Berita mengenai pembangunan pagar laut di utara Provinsi Banten yang dilakukan tanpa izin dan tanpa melibatkan warga setempat mencuat pada bulan Agustus 2023. Pembangunan diawali dengan pagar bambu sepanjang 7 kilometer di pesisir Provinsi Banten yang dilaporkan oleh masyarakat, namun tidak ditindaklanjuti dengan penanganan yang jelas. Menjelang akhir 2024, pagar tersebut berkembang menjadi 30 kilometer tanpa transparansi yang memadai dari pihak terkait, sehingga memicu keresahan di masyarakat sekitar.
Pagar laut, secara konsep, merupakan struktur fisik yang biasanya dirancang untuk melindungi pesisir dari abrasi atau digunakan sebagai pembatas wilayah laut tertentu. Namun, dalam kasus ini, pembangunan pagar laut di pesisir Provinsi Banten menimbulkan pertanyaan besar karena dilakukan tanpa izin dan melibatkan area publik yang seharusnya terbuka untuk nelayan dan masyarakat umum. Dampaknya bukan hanya pada pelanggaran peraturan, tetapi juga pada keberlanjutan ekosistem pesisir yang terancam oleh intervensi yang dilakukan tanpa perencanaan matang. Ketidaksesuaian fungsi dan tujuan pagar laut ini menciptakan ketidakpastian yang merugikan masyarakat setempat, baik secara ekonomi, ekologis, maupun sosial.
Pagar laut di pesisir Provinsi Banten membentang melewati 16 desa di enam kecamatan di Kabupaten Tangerang, mulai dari Desa Muncung hingga Desa Pakuhaji. Dampak ekonomi signifikan dirasakan oleh 3.888 nelayan dan 502 pembudidaya yang menggantungkan hidupnya pada ruang laut. Struktur pagar yang terbuat dari bambu dan karung pasir ini dilaporkan digunakan sebagai pembatas proyek reklamasi Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2). Namun, ada pula klaim bahwa pagar ini bertujuan menangani abrasi pantai dan mendukung pengadaan tambak ikan oleh kelompok masyarakat setempat. Ketidakjelasan fungsi ini semakin memperkeruh polemik di antara para pemangku kepentingan.
Polemik mengenai fungsi pagar laut, “apakah sebagai bagian dari proyek reklamasi atau penanganan abrasi pantai”, masih menjadi perdebatan. Kedua klaim tersebut belum dapat diverifikasi kebenarannya, namun keduanya jelas melanggar aturan perizinan di area KKPRL (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut). Dampak negatif sudah dirasakan masyarakat sekitar, terutama nelayan yang harus mengeluarkan biaya lebih besar karena harus memutar jalur untuk melaut. Selain itu, hasil tangkapan ikan nelayan semakin menurun, dan pedagang di pesisir pantai juga khawatir pengunjung akan berkurang jika wilayah tersebut diubah menjadi tanah reklamasi.
Apabila benar bahwa akan menjadi tanah reklamasi, secara tidak langsung masyarakat sekitar dapat terdampak dari polusi pembangunan dan kerentanan akan kesenjangan sosial. Mereka juga rentan tergusur dari kelompok masyarakat atas penghuni tanah reklamasi. Tanah reklamasi ini juga dapat mengakibatkan perubahan pola air laut, penurunan kualitas air, hingga perusakan ekosistem sekitar. Namun, apabila nantinya upaya ini digunakan sebagai penanganan abrasi pantai dan pengadaan tambak ikan, pembangunannya juga jelas menyalahi aturan yang sama seperti tanah reklamasi. Belakangan ini juga diketahui bahwa pembangunan tersebut dilakukan oleh Jaringan Rakyat Pantura (JRP) yang terdiri dari kelompok masyarakat dan nelayan. Anehnya, laporan yang dilayangkan juga berasal dari masyarakat setempat. Sehingga terdapat kemungkinan tidak adanya komunikasi yang jelas antara kedua pihak.
Berdasarkan UU Cipta Kerja, segala bentuk pembangunan pada area ruang laut harus memiliki perizinan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sehingga baik siapapun pelaku dan fungsi dari pembangunan pagar laut tersebut terbukti melanggar perizinan. Bagaimanapun fungsinya nanti, pihak yang bersangkutan seharusnya dapat secara jelas berkomunikasi dan bertanggung jawab dengan pemerintah serta masyarakat sekitar. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari pelanggaran pembangunan seperti yang terjadi sebelumnya. Segala macam fungsinya juga diharapkan dapat memberikan kebermanfaatan bersama bagi seluruh masyarakat tanpa ada kepentingan khusus dari pihak yang bersangkutan. (MAP)
Sumber:
Rachmawati. (2025). Pagar Laut Misterius di Laut Tangerang: Apakah Kelanjutan Proyek Reklamasi di Jakarta? Diakses dari kompas.com
M.R.A (2025). Heboh Pagar Laut Misterius 30 Km di Tangerang: Dari Dugaan Proyek Reklamasi Hingga Mitigasi Abrasi. Diakses dari 5news.co.id
Yanuar, Y. (2025). Ini Kelompok yang Membuat Pagar Laut di Tangerang, Mengklaim sebagai Mitigasi Tsunami dan Abrasi. Diakses dari tempo.co
Indriawati, T. (2025). Misteri Pemilik Pagar Laut di Tangerang Mulai Terkuak. Diakses dari kompas.com
Novalius, F. (2025). Fakta-Fakta Pagar Laut di Tangerang. Diakses dari okezone.com