Pembiayaan perumahan atau housing finance memiliki artian yang luas, dengan konsep yang dapat berubah seiring waktu menyesuaikan dengan kondisi saat itu. Menurut Peter King (2009), Pembiayaan perumahan secara sederhana dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat mendorong produksi dan konsumsi perumahan. Pembiayaan perumahan dapat pula diartikan sebagai uang yang dipakai untuk membangun dan menjaga stok rumah suatu negara. Pembiayaan perumahan bisa juga diartikan sebagai uang yang diperlukan untuk membeli rumah, baik dalam bentuk sewa, pinjaman berupa mortgage, dan pembayaran kembali.
Pembiayaan menurut Kamus Istilah Pembiayaan Perumahan (2017) memiliki definisi sebagai:
“Setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/ atau setiap pengeluaran yang akan diterima kembali untuk kepentingan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman baik yang berasal dari dana masyarakat, tabungan perumahan, maupun sumber dana lainnya”
Sedangkan menurut Frianto (2005), Pembiayaan diartikan sebagai pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan. Dalam UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Perumahan dijelaskan sebagai kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai upaya pemenuhan rumah yang layak huni, sehingga pembiayaan perumahan pada intinya dapat dipahami sebagai pendanaan yang mendukung investasi untuk penyelenggaraan perumahan, baik di perkotaan maupun perdesaan, sebagai upaya pemenuhan rumah yang layak huni.
Rumah merupakan salah satu kebutuhan yang paling penting dalam hidup manusia. Dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 dijelaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Sayangnya, kondisi yang ideal tersebut belum dapat sepenuhnya diwujudkan dalam pembangunan nasional di Indonesia.
Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Indonesia dalam bidang pembiayaan perumahan adalah ketidakseimbangan antara jumlah permintaan dan penawaran. Keterjangkauan terhadap rumah yang sederhana, terutama bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), turut menjadi faktor tingginya angka backlog perumahan. Backlog perumahan merupakan angka yang menunjukkan kekurangan jumlah hunian terhadap jumlah rumah tangga di Indonesia. Data Kementrian PUPR menyebutkan bahwa backlog penghunian di Indonesia mencapai angka 7,6 juta unit, yang berarti dibutuhkan ,6 juta hunian agar seluruh keluarga di Indonesia dapat tinggal dalam rumah yang layak huni.
Permasalahan pembiayaan perumahan lain yang mendesak adalah rendahnya daya beli MBR terhadap rumah layak huni. MBR kesulitan mendapatkan rumah, baik dengan membeli dari pengembang maupun dengan membangun secara swadaya, dengan berbagai alasan dan keterbatasan. Harga rumah yang tinggi, ketersediaan rumah yang terbatas, dan minimnya sumber dana yang berjangka pendek merupakan beberapa faktor penyebab rendahnya daya beli MBR terhadap rumah layak. Oleh karena itu, peran pemerintah melalui program pembiayaan perumahan sangat penting untuk mendorong pemenuhan kebutuhan rumah pada MBR dengan berbagai skema bantuan yang disesuaikan dengan kondisi rumah tangga.