Urban Sprawl atau ekspansi kota yang tak terkendali menjadi tantangan bagi pembangunan perkotaan di Indonesia. Pada tahun 2020, lebih dari 56% penduduk Indonesia tinggal di area perkotaan dan angka ini diproyeksikan meningkat menjadi 66,6% pada 2035 (BPS, 2020). Lonjakan ini mendorong ekspansi kota ke daerah pinggiran yang sering kali tanpa infrastruktur yang memadai. Urbanisasi yang cepat ini menjadi urgensi karena tanpa pengelolaan yang baik, kota-kota besar akan semakin padat, sementara daerah pinggiran kehilangan lahan hijau dan produktif.

Pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan perencanaan yang baik telah menyebabkan pembangunan permukiman yang tidak merata dan tidak terintegrasi. Hal ini menyebabkan munculnya kawasan kumuh baru serta memperburuk masalah kemacetan dan polusi lingkungan. Menteri ATR/BPN Nusron Wahid mengungkap setidaknya ada sekitar 100.000 hektar hingga 150.000 hektare lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi area perumahan setiap tahunnya (Bisnis.com, 2024). Hal ini tidak hanya mengurangi lahan produktif, tetapi juga meningkatkan resiko bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Perubahan fungsi lahan pertanian menjadi permukiman juga mengancam ketahanan pangan nasional, karena lahan pertanian yang tersisa semakin terbatas.

Urban sprawl juga berkontribusi terhadap meningkatnya emisi karbon dan polusi udara. Transportasi pribadi menjadi dominan akibat minimnya transportasi massal di pinggiran kota, yang menyumbang 27% dari total emisi karbon di Indonesia. Sektor industri menjadi penyumbang utama dengan kontribusi 37%, diikuti oleh pembangkit listrik (27%) dan alih fungsi lahan (19,9%) yang juga memperburuk kapasitas serapan karbon alami. Sektor limbah turut menyumbang emisi dari pengelolaan sampah dan limbah industri (Tirto.id, 2024).

Penduduk di pinggiran kota juga seringkali kesulitan mengakses fasilitas publik seperti transportasi, sekolah, dan layanan kesehatan. Menurut kumparan.com (2024), rata-rata waktu yang digunakan oleh pekerja komuter di Jabodetabek berkisar 30 menit hingga satu jam, bahkan lebih. Hal ini mengurangi produktivitas dan kualitas hidup. Ketidakseimbangan akses ini menjadi urgensi karena dapat memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi antara penduduk pusat kota dan pinggiran. Minimnya fasilitas publik di daerah pinggiran membuat penduduk harus bergantung pada pusat kota.

Urban sprawl juga menimbulkan beban ekonomi yang besar. Pemerintah harus mengalokasikan anggaran yang signifikan untuk membangun infrastruktur baru seperti jalan, jaringan listrik, dan air bersih di daerah pinggiran. Biaya ini bisa lebih tinggi dibandingkan dengan pengembangan kota secara vertikal. Hal ini menjadi urgensi karena anggaran yang seharusnya bisa dialokasikan untuk peningkatan kualitas hidup justru digunakan untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur.

Untuk mengatasi urban sprawl, pengembangan berbasis transit (TOD) dapat menjadi solusi. Singapura berhasil menekan pertumbuhan kendaraan bermotor dari 0,25% menjadi 0% sejak Februari 2018 melalui TOD yang terintegrasi (Tirto, 2017; Kompas, 2019). Di Indonesia, TOD di kawasan CSW Jakarta Selatan meningkatkan penggunaan transportasi umum dengan konsep serupa, namun masih menghadapi tantangan dalam konsistensi implementasi. Selain itu, kebijakan di Belanda melalui proyek Oosterwolde, yang mewajibkan alokasi 50% lahan untuk produksi pangan, dapat menjadi model pengelolaan lahan yang relevan.  (DOM)

 

 

 

 

 

Sumber :

Badan Pusat Statistik. (n.d.). Persentase penduduk daerah perkotaan hasil proyeksi penduduk menurut provinsi, 2015-2035. Diakses pada 11 Maret 2025, dari https://www.bps.go.id/id/statistics-table/1/MTI3NiMx/persentase-penduduk-daerah-perkotaan-hasil-proyeksi-penduduk-menurut-provinsi–2015—2035.html

Bisnis.com. (2024, 5 Desember). 150.000 Ha Sawah Beralih Fungsi Tiap Tahun, Bagaimana Nasib Swasembada Pangan? Diakses pada 18 Maret 2025, dari https://ekonomi.bisnis.com

CNBC Indonesia. (2023, 21 Desember). Riset: Perjalanan rumah-kantor lebih dari 1 jam rentan stres. CNBC Indonesia. Diakses pada 11 Maret 2025, dari https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20231221193355-33-499370/riset-perjalanan-rumah-kantor-lebih-dari-1-jam-rentan-stres

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (n.d.). Walkable city untuk kota berkelanjutan dengan emisi nol karbon. Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah. Diakses pada 11 Maret 2025, dari https://bpiw.pu.go.id/article/detail/walkable-city-untuk-kota-berkelanjutan-dengan-emisi-nol-karbon

Kumparan. (2025, 11 Maret). Balada pekerja komuter Jabodetabek: Pergi gelap, pulang gelap, badan pegal-pegal. Diakses dari https://m.kumparan.com/kumparannews/balada-pekerja-komuter-jabodetabek-pergi-gelap-pulang-gelap-badan-pegal-pegal-23crEaWDja0/4

Kumparan. (n.d.). Separuh pekerja Jakarta tempuh perjalanan hingga 30 km untuk sampai ke kantor. kumparan. Diakses pada 11 Maret 2025, dari https://kumparan.com/kumparanbisnis/separuh-pekerja-jakarta-tempuh-perjalanan-hingga-30-km-untuk-sampai-ke-kantor-1uNKwTbNqjI/full

Perkim.id. (2021, 24 Februari). Penerapan konsep transit oriented development (TOD) pada penataan kotahttps://perkim.id/transportasi/penerapan-konsep-transit-oriented-development-tod-pada-penataan-kota/. Diakses pada 11 Maret 2025.

Prawiratama, D. B., & Yola, L. (2023). Transit Oriented Development (TOD) sebagai solusi transportasi berkelanjutan: Studi kasus CSW, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. INNOVATIVE: Journal of Social Science Research, 3(5), 8360–8369. https://j-innovative.org

The Guardian. (2024, November 28). Oosterwold: Dutch suburb where residents must grow food on at least half of their property. Diakses pada 18 Maret 2025, dari https://www.theguardian.com

Zuhriyah, U. (2024, Oktober 25). Data sektor penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia. Tirto. Diakses pada 18 Maret 2025, dari https://tirto.id/g41p