Mangrove kerap dipandang sebagai benteng alami yang melindungi kawasan pesisir dari gempuran alam. Namun, apakah benar hutan mangrove mampu diandalkan sebagai tameng utama dalam mitigasi bencana? Pandangan publik pun terpecah, sebagian menyebutnya sebagai penyelamat ekosistem dan kehidupan, sementara lainnya meragukan efektivitasnya, terutama saat menghadapi bencana berskala besar. Di tengah krisis iklim dan tekanan pembangunan, penting untuk melihat kembali peran mangrove, bukan sekadar sebagai elemen penghijauan, tetapi sebagai pelindung penting dalam menghadapi ancaman pesisir yang kian nyata.
Kondisi pesisir Indonesia semakin mengkhawatirkan. Abrasi yang menggerus permukiman menjadi ancaman nyata, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta yang sebagian wilayahnya kini lebih rendah dari permukaan laut (news.detik.com, 2022). Permasalahan ini menuntut solusi berbasis ekosistem, salah satunya hutan mangrove. Namun, di tengah harapan, muncul pula keraguan, apakah mangrove cukup kuat menghadapi bencana besar seperti tsunami?
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang ke-2 di dunia (kompas.com, 2024), menjadikan Indonesia sangat rentan terhadap bencana kelautan, seperti bencana Tsunami yang menimpa Teluk Palu, Kabupaten Donggala, Sulawesi Selatan pada tahun 2018. Tsunami tersebut dipicu oleh gempa besar yang memporakporandakan kawasan tersebut. Namun, berbeda dengan area lain, pesisir di Kelurahan Kabonga Besar yang terlindungi oleh mangrove sehingga meminimalkan korban dan kerusakan akibat tsunami (kompas.id, 2019). Hal ini yang kemudian menjadi perdebatan, lebih baik membangun tanggul dengan biaya besar atau deforestasi mangrove yang mendukung dua fungsi sekaligus, yaitu mitigasi dan penghijauan.
Faktanya, Indonesia menyumbang sekitar 20-25% luas mangrove dunia, dengan total area 3,36 juta hektare (menlhk.go.id, 2022). Namun, angka ini terus menurun akibat konversi lahan, tambak ilegal, dan pembangunan tak terkendali. Padahal, manfaatnya sangat luas, menahan abrasi, menyerap karbon, menjadi rumah bagi berbagai keanekaragaman hayati, hingga fungsinya sebagai area penyangga bencana pesisir. Salah satu peneliti di Pusat Riset Kelautan KKP, Semeidi Husrin mengatakan bahwa hutan mangrove memang berpotensi sebagai benteng dari abrasi dan tsunami, namun masih dalam skala lokal, artinya gelombang tsunami setinggi lima meter, bukan tsunami besar seperti di Jepang dan Aceh (Lokadata, 2019 dalam Buku Hutan Kota). Hal ini menunjukkan bahwa mengabaikan peran mangrove sama saja dengan mengabaikan perlindungan alami kita.
Lantas, apa langkah konkret yang dapat diambil? Pemerintah perlu memperkuat regulasi perlindungan mangrove, memperluas kawasan konservasi, dan secara aktif melibatkan masyarakat pesisir dalam pengelolaan ekosistem ini. Upaya rehabilitasi tak cukup hanya dengan penanaman pohon; perlu edukasi berkelanjutan, insentif perlindungan, dan integrasi dalam kebijakan tata ruang pesisir. Mangrove bukan sekadar simbol hijau di peta lingkungan, melainkan bagian penting dari strategi adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana. Menjaga mangrove berarti menjaga garis pertahanan terakhir antara daratan dan laut: antara hidup dan kehilangan. (DOM)
Sumber :
detikNews. (2022, November 10). Bukan mitos, 20 wilayah Jakarta lebih rendah dari permukaan laut. https://news.detik.com/berita/d-6450496/bukan-mitos-20-wilayah-jakarta-lebih-rendah-dari-permukaan-laut. (Diakses pada 7 Mei 2025)
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. (n.d.). Mangrove Indonesia untuk dunia. https://kanalkomunikasi.pskl.menlhk.go.id/mangrove-indonesia-untuk-dunia/. (Diakses pada 7 Mei 2025)
Kompas.com. (2024, Agustus 21). Berapa panjang garis pantai Indonesia? Ini jawabannya. https://www.kompas.com/skola/read/2024/08/21/113830369/berapa-panjang-garis-pantai-indonesia-ini-jawabannya. (Diakses pada 7 Mei 2025)
Kompas.id. (2019, Januari 16). Bentengi pesisir dengan mangrove, bukan tanggul. https://www.kompas.id/baca/utama/2019/01/16/bentengi-pesisir-dengan-mangrove-bukan-tanggul. (Diakses pada 7 Mei 2025)
Paramita, D. I., & Michiani, M. V. (t.t.). Hutan kota: Masa depan ruang kota di Indonesia. Yayasan Hunian Rakyat Caritra Yogya. (Diakses pada 7 Mei 2025)
