Neighborhood Upgrading and Shelter Project-Phase 2. Sejumlah infrastruktur seperti drainase, tanggul, dan jalan diperbaiki, sehingga banjir berkurang. Namun, kualitas rumah warga masih tertinggal. Studi lanjutan menunjukkan, warga mengusulkan zonasi baru yang lebih fungsional: zona hunian aman, zona produksi hasil tambak, dan zona edukasi serta ruang terbuka publik. Hal ini menegaskan bahwa perencanaan kota tidak bisa hanya top-down; harus dibangun dari kebutuhan nyata masyarakat yang tinggal di dalamnya.

Kampung Bandeng Tambakrejo bukan sekadar kawasan pesisir yang padat dan rentan melainkan ruang hidup yang menyimpan potensi ekonomi, nilai sosial, sekaligus bukti ketahanan komunitas. Penataan kawasan ini harus dilihat dalam bingkai perencanaan yang adil dan inklusif, di mana warga bukan hanya objek pembangunan, tetapi aktor utama yang menentukan arah masa depan ruang mereka. Kota yang berkeadilan bukanlah kota yang tanpa kumuh, tetapi kota yang tidak membiarkan siapa pun hidup dalam ketidaklayakan.Salah satunya di Kampung Bandeng Tambakrejo, dengan potensi bandeng sebagai bagian ketahanan pangan lokal di Kota Semarang. (DAW)

Sumber: https://www.masterplandesa.com/desa-pesisir/kampung-bandeng-tambakrejo-ketahanan-pangan-lokal-di-tengah-rumah-tidak-layak-huni/

 

 

Referensi dan Daftar Pustaka :

Detik Jateng. Tanggul Laut Rembes Bikin Permukiman Tambakrejo Semarang Terendam. Diakses dari https://www.detik.com/jateng/berita/d-7648056/tanggul-laut-rembes-bikin-permukiman-tambakrejo-semarang-terendam pada 20 Mei 2025.

Halosemarang.id. 300 Keluarga di Keluarahan Tambakrejo, Semarang Belum Miliki Jamban. Diakses dari https://halosemarang.id/300-keluarga-di-keluarahan-tambakrejo-semarang-belum-miliki-jamban/ pada 20 Mei 2025.

Peraturan Wali Kota Semarang Nomor 19 Tahun 2023 2022 Tentang Rencana Pencegahan Dan Peningkatan Kualitas Perumahan Kumuh Dan Pemukiman Kumuh Tahun 2022-2026

Perkim.id. Kriteria RTLH Menurut Berbagai Pihak. Diakses dari https://perkim.id/rtlh/kriteria-rtlh-menurut-beberapa-pihak/2/ pada 20 Mei 2025.

Surat Keputusan Walikota Semarang Nomor 050/275 Tahun 2021 tentang Penetapan Lokasi Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh di Kota Semarang

Syagata, Y. S., & Kurniati, R. (2019). Peremajaan Kawasan Kampung Bandeng Tambakrejo Semarang berdasarkan Preferensi Kelompok Usaha Masyarakat. Ruang5(1), 49-58.

Wati, F. H. (2024). NORMALISASI BANJIR KANAL TIMUR DAN RELOKASI RUMAH PENDUDUK (Studi Tentang Perubahan Sosial Dan Politik Kampung Nelayan Tambakrejo Semarang). Journal of Politic and Government Studies13(3), 162-186.